Cari Blog Ini

Selasa, 25 Oktober 2011

Universalitas Pesantren


 Kata “Universitas”, atau yang dalam bahasa inggrisnya adalah “University”, dalam bahasa arab biasa digunakan dengan padanan kata “Jami'ah”. Maka dari itu kita sering mendengar nama Jami'ah Al Azhar, Jami'ah Ummul Qura’, Jami'ah Al Ahgaff, dan sebagainya. Jami'ah sendiri  bermakna kumpulan, gabungan, dan semacamnya. Beda dengan akademi, sekolah tinggi, institut, dan sebagainya. Universitas sendiri bermakna perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan ilmiah dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu, begitulah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

            Ustadz Joko Sucipto pernah menutur sebuah cerita pengalaman remaja alumni sebuah universitas. Suatu hari, setelah lulus menjadi sarjana, remaja itu pulang ke kampung halaman. Ia adalah mahasiswa sebuah fakultas ilmu sosial. Ia bertekad untuk bisa memajukan kampungnya dengan ilmu sosial yang ia miliki. Dengan perasaan bangga setelah menggondol gelar sarjana, ia pulang penuh percaya diri. Hingga salah seorang tetangga datang ke rumahnya dan meminta tolong.

            “Mas, saklar di rumah saya sepertinya tidak berfungsi, mbok saya tolong dibantu mbenerin”
            Remaja itu kaget, dia ingin sekali membantu tapi ia tidak punya cukup kemampuan dalam hal elektronika. Maklum, ia mahasiswa ilmu sosial. Karena itu juga ia ragu-ragu dan takut kalau-kalau ia salah dan justru terjadi kecelakaan.
            “Waduh, nuwun sewu pak, sepertinya saya ndak bisa”
            “Lhoh, gimana to? Katanya sampeyan itu sarjana? Kok kayak gini saja tidak bisa” Dalam bayangan orang-orang awam pada umumnya, orang sarjana itu ya orang yang pintar, terdidik, terpelajar, dan sebagainya.

            Begitulah realita yang sering dihadapi orang-orang yang telah menuntut ilmu di “universitas”, ilmu yang mereka pelajari sejatinya bukan sebuah ilmu “universal”, tapi ilmu parsial, sesuai jurusan yang ia pilih. Jadi sulit untuk mereka memahami ilmu lintas disiplin apalagi di kampus mereka bergaul secara homogen dengan orang-orang berada dalam satu disiplin yang sama.

            Lebih lanjut, hal ini berbeda dengan pembelajaran di pondok pesantren, meskipun di pesantren secara kurikulum resminya adalah keagamaan, tapi kurikulum non-resminya sangat melimpah banyak. Santri-santrinya ada yang masih SMA, tapi lebih banyak yang kuliah. Yang kuliah pun dari berbagai lintas disiplin dari berbagi universitas. Ada yang kuliah di kedokteran, hukum, teknik, desain, psikologi, dan sebagainya. Biasanya, santri-santri sering mencuri ilmu dari sesama santri terutama yang berbeda displin ilmu. Saya sendiri sering ditanya-tanyai oleh santri yang merupakan mahasiswa ilmu hukum, ilmu komunikasi penyiaran islam, dan sebagainya. Selain pembelajaran dengan cara musafahah, alias tatap langsung person to person, biasanya ketika ada santri yang sedang mengotak-atik motor, santri-santri yang lain ikut memperhatikan juga sesekali tanya, “ini caranya gimana?”, “kok harus seperti ini?”, “itu namanya apa?”, dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi ketika ada santri lain unjuk kebolehan seperti sedang men-desain, mengobati orang sakit, membuat karya ilmiah, bahasa asing, dan lain-lainnya. Tidak heran, santri lulusan pesantren banyak jadi orang yang menguasai banyak bidang (setidaknya, mereka paham walaupun sedikit). Untuk itulah, Pak Joko menyimpulkan bahwa pesantren itu lebih universal daripada universitas. Dan orang yang kuliah di universitas saja, lebih layak disebut kuliah juz’iyah, bukan jami'ah (universitas).

            Terdapatlah secara jelas perbedaan universitas dan pondok pesantren. Jika mahasiswa jurusan teknik sipil bisa membangun jembatan besar, kokoh nan indah, belum tentu dia bisa membangunnya ketika harus melewati jembatan shirothol mustaqim. Mahasiswa teknik elektro yang bisa membuat lampu atau sistem pencahayaan yang terang, irit, dan murah, belum tentu di alam kubur ia bisa menerangi kuburnya sendiri. Mahasiswa kedokteran yang bisa mengobati orang sakit, sekarat, atau koma, belum tentu ia bisa memberi “Asy-Syifa” atau mengobati orang-orang yang kesakitan saat menerima hukuman di neraka. Mahasiswa psikologi yang biasa menangani orang-orang stres, cemas, dan lainnya, belum tentu ia bisa menangani orang stres dan cemas ketika disidang pada yaumul hisab. Beda dengan santri pondok pesantren. Selain mempelajari ilmu bekal di dunia, mereka juga mempelajari ilmu bekal di akhirat. Mereka tahu cara melewati jembatan shirothol mustaqim dengan cepat bagaikan kilat bahkan didampingi Rasulullah SAW, mereka tahu cara menerangi kuburan sendiri dan kuburan orang lain, mereka tidak hanya bisa mengirim syifa’/obat, namun juga syafa’at untuk para penghuni neraka, mereka juga tahu cara untuk melewati persidangan di padang masyhar bi ghoiri hisab alias tanpa hisab.

            Teman saya di Komplek L, dia kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tapi, ia jarang menunjukkan identitasnya sebagai mahasiswa UIN Sunan kalijaga. Kalau ditanya kuliah dimana, ia punya jawaban menarik
            “Saya kuliah di UGM”
            “Lhoh, bukannya sampeyan itu di UIN kang?”
            “Saya kuliah di UGM kok, alias Universitas Gus Munawwar”

            Gus Munawwar sendiri tidak merisaukan dengan cara penyingkatan seperti itu. Yang jelas, beliau sering memberikan petuah sederhana tapi mendalam sekali.
            “Kita ini ngaji sambil kuliah, bukan kuliah sambil ngaji”

            Benar-benar MJJB, Mak Jleb Jleb Banget





Nb: Gus Munawwar, atau KH Muhammad Munawwar Ahmad adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Komplek L


Gambar adalah foto ketika khatimin komplek L latihan menjelang H-1 Khataman, 16 Mei 2011. Lihat itu yang pakai baju putih berkopyah hijau

Rabu, 05 Oktober 2011

Itsaar?


Itsar

Dalam film Ketika Cinta Bertasbih 1, ada adegan Azzam berbicara dengan Fadhil

Aku sudah dengar, semua persoalanmu dari Cut Mala. Katanya, kau sudah mengikhlaskan Tiara untuk sahabat lamamu. Sekarang menyesal

Aku kesal pada diri aku sendiri bang, kenapa belum bisa ikhlas

Kamu pikir setelah ikhlas mendahulukan Zulkifli untuk menikahi Tiara, kamu akan mendapat pahala? Tidak Fadhil! Al-iitsaaru bi al-qurbi makruuhun, wa fii ghoiriha mahbuubun. Itu kaidahnya. Itsar, mengutamakan orang lain dalam mendekatkan diri pada Allah atau dalam ibadah, itu hukumnya makruh. Kalau mengutamakan orang lain untuk selain ibadah, itu justru sangat dianjurkan

Lhoh Bang, saya mempersilahkan Zulkifli…”

Kamu pikir menikah itu bukan ibadah? Itu sunnah Rasul, Ibadah Fadhil. Seharusnya kau mendahulukan dirimu, bukan orang lain

Al-iitsaaru bi al-qurbi makruuhun, wa fii ghoiriha mahbuubun

            Tentang kaedah ini, banyak orang sudah sering mendengar dan memahaminya. Namun kebanyakan masih mengartikannya secara tekstual. Memang, secara tekstual kaidah tersebut mudah dimaknai. Mendahuluhkan orang lain pada mendekatkan diri pada Allah (keta’atan/ibadah) adalah dibenci (makruh), dan pada selainnya disukai. Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya ada beberapa batasan dalam kaidah ini. Berikut apa yang saya ambil dari kitab “Faraaid al-Bahiyyah Risalah Qowaaid Fiqh” buah karya Syaikh Abu Bakar bin Muhammad bin Sulaiman bin Abil Qasim bin Umar Al-Ahdal (984 H-1035 H), yang mengambil pedoman dari kitab tulisan Imam Jalaludin Abdur Rahman As Suyuthi yang berjudul “Al Asybah wa an-Nadha-ir”. Silahkan simak baik-baik, karena tulisan ini tidak ada di artikel copas-an di situs-situs konvensional monoton yang tersebar di internet.
A.       Pendapat ulama tentang itsar:
1.         Pendapat pertama persis seperti bunyi kaidah ini, yakni, makruh mengalah dalam masalah ibadah. Sebaliknya kalau mengalah tidak dalam soal ta’at, sunnah.
       Contoh: Seseorang akan berjama’ah shalat dan telah berada di shaf awal. Tiba-tiba datang orang lain yang juga akan mengikuti jama’ah. Makruh hukumnya kalau orang yang lebih dulu datang mempersilahkan orang yang datang belakangan, untuk menempati tempatnya di shaf awal, sedangkan ia sendiri mengalah, mundur ke shaf di belakangnya.
2.         Ada yang berpendapat: Itsar dalam perkara ta’at itu bukan hanya makruh, melainkan haram.
3.         Imam Jalaluddin As-Suyuthi memberikan perincian sebagai berikut:
a.       Jika Itsar itu berakibat meninggalkan perkara wajib, maka Itsar itu haram.
b.      Jika Itsar itu berakibat meninggalkan sunnah atau melakukan makruh, maka Itsar makruh.
Dari ketiga pendapat ini, qoul yang terakhir (pendapat Imam As-Suyuthi) lebih mu’tamad.

B.     Permasalahan
            Apabila kita melihat tekstual kaidah ini, bahwa menguntungkan orang lain dan merugikan diri sendiri dalam masalah ibadah, adalah dibenci (makruh), kadang-kadang kita menjadi bermasalah terhadap Sunnah Musa’adah (kesunnahan untuk membantu orang lain karena hormat padanya, membantunya, atau sungkan). Begini contohnya, A sedang shalat berjama’ah dan berada di shaf awal, lalu datang B yang terpaksa harus sendirian dibarisan kedua. Karena hukum berdiri sendirian dalam satu shaf saat shalat itu makruh, maka B menarik A untuk menemaninya di shaf kedua (agar di shaf tersebut terdapat lebih dari satu orang). Kalau A mau menurutinya, apakah yang demikian ini tidak termasuk itsar dalam keta’atan?
Permasalahan ini dijawab oleh Ulama seperti ini: A mundur dari shaf awal ke barisan kedua, memang rugi, tetapi kerugian itu tertebus oleh keuntungan yang berupa menolong teman, yakni menyelamatkan dari perbuatan makruh (berdiri sendirian dalam satu shof shalat)

Dari uraian di atas cukup jelas bahwa tidak semua itsar dalam ibadah itu tidak boleh. Ingat kaidahnya, ingat batasan-batasannya, dan kompromikan juga dengan kaidah yang lain seperti dar-u al-mafaasid muqoddamu ‘alaa jalbi al-mashoolih, menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan,

Senin, 03 Oktober 2011

Les Bahasa Arab Gratis dan Pemilu Walikota Yogyakarta


Siang itu saya selepas kuliah berencana untuk sholat jum’at di masjid Nurul Ashri Deresan. Aneh memang, padahal masjid Maskam adalah masjid terbesar di UGM dan letaknya cuma dibelakang fakultas Psikologi. Alasan kenapa saya enggan untuk sholat Jum’at di Maskam sudah pernah saya paparkan di status facebook saya beberapa waktu yang lalu. Salah satu poin pokok mengapa saya enggan sholat Jum’at disana mengacu pada salah satu syarat bolehnya mendirikan sholat Jum’at. Ada beberapa pendapat tentang syarat jumlah jama’ah untuk sholat jum’at. Ada yang mengatakan minimal 12 orang muqimin (penduduk asli di wilayah masjid tersebut), ada yang mengatakan 2 orang saja sudah cukup (ada imam ada ma’mum) sebagaimana sholat jama’ah biasa, ada lagi yang mengatakan bahwa sholat jum’at, sebagaimana derivat dari kata jum’ah, jama’, minimal harus ada 3 orang. Dalam kaidah bahasa arab, 2 masih disebut mutsana, sedangkan 3 dan seterusnya baru bisa disebut jama’. Saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan ijtihad Imam Syafi’i yang mensyaratkan minimal 40 muqimin untuk dapat mendirikan sholat Jum’at. Ada sejumlah hadits yang menerangkan hal ini, namun selain itu, 40 muqimin ini juga mengacu pada fiqh sosial yang jika dijelaskan disini tentu akan sangat panjang. Mengingat mayoritas jama’ah (bahkan hampir semua) sholat jum’at di maskam bukanlah muqimin, maka saya memutuskan mencari masjid kampung. Namun bukan berarti saya menolak sholat jum’at di maskam, ketika waktu mepet, saya pun sholat disana juga. Masjid Deresean juga cukup heterogen, papan pengumuman disana terdapat berbagai pamflet dari latar belakang yang berbeda-beda, beda dengan papan pengumuman di maskam yang didominasi oleh yang itu-itu saja. Selain itu, masjid Deresan juga bersebelahan dengan Pondok Tahfidz. Sejak dulu saya senang melihat orang-orang yang menghafal Al Qur’an. Seandainya santri2 di Pondok Tahfidz itu anak saya semua, hambok saya rela bekerja siang malam banting tulang untuk mencukupi kebutuhan mereka.

            Selepas sholat jum’at di masjid Deresan, saya membaca sebuah papan pengumuman. Disana terdapat semcam pamflet tentang les bahasa arab gratis. Tanpa pikir panjang, saya ambil brosurnya, catat nomernya, lalu registrasi lewat sms. Bagaimana tidak tertarik? Bisa memperdalam bahasa arab gratis, lokasi dekat rumah (di daerah kotagede), tidak ada embel-embel jama’ah/ormas/partai tertentu, dan waktu sangat bisa menyesuaikan. Sayapun mendapat konfirmasi bahwa saya diminta datang ke sekretariat untuk melengkapi syarat pendaftaran berupa 2x pas foto, 2x foto kopi KTP, dan “uang pendaftaran” Rp. 10.000. eh? Uang pendaftaran? Oh ternyata yang dimaksud gratis itu biasa pendidikannya, bukan biaya pendaftarannya. It’s okelah, meskipun di brosur tidak dicantumkan. Toh, cuma 10.000, apalah artinya dibanding kemahiran bahasa arab. Sayapun membayarnya tunai. Maka hari Kamis minggu depannya, saya mendatangi sekretariat untuk melengkapi registrasi. Datang di kompleks masjid sekretariat itu, saya agak terkejut mendapati kenyataan bahwa di kompleks masjid tersebut terdapat semacam kantor pusat sebuah ormas. Di papan informasi di depannya, terdepat berbagai artikel seputar teroris, jihad, bom cirebon, dll. Saya mencoba cuek sebentar. Setelah mengisi formulir, saya sempatkan ngobrol dengan panitia yang menjaga stan pendaftaran itu.

            “Mas, mau tanya, disini pelajarannya muhadatsah (percakapan) atau nahwu-shorof (grammatikal)?”
            “Dua-duanya mas. Tapi dua-duanya tingkat dasar semua”
            Oh, sedikit kecewa juga sih. Saya sendiri sebenarnya mengharapkan muhadatsah yang lebih expert. Bukan berarti saya tidak mau belajar nahwu-shorof, tapi saya sudah mempelajarinya intensif setahun lebih, eman-eman kalau saya harus mengulanginya dari dasar lagi.

            “Model kelasnya jadi satu, atau dibagi-bagi kelasnya mas?”
            “Ada tiga kelas mas, tapi semuanya juga mulai dari dasar”
            Ah, sama saja dong, tidak ada jenjang yang jelas.
            “Kalau kitab rujukannya apa mas?”
            “Kami pakai kitab yang disusun sendiri mas, nanti tiap peserta harus bayar 40.000 untuk uang pembelian kitab.”
            Nah, disinilah saya mulai merasa agak aneh.
Pertama, saya sejak awal mencoba menebak bahwa mungkin kitab yang digunakan adalah kitab-kitab yang sudah saya punya semacam Ajurumiyah, Imrithy, Al Muyassar fii Ilmi Nahwi, atau kitab-kitab bahasa arab populer lainnya semacam Alfiyah Ibnu Malik, Arobiyah baina Yadaik, Mulakhos, Mukhtarot, dll. Saya jadi penasaran, 40 ribu itu dapat kitab seperti apa memangnya?. Saya di rumah ada kitab Matan Ajurumiyah dan Imrithy yang harganya tidak ada 5 ribu. Syarh Ajurumiyah cuma 5 ribuan. Terjemahan Ajurumiyah dan Imrithy juga cuma sepuluh ribuan. Kitab al muyassar cuma 10 ribuan. Dengan kitab itu saja saya sudah bisa belajar ilmu nahwu dengan maksimal. Lantas dengan 40 ribu itu, kitab sehebat apa yang saya dapatkan? Apakah kitab itu hebat? Saya tentu melihat kualitas panitia yang menyusunnya. Ternyata, panitia selain membuat program les bahasa arab gratis, mereka juga membuat program-program “gratis” lainnya seperti kuliah pra-nikah, kuliah calon wirausaha, dan anehnya ada kuliah singkat pengantar menerjemahkan Al Qur’an. Lhoh, eh? Mau menerjemahkan Al Qur’an dengan cara singkat, instan? Mau di terjemahkan seperti apa memangnya? Setahu saya, orang-orang untuk menafsirkan atau setidaknya menerjemahkan al Qur’an harus menguasai banyak ilmu alat seperti Nahwu Shorof, Manthiq, Balaghoh, Asbabun Nuzul, Nasikh-Mansukh, Muhkamat-Mutasyabihat, dll. Ilmu-ilmu alat seperti itu dikuasai dengan metode kuliah singkat dan gratis? Apa jadinya kalau orang menerjemahkan Al Qur’an dengan ilmu seadanya? Dan apa jadinya pula jika ia menyebarkan pahamnya tersebut? Jangan heran kalau akhir-akhir ini banyak muncul umat tekstualis yang menggali ilmu dari Al Qur’an secara dzohiriyah.

            “Mas, kalau saya bayar kitabnya tidak sekarang boleh ndak mas?”
            “Oh, ya. Boleh. Tapi paling lambat besok Sabtu.”
            Lhoh, ini lagi. Apa-apaan! Bukannya saya tidak punya uang untuk membayarnya. Kebetulan 4 jam sebelum saya registrasi di situ, saya di kampus baru saja dapat rejeki yang insya Allah lebih dari cukup untuk membayar kitabnya. Tapi cara memberitahukannya itu lho. Kenapa baru dikasih tahu ketika peserta datang di tempat registrasi? Bagi peserta yang asertivitas rendah, mungkin bakalan manut saja. Tapi ini (tanpa maksud su’udzon atau semacamnya) strategi marketing yang memalukan. Dalam brosur sangat jelas sekali, tidak ada bayaran (uang pendidikan gratis). Ternyata cuma pendidikannya yang gratis, pendaftaran dan kitab harus bayar. Siapa tahu di tengah nanti ada uang gedung? Uang konsumsi? Uang transportasi pengajar? Panitia bisa saja melakukannya karena tidak terdapat di brosur.

            “Yang gratis itu biaya pendidikannya mas”
            Haish, ra isin! Ini namanya sudah mempolitisasi. Saya jadi teringat bahwa beberapa hari sebelumnya adalah pencoblosan calon walikota Yogyakarta. Saya sendiri tidak mencoblos dan lebih memilih untuk pergi ke rumah teman di Turi. Sejak kampanye yang penuh dengan janji-janji yang insya Allah ditepati, saya berjanji pada diri sendiri. Jika ada salah satu pasangan yang berkampanye dengan tidak menempel pamflet atau semacamnya di tembok-tembok umum, akan saya pilih dia. Dan akan saya kerahkan masa sebanyak saya bisa untuk memilihnya. Tapi baru sehari saya berjanji, saya mendapati bahwa ketiga pasangan tidak lolos syarat tersebut. Yasudah, mereka kehilangan 1 suara saya. Mengapa saya berjanji demikian? Bayangkan teman-teman, pamflet yang ditempel itu membersihkannya susah. Kalau spanduk, baliho, bisa dicopot karena tidak permanen. Tapi kalau ditempel, selain kotor, tentu menyusahkan si pemilik tembok. Bagaimana Jogja mau bersih? Dan memang pekan-pekan ini Jogja sedang dipenuhi kampanye janji muluk-muluk yang intinya sama, menarik masa sebesar-besarnya untuk “jadi pengikut”. Bagi yang kurang kritis, tentu mau saja diajak kesana-kemari. Begitu pula dengan “les bahasa arab gratis” tadi.

            Sepulang dari registrasi, di rumah saya lapor sama ibu. Saya ceritakan apa saja yang saya temui di tempat registrasi termasuk nama ormas yang menyelenggarakannya.
            “Ra sah melu sik ngono kuwi, mengko kowe mung dijak sik ra nggenah” (tidak usah ikut yang seperti itu, nanti kamu cuma diajak yang tidak bermutu)

            Lha terus uang sepuluh ribu saya?