Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Juni 2016

Sufi yang Suka Berkelahi

Rasanya aneh, jika seorang sufi terkenal sebagai orang yang suka berkelahi, memukuli orang lain, dan semacamnya. Atribusi negatif seperti itu sangat tidak pantas dilekatkan kepada seorang sufi, seorang yang mendekatkan diri pada Allah, seorang yang menjauhi dunia. Tidak heran kita sering mendengar atau membaca sufi-sufi atau wali-wali yang berdakwah dengan lemah-lembut, santun, dan tidak melukai orang lain. Alih-alih mengalahkan orang lain, mereka berjuang untuk menaklukan diri sendiri, sebagaimana petuah Kanjeng Nabi:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Orang yang kuat bukanlah orang yang tidak bisa dikalahkan, tapi orang yang bisa menguasai dirinya ketika marah

Muhammad Ali (Allahu yarham), adalah seorang Muslim, Asy’ari, Sufi. Ia memiliki banyak guru sufi di berbagai penjuru dunia seperti Syaikh Ahmad Kuftaro, Syaikh Hisyam Kabbani dan lain-lainnya. Bahkan, ia pernah berbaiat kepada Syaikh Nazim Haqqani qs (Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah / Nazimiyah). Bila kita membaca banyak meme atau quote dari beliau yang marak setelah kewafatannya, kita banyak mendapati hikmah yang elegan dari seorang petinju, juara dunia, tapi sufi. Mana mungkin sufi itu petinju? Yang sukanya memukuli orang lain? Meski tak bersalah sekali pun? Apakah ini anomali?

Nabi Khidir.
Sufi mana yang tidak kenal Nabi Khidir?
Kisah Nabi Musa berguru pada Nabi Khidir adalah cerminan dari pertemuan antara dunia syariat dan hakikat. Nabi Khidir, gurunya para sufi. Konon, semua wali mendapat stempel dari Nabi Khidir. Maka kita tentu ingat bagaimana Nabi Khidir, di hadapan Nabi Musa, tanpa belas kasihan memukul seorang anak tak bersalah, karena ia mengetahui apa yang akan terjadi kelak di masa depan. Nabi Khidir, bukan sekedar sufi, bukan sekedar wali, tega memukul seorang anak kecil tak bersalah hingga mati.

Pada kisah-kisah sufi lainnya dari penjuru dunia, kita tidak memungkiri banyak sufi yang juga ahli perang dan bela diri. Misal, salah seorang wali yang dikenal dengan nama Sayyid Amir Kulal, dari daerah Bucharest. Beliau masyhur sebagai keturunan Kanjeng Nabi yang menguasai ilmu syariat dan hakikat, namun hobi bergulat. Tidak tanggung-tanggung, berbagai aliran martial arts dia kuasai dengan baik. Maqamnya dalam ilmu syariat, hakikat, dan gulat sudah teramat tinggi. Hal ini yang membuat salah seorang pemuda heran, mana mungkin seorang wali tapi suka berkelahi? Hingga akhirnya pemuda itu tertidur dan bermimpi sedang menghadapi kiamat dan berada dalam suatu kesulitan yang pelik. Datanglah Sayyid Amir Kulal memberikan pertolongan (syafaat) dalam mimpinya itu. Ketika pemuda itu terbangun, ia menmdapati Sayyid Amir Kulal sudah berada di sampingnya dan ia pun bertambah yakin pada Sayyid Amir Kulal.

Sebuah kisah lain dari bumi Persia, bercerita tentang Mahmud. Ia adalah seorang wali, namun jawara dalam bergulat. Ia dijuluki Pahlawan Mahmud (Pahlevi Mahmud), superhero dari daerah Khawarizm. Alkisah, Raja India menghelat lomba gulat, India-Open Championship, Ten Ka Ichi Budokkai. Ia mengundang Raja Khawarizm untuk berpartisipasi dalam event tersebut. Raja Khawarizm menyetujui, dan mengutus superheronya, Mahmud. Bukan main senangnya Raja India, ia juga mengirim utusan terbaiknya untuk melawan Mahmud. Sebelum hari pertandingan, Mahmud menginap di sebuah rumah seorang sufi untuk mencari ketenangan spiritual. Mengetahui bahwa tamu yang menginap adalah sufi, bahkan wali yang hendak bertanding esok hari, sang sufi pemilik rumah berdoa, yang doanya didengar oleh Mahmud.

“Tuhan, anakku bekerja untuk Raja India, dan esok hari ia akan menghadapi utusan dari Khawarizm, bahkan ia adalah wali. Jika ia memang benar wali, dia pasti mudah mengalahkan anakku, padahal anakku adalah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini”

Esoknya Mahmud datang ke arena pertandingan, dalam beberapa pukulan Mahmud terjatuh dan kalah. Mahmud lantas menulis syair rubaiyat:
Raja dari ego, dialah orang kuat sebenarnya # Orang yang kuat dengan budak tidaklah sama
Tidak gagah menghajar orang yang lemah # Menyayangi orang malang, itulah orang yang menang


Dari cerita-cerita itu, kita bisa melihat seorang wali sekaligus seorang yang pandai berkelahi. Ini menghapus gambaran kita tentang sufi yang puasa terus menerus hingga badan kurus kering dan lemah, dengan alasan zuhud atau entah apa pun itu. Seorang sufi yang mendalam ilmu syariatnya, tinggi menjulang ilmu hakikatnya, gagah perkasa fisiknya, namun lemah-lembut  dan welas-asih hatinya. Hal ini mengingatkan kita pada sosok Al-Imam Junayd al-Baghdadi qs.
              
Sebagaimana tercatat dalam kitab Tajalliyat al-Jadzb karangan Maulana Hakim Muhammad Akhtar, Imam Junayd pada masa mudanya juga seorang pegulat. Ia jawara tak terkalahkan, invincible. Ia mendapatkan penghidupan dengan profesinya sebagai pegulat. Kehebatan itu membuat Raja berinisiatif untuk mengadakan sayembara, barangsiapa bisa mengalahkan Junayd, akan diberi hadiah besar. Terdengarlah berita itu pada seorang pria kurus yang hendak menantang Junayd.

Sampai di ring pertandingan, pria kurus itu membisiki Junayd:
“Aku adalah keturunan Kanjeng Nabi. Anakku banyak, dan mereka kelaparan. Bagaimana jika sampeyan mengorbankan nama, posisi dan kehormatan sampeyan demi kami? Sampeyan bisa memenuhi kebutuhan kami setahun penuh dengan hadiah itu. Sampeyan juga akan dicintai Kanjeng Nabi dunia akhirat.”

Junayd tanpa pikir panjang, melawan pria kurus itu dengan tanpa kekuatan, hingga akhirnya menjatuhkan diri dan kalah. Hari itu untuk pertama kalinya, di hadapan raja dan penonton se-negara, ia mengalah oleh seorang pria kurus. Malam harinya, Junayd bermimpi, bermimpi bertemu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi berpesan pada Junayd:

“Wahai Junayd, sampeyan sudah mengorbankan kehormatan dan ketenaran. Nama dan posisi yang disanjung di seluruh penjuru Baghdad, ditukar demi ekspresi cintamu untuk anak-anakku yang sedang kelaparan. Mulai detik ini dan seterusnya, namamu tercatat dalam daftar Auliya (wali Allah).”

Congratulation!