Cari Blog Ini

Senin, 02 Desember 2013

Ketika Wali Mogok


            “Ayo ikut simbah cah bagus”

            “Kemana mbah?”

           “Ketemu teman-teman simbah”. Ghani menurut saja, ada yang aneh dengan kakek satu ini. Di sebuah perempatan yang terletak di bagian selatan kampus, sepulang kuliah Ghani bertemu dengannya. Ketika berpapasan, mata sang kakek melihat mata Ghani secara mendalam seperti menerawang isi jasadnya. Ghani mengucap salam padanya, lalu sang kakek menjawabnya serta memegang tangan Ghani dan meminta Ghani mengikutinya. Ghani penasaran dengan kakek ini, Ghani pun mengikutinya.

            Ghani tiba di sebuah tempat yang gelap, masih dengan segenap keheranannya. Sepi, hanya Ghani dan kakek tua yang membersamainya di tempat tersebut, mereka terus berjalan dan memasuki sebuah ruangan yang besar, penuh cahaya. Di dalamnya sudah berkumpul banyak orang, di belakang Ghani juga masih menyusul sejumlah orang yang memasuki ruangan tersebut. Ada yang datang dengan menggunakan permadani, ada yang tiba-tiba muncul begitu saja, ada yang keluar dari dasar lantai, ada yang menggunakan kuda, ada yang menembus dinding, dan sebagainya.

            “Siapa mereka mbah?’
            “Kekasih Allah, cah bagus”
           Wali? Ghani berada di antara para wali. Sedang apa mereka disini? Kenapa Ghani juga berada disini? Ini tempat apa? Berbagai pertanyaan mengganjal di benak Ghani. Disaat Ghani merasa takjub dengan sejumlah keanehan para wali, Ghani juga bingung karena semuanya menunjukkan gerak-gerik yang kurang bergairah. Semacam sedih, cemas, khawatir, atau apapun itu. Ghani melihat ada yang sedang menangis, ada yang sedang berdebat, ada yang berusaha melerai, ada yang memberi komando kepada sebuah rombongan, dan sebagainya.

            “Assalamu’alaykum warrahmatullahi wabarakatuh”. Sebuah suara terdengar. Serentak semua yang hadir menempati tempat duduknya masing-masing. Seseorang berdiri di mimbar dengan wajah datar, melihat luas ke arah orang-orang yang hadir. Ghani duduk di samping kakek tua yang membersamainya.

            “Terima kasih atas kedatangan anda sekalian. Sebagaimana yang kita ketahui, dunia perwalian sedang menghadapi konflik. Kita harus segera memutuskan suatu hal yang kita sepakati bersama disini demi kemaslahatan umat manusia. Untuk mengawalinya, saya mohon Wali Ghauts untuk menyampaikan fenomena yang sedang kita hadapi”.  Salah seorang pria berjubah naik ke mimbar di sebelah kanan mimbar utama.

            “Saudara-saudaraku, hari ini saya nyatakan bahwa dunia kita sedang kritis. Kita sudah tidak dipercaya lagi oleh para umat manusia. Mengapa saya berkata demikian? Lihat saja fakta bahwa umat manusia mulai menjauhi ajakan kita kepada jalan baginda kita Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam. Mereka juga tidak mempercayai kita lagi dan menjauhi kita. Banyak thoriqoh membubarkan diri karena tidak memiliki jama’ah dan penerus, para mursyid juga kesulitan mencari badal. Madrasah-madrasah maupun zawiyah juga sepi. Orang-orang tidak percaya pada guru tapi lebih percaya pada buku dan internet. Manusia mempermainkan kedudukan kita sebagai lelucon. Semua laku prihatin kita yang mengakomodir mereka sebagai tanggungan kita dilecehkan seenaknya. Banyak orang mengaku wali, bahkan para wali mastur juga tergoda untuk menunjukkan karomahnya di hadapan umum demi popularitas. Pada puncaknya beberapa hari lalu salah seorang dari dewan Wali Abdal dicopot pangkat kewaliannya oleh Allah SWT karena gagal berdakwah pada kaum di wilayahnya. Sebelum acara pertemuan ini diselenggarakan, pihak perwakilan dari dewan Wali Abdal mengusulkan supaya kita mogok massal dari aktivitas kewalian kita. Sementara dari dewan Wali Abdal mengusulkan supaya kita berdemo kepada Allah SWT dan meminta-Nya untuk mengembalikan pangkat kewalian saudara kita dari Wali Abdal. Sementara dua dewan wali tadi masih sebatas usul, dewan Wali Akhyar melaporkan bahwa sebagian anggotanya telah meninggalkan wilayah kerjanya dan mengasingkan diri. Dari dewan Wali Autad mengusulkan supaya kita melakukan konsolidasi bersama Sulthonul Auliya Sayyidina Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Bahkan jika perlu, kita semua datang ke hadhirat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa salam. Mohon kepada Wali Quthb untuk memberi kebijaksanaannya tentang apa yang harus kita lakukan sebelum satu persatu para wali mengikuti arus untuk meninggalkan wilayahnya dan berakibat para umat manusia tidak ada lagi yang menanggung mereka. Demikian laporan dari saya, terima kasih.” Pihak dewan Wali Ghauts pun turun dari mimbar.

            “Terima kasih atas laporan anda. Berikutnya saya ingin mendengar penuturan dari saudara kita dari dewan Wali Abdal supaya menceritakan kronologis kasus yang menimpa mantan anggotanya serta mendengar langkah berikutnya dari dewan Wali Abdal selaku rekan sejawat.” Salah seorang pria berjenggot putih lebat naik ke mimbar sebelah kiri.

            “Mogok! Kita harus bekerja sama!”. Hadirin menjadi riuh ramai. Sekelompok orang menyatakan kesetujuannya, sebagian lain menolaknya.

            “Tenang saudaraku, ceritakan baik-baik” Wali Quthb mencoba menenangkan.

            “Ada beberapa poin yang membuat kami mengusulkan untuk pemogokan masal tuanku. Pertama, tentang kasus saudara kami. Ia diamanahi menjaga wilayahnya yaitu sebuah kepulauan di daerah timur raya, namun ia sering diabaikan. Baiklah, kita para wali memang biasa diabaikan, tapi sudah puluhan tahun ia menjaga wilayahnya dan manusia di sekitarnya justru semakin tambah menjauh dari ajaran baginda Rasulullah SAW. Kinerjanya menjaga wilayahnya dievaluasi dan akhirnya diputuskan bahwa Allah mencabut kewaliannya. Saya pikir banyak di antara kita juga mengalami hal tanggapa yang sama di antara masyarakat, dan jika demikian terus menerus, satu persatu di antara kita kelak akan dicabut kewaliannya. Kedua, mereka menghancurkan makam-makam wali pendahulu kita. Kita memang tidak butuh dibangunkan makam, namun keberadaanya adalah bukti adanya jejak kita. Selain itu banyak masyarakat yang mencari nafkah di dekat makam pendahulu kita sebagai pedagang atau semacamnya. Jika satu persatu makam dihancurkan, selain kita merugikan para umat manusia yang mencari nafkah, orang-orang akan melupakan kita akhirnya terhentilah doa-doa dari mereka lewat kita yang justru mereka butuhkan untuk diri mereka. Ketiga, kita perlu memberi peringatan kepada umat manusia tentang apa yang terjadi jika para wali tidak ada, jika wilayahnya dibiarkan untuk diurus umat manusia sendiri, kekacauan apa yang akan terjadi. Untuk itu, kami dewan Wali Abdal mengajukan petisi untuk menyelenggarakan mogok bersama hingga Allah mengembalikan pangkat kewalian saudara kita. Terima kasih Tuanku.” Pria tersebut turun disambut sambutan meriah

            “Setujuuu..!”

            “Mogok, mogok, mogok!”

            “Kembalikan saudara kami!” Berbagai suara menyeruak di antara forum tersebut. Hingga akhirnya Wali Quthb meminta untuk diam.

            “Baiklah, saya butuh 1 bukti lagi yang menguatkan bahwa apa yang disampaikan dewan Wali Abdal dan dewan Wali Ghauts tadi benar adanya.”

            “Saya Tuanku, saya membawa bukti tersebut kesini” kata seseorang yang berdiri sambil mengacungkan tangan. Ia maju ke mimbar sebelah kiri sambil membawa seorang laki-laki bertampang serius.

            “Silahkan Wali Akhyar”

           “Terima kasih Tuanku, saya kesini membawa salah seorang dari sekelompok manusia yang menentang kita. Mohon izin supaya ia berbicara menyuarakan pendapatnya tentang kita.”

            “Tentu, silahkan”

            “Hei kalian orang-orang yang mengaku wali Allah! Berhentilah mengaku-ngaku sebagai wali. Kalian pikir aku mudah dibohongi? Kalian mengatakan membawa ajaran Rasulullah tapi nyatanya banyak ajaran yang kalian inovasikan dan berbeda dengan Qur’an dan Hadits! Amal-amal ibadah kalian yang tidak ada dalilnya, pengikut kalian yang hanya taqlid buta, memuja kalian melebihi pujaan kepada Allah, gaya hidup kalian yang katanya zuhud namun berpakaian mewah, rumah megah, kalaupun tidak demikian maka kalian banyak yang hidup menyendiri di hutan atau gunung dan tidak mau bermuamalah dan bercampur dengan masyarakat. Dan semua itu membuat kalian justru merasa semakin tinggi derajat kalian dan dekat dengan Allah, terlebih mengaku sebagai wali Allah. Tidak! Sesungguhnya kamilah yang lebih layak disebut wali Allah. Kami menjalankan perintah Allah sesuai Qur’an dan Hadits, kami berislam secara kaffah, kami memerangi orang kafir, kami memperjuangkan syari’at Islam, kami memberantas penodaan terhadap Islam, kami memberangus semua pemujaan kepada selain Allah. Kami yang lebih layak menjadi wali Allah dan masuk surga dibanding kalian. Bubarlah dari forum ini, bertaubatlah, lalu ikutilah jalan kami.” Sontak forum menjadi ricuh, sejumlah hadirin sempat maju untuk menghampiri mimbar sebelah kiri. Sedangkan lelaki yang barusan bicara tidak takut dengan apa yang telah ia katakan.

            “Baiklah hadirin, apakah semua sepakat untuk mogok?” Wali Quthb menanyakan kepada hadirin. Lebih dari 90% menyatakan setuju, sedangkan sisanya memilih diam. Sebagian diantara 10% itu menangis tersedu-sedu. Kakek tua yang membersamai Ghani melihat Ghani ikut berkaca-kaca matanya.    
            “Ada apa cah bagus?”
            “Mbah, apa ini benar?”
            “Memangnya kenapa?”
            “Tidak mungkin para wali mogok, ini bercanda kan?’
            “Para wali tidak pernah bercanda cah bagus.”
            “Tapi aku tidak setuju mbah.” Kakek tua tersebut berdiri dan mengacungkan tangan.
            “Tunggu sebentar, ada yang mau menyampaikan sesuatu. Silahkan wahai wali hawariyyin.”
            “Wali? Hawariyyin? Engkau juga seorang wali mbah?” Ghani memandang sang kakek.    
            “Ayo, majulah cah bagus. Sampaikan ketidak-setujuanmu, siapa tahu engkau bisa memberikan pengaruh.”
            “Tapi apa yang harus saya katakan mbah?” Ghani masih kebingungan bercampur panik.
            “Tuanku, sebelum anda memberi keputusan, ijinkan saya juga membawa salah seorang umat manusia untuk memberi keterangan tambahan yang barangkali bisa menjadi pertimbangan kita semua disini.” Kakek tua tadi menarik tangan Ghani dan membawa Ghani ke mimbar sebelah kanan. Ghani masih panik, namun kakek tua mengusap punggung Ghani dan Ghani merasakan sesuatu di dalam dadanya. Ghani siap untuk bicara.

            “Salam kepada para junjunganku, kekasih-kekasih Allah yang dimuliakan langit dan bumi, maafkan kelancangan saya berbicara disini. Jujur, saya panik berada di antara anda semua. Terlebih, mendengar bahwa anda semua merencanakan untuk mogok. Saya mohon dengan sangat untuk tidak merealisasikannya. Hal itu dapat mengacaukan keseimbangan alam. Anda semua adalah tiangnya langit,  sekaligus jangkar bumi. Dalam wirid dan doa anda semua tak lupa terselip kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Dalam ketaatan anda semualah kami merasakan semburat cinta Ilahi dan pancaran kasih sayang nabi. Kalaupun ada di antara kami yang tidak sesuai dengan yang anda semua harapkan, percayalah bahwa itu hanya sedikit dari umat manusia yang belum mengenal anda semua. Apa jadinya jika anda semua mogok sementara jika tidak mogok saja kekacauan masih banyak terjadi. Saya tidak bisa membayangkan bumi yang jauh dari zuhud, tawadhu’ wara, qana’ah, dan berbagai akhlak indah yang telah menjadi budi pekerti anda semua. Jikalau ada orang seperti tadi yang menyeru untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadits dan mengajak untuk meninggalkan anda semua, maka lihatlah orang tersebut. Betapa mereka mengajak untuk tidak memuja selain Allah namun mereka memuja diri mereka sendiri, merasa dirinya yang terbaik. Namun berbeda dengan anda semua, sekalipun ilmu anda semua dalam, anda semua tak pernah merasa lebih baik dan tidak terbelenggu egoisme. Anda semua warisan para Nabi, jika hilang warisan, apalagi yang kami punya? Mohon pertimbangan untuk tidak merealisasikan pemogokan ini, demi kebaikan bersama.” Hadirin kembali ramai, ada yang mendukung Ghani, ada yang menyanggahnya. Wali Quthb kembali mengambil alih forum.
            “Saudaraku yang kumuliakan, persoalan ini sungguh pelik. Lauhul Mahfudz menutup pintunya, pihak Malaikat juga berlepas diri, baru saja aku meminta isyarah kepada Nabi Khidhir ‘alayhissalam, dan aku mendapat isyarah bahwa beliau menyerahkan keputusan kepadaku. Seandainya aku meminta isyarah kepada Sayyidina Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Rasulullah SAW sekalipun, aku yakin jawabannya tetap sama. Ini adalah ujian kolektif dari Allah bagi kita semua. Aku mengusulkan untuk uji coba pemogokan selama 3 hari. Kita akan lihat bisakah manusia menjaga wilayahnya sendiri. Dan di antara hal-hal yang akan kita lakukan selama kita mogok adalah; menyembunyikan diri dari hadapan manusia, berhenti menjadi wasilah doa manusia, menghentikan aliran doa-doa kita kepada manusia, menyembunyikan makam para wali pendahulu kita, dan terakhir, membuka pintu langit sehingga lalu-lintas adzab dan siksa Allah dapat turun dengan lancar. Bagaimana dewan Wali Ghauts, Abdal, Autad, dan lainnya?” Hampir semuanya menyatakan persetujuan. Ghani memandang tidak percaya. Kakek tua mengelus kepala Ghani dan tersenyum. Forum akhirnya memutuskan mulai saat itu para wali mogok, dan seketika semua keluar dari tempat tersebut. Ghani masih bergejolak hatinya. Ghani diantar pulang kakek ke tempat semula ketika bertemu sang kakek.

            “Hati-hati ya cah bagus”
            “Mbah, apa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mencegah mogok?”
            “Sampeyan punya Gusti Allah cah bagus, sampeyan milik-Nya, bukan milik para wali.”
            “Tapi mbah, saya harus bagaimana?”
            “Pulanglah cah bagus,” kata sang kakek. Ghani masih kosong pandangannya tanpa sadar sang kakek mulai pergi menjauh. Ghani pulang ke pondoknya, sementara ini semua masih baik-baik saja.

            Seperti biasa, setelah sholat maghrib Ghani mengirimkan bacaan Al-Fatihah kepada para wali. Saat itulah Ghani mulai merasa aneh, ia tidak bisa sama sekali mengingat nama-nama wali yang ia hafal. Ghani masuk ke kamar untuk membuka kitab-kitab karya para wali, namun entah kenapa Ghani mendadak tidak bisa membacanya. Ghani menanyakan ke teman-temannya, ternyata mereka juga mengalami hal yang sama. Seketika orang-orang sepondok heboh mengalami keanehan serupa, ada yang tidak beres dalam benak mereka. Keesokan paginya, matahari tidak secerah biasanya. Gunung merapi di ujung utara dikabarkan aktif secara tiba-tiba. Hal serupa terjadi di sejumlah gunung di tempat lain. Angin kencang mulai sering bertiup menyapu daerah-daerah yang mengakibatkan putting beliung, hingga badai topan. Beberapa negara ada yang sudah mengalami gempa dan tsunami dahsyat. Selama sepekan, sejumlah peristiwa besar terjadi, bencana alam merebak, kriminalitas meningkat tajam, masjid-masjid dan pesantren menjadi tempat pelarian orang-orang yang ingin menyelamatkan diri namun disana mereka tidak mendapati siapa-siapa. Ketika segalanya menyadari bahwa hal tersebut adalah tanda-tanda kiamat yang sangat dekat, Ghani ingat bahwa ini sudah lebih dari sepekan dari 3 hari rencana pemogokan para wali. Ghani menuju ke tempat ketika bertemu sang kakek, di sana ia mengucapkan salam dengan lirih, “assalaamu ‘alaykum yaa Waliyallah, assalaamu ‘alaykum yaa Waliyallah, assalaamu ‘alaykum yaa Waliyallah”. Seketika dari belakang Ghani merasa tangannya ditarik oleh seseorang yang ternyata adalah kakek yang dulu ia temui.
            “Aku tahu cah bagus akan kembali lagi, tapi ketahuilah, tidak ada wali yang menjawab salammu. Bahkan, tidak ada lagi yang bernama wali.”
            “Apa maksud simbah tidak ada wali?”
            “Semua wali yang kau temui kemarin sama-sama mencopot pangkat kewalian demi solidaritas saudara mereka yang dicopot kewaliannya lebih awal.”
            “Termasuk simbah juga kah? Bagaimana dengan para pemimpin wali?”
            “Mereka juga sama-sama melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama. Namun meski demikian, kami tetap bisa berkomunikasi satu sama lain untuk saling berbagi kabar wilayah masing-masing. Dan hari ini sudah kuundang para wali untuk menyelenggarakan sidang darurat. Ayo, ikut simbah lagi.”
            “Eh, iya mbah.” Dan seketika Ghani kembali ke tempat pertemuan para wali. Kali ini semua datang dengan jalan kaki, dengan ekspresi yang datar, tidak sedih dan tidak senang. Sang kakek yang membersamai Ghani memimpin sendiri. Ghani menemaninya di samping.
            “Saudaraku yang kumuliakan, sudah sepuluh hari semenjak kita mogok, alangkah baiknya kita mengevaluasi keputusan kita ini. Sebagaimana kita ketahui di wilayah kita masing-masing, berbagai ketidakseimbangan menjadi ketakutan bagi umat manusia yang tidak memiliki penuntun. Matahari tak memancarkan sinar, tumbuhan tak mau tumbuh, sungai tak mau mengalir, hujan tak mau turun, hewan tak mau keluar dari sarang, cepat atau lambat hari yang dijanjikan tiba tanpa ada yang mengawal manusia. Karenanya, saya mohon suara dari saudara-saudara apakah pemogokan ini tetap dilanjutkan, atau kita kembali dengan tugas kita membimbing umat manusia dalam riyadhoh-riyadhoh fisik dan batin sebagaimana sebelumnya?”
            “Tetap mogok, kami nyaman seperti ini, kami capek mengurusi umat manusia” kata salah seorang hadirin.
            “Buat apa mengurusi manusia yang suka membangkang?” yang lain menambahi
            “Jika saudara kita sudah dikembalikan pangkat kewaliannya, baru kita kembali dengan tugas kita,” dan berbagai tambahan-tambahan lain membuat forum menjadi sangat ramai. Hampir semuanya enggan untuk berhenti mogok. Sang kakek memandang Ghani sambil tersenyum. Ghani memberanikan diri naik ke mimbar sebelah kanan.

            “Wahai junjunganku, kekasih-kekasih Allah yang aku muliakan. Anda semua sering menyebut-nyebut saudara anda yang telah dicopot kewaliannya, namun saya belum tahu kondisi beliau saat ini. Alangkah baiknya kita mendengar kesaksian beliau.” Hadirin menyetujui usulan Ghani, sang kakek turun dari mimbar menuju balik panggung dan membawa seseorang dengan pakaian rapi dan wajah cerah dihiasi senyum. Sang kakek mengantar orang tersebut ke mimbar sebelah kiri dan memberi kesempatan padanya untuk bicara.

            “Saudara-saudaraku para mantan kekasih Allah…..” serentak hadirin menjadi gaduh, merasa heran dengan kata-kata pembukanya.
            “30 tahun aku menjaga wilayahku, namun  tidak ada satupun yang mengikutiku, dan aku senang. Aku mendoakan kebaikan kepada manusia di wilayahku, bukan kebaikan yang bertambah, namun justru semakin memburuk, dan aku tidak peduli. Aku sampaikan amanat Rasul mulia, namun mereka semakin menjauhiku, aku tak ada masalah. Aku tetap menjalankan tugasku sebagaimana mestinya. Aku menikmatinya meski tidak mendapat hasilnya. Hingga akhirnya Allah menaikkan derajatku dengan mencopot kewalianku.” Hadirin terdiam dan menerka-nerka maksud kata-kata terakhir yang diucapkan.
            “Barangkali anda bingung, derajat apa yang saya capai saat ini. Allah mencabut pangkat kewalian saya, dan itu adalah salah satu hal yang saya harapkan sejak 30 tahun yang lalu. Allah mengabulkan doa saya, dan saya kini menjadi manusia biasa namun dengan tugas yang sama seperti layaknya wali. Saya menjaga wilayah saya, membimbing manusia, mendoakan mereka, tanpa ada tendensi bahwa saya adalah wali, bahwa saya melakukan ini hanya untuk menyelamatkan pangkat kewalian saya, sama sekali tidak. Saya hanya senantiasa menikmati proses lelaku tanpa melihat ke depan, namun ke atas. Saya merasa nyaman dengan hal ini, hati saya merasa lebih ringan tanpa beban, dan wajah saya selalu terasa sejuk. Saya merasa lebih nikmat daripada ketika menjadi wali.” Semuanya terdiam. Banyak di antara hadirin menangis, beristighfar, dan meneriakkan asma Allah yang menggema.

            “Saran saya, kembalilah menjalani tugas anda semua dan nikmatilah. Tak usah mempedulikan saya, saya nyaman seperti ini. Terima kasih.” Orang tersebut turun dari mimbar menuju belakang panggung. Dari sisi yang lain, muncullah Wali Quthb, pimpinan para wali menuju mimbar tengah. Wali Quthb meminta suara tentang pemogokan para wali apakah dilanjutkan atau dihentikan. Semuanya sepakat menghentikan mogok dan kembali menjalankan tugasnya. Wali Quthb memutuskan untuk kembali bersama-sama menjalankan tugas kewalian. Ghani dan sang kakek berpandangan sambil tersenyum. Sebelum hadirin kembali pulang, Wali Quthb memberi pesan penutup.

            “Pada akhirnya, apa yang kita lakukan bukan karena tuntutan, dan bukan karena tujuan. Semuanya dibingkai dalam cinta Allah. Maka ketika tidak ada tuntutan, kita masih menikmati tugas kita karena cinta. Ketika tidak mendapatkan tujuan, kita masih asik dengan tugas kita karena cinta.”

            

Jumat, 27 September 2013

Halaktu…!


[cerpen]            
            Berjumpa dengan Rasulullah SAW sudah bisa dipastikan menjadi keinginan semua umat islam yang beriman pada beliau. Jangankan umat islam, umat lain pun juga banyak yang penasaran seperti apa sih wujudnya Rasulullah, seberapa santun tutur katanya, seberapa indah wajahnya, seberapa lembut lakunya, yang oleh salah seorang di barat ditempatkan sebagai orang paling berpengaruh di dunia. Ingin sekali rasanya Ghani juga diberi kesempatan seperti itu, bisa bertemu Rasulullah, sekedar mencium tangan saja rasanya sudah seperti surga pastinya. Atau sekedar memandang wajahnya dari kejauhan pun tak apa, yang penting terkena cipratan nur beliau yang pancarannya menyemesta alam.

           Dan hingga pada akhirnya saat-saat yang ditunggu itu memang benar-benar tiba. Ghani mencari-cari waktu dan kesempatan dimana Rasulullah SAW sedang benar-benar sendiri. Tak mudah memang, orang-orang saling menunggu untuk sowan kepada beliau. Akhirnya Ghani menemukan momen itu. Diintipnya dari balik pintu, lalu Ghani memunculkan wajahnya dengan menunduk ke tanah.

            “Ash-shalaatu wa salaamu ‘alayka yaa Sayyidi yaa Rasulallah” ucap Ghani penuh ta’zhim seperti ketika beliau sowan kepada para kyai.

            “Wa’alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh”, beliau SAW menjawab dengan jelas. Akhirnya Ghani bisa mendengar langsung suara merdu yang keluar dari lisan beliau SAW. Beliau diam sebentar, Ghani merasa sepertinya beliau sedang memperhatikan dirinya. Wajah Ghani tetap tertunduk ke tanah. “Ta’al yaa ghulam, kemarilah cah bagus”. Dengan membungkuk, Ghani memberanikan diri memasuki ruangan. Hingga jarak sekitar 3 meter, Ghani langsung meluncur, menyungkurkan diri, dan memeluk kedua paha Rasulullah SAW yang sedang bersimpuh dan Ghani membenamkan mukanya sendiri ke sarung Rasulullah SAW, Ghani menangis sejadi-jadinya.

            “Halaktu yaa Rasulallah, halaktu yaa Rasulallah. Duh Kanjeng Rasul, betapa saya telah rusak, hancur, dan binasa.” Masih dengan sembap dan sesenggukan Ghani menyuarakannya dengan bahasa arab yang difasih-fasihkan. Beliau SAW yang belum mengangkat kepala Ghani lantas mengusap rambut Ghani dengan kopyah Ghani yang sudah acak-acakan dengan tangan kanan beliau SAW penuh kasih sayang, sementara tangan kiri beliau SAW mengusap punggung Ghani.

            “Min aina ji’ta, cah bagus datangnya dari mana?”
            Dibuatlah bingung Ghani oleh pertanyaan beliau. Harus ia jawab dari Jogja kah? Dari Aceh kah? Dari Indonesia kah? Dari NU? Dari Muhammadiyah? Atau darimana?

            “Ji’tu min azh-zhulumati Yaa Rasul, saya datang dari kegelapan lagi penuh kezaliman, wahai Rasul.” Tiba-tiba Ghani mengeluarkan jawaban itu yang dia sendiri tidak sadar mengucapkannya. Seakan-akan mulutnya lebih jujur dari apa yang ada di pikirannya.

            “Ana nuur, wa anta fi nuuriy, aku adalah cahaya dan cah bagus ada dalam cahayaku.” Kata-kata beliau mengalir lembut, seketika dari kedua tangan beliau terjadi emanasi kehangatan, merasuk ke tulang belulang Ghani dan pembuluh darahnya.

            “Ijlis hunaak yaa ghulam, duduklan disini cah bagus, di sampingku” kata beliau SAW sambil mengangkat kepala dan tubuh Ghani. Tetap saja meskipun tubuh Ghani telah bangkit namun wajah tetap dia tundukkan. Mana berani Ghani memandang wajah beliau SAW jika dengan memandang wajah beliau SAW akan segera selesai semua urusan Ghani. Sebagaimana potongan bait shalawat yang Ghani hafalkan waku kecil dahulu.

Tanhalu bihi al-‘uqadu # wa tanfariju bihi al-kurabu
Terurailah dengannya segala ikatan # dilenyapkan dengannya segala kesusahan.
wa tuqdha bihi al-hawaa-iju # wa tunaalu bihi ar-raghaa-ibu
Ditunaikan dengannya segala hajat # diperoleh dengannya segala harapan.
wa husnu al-khawaatimi # wa yustasqa al-ghamaamu
Dicapailah akhir yang indah # dan diberinya air minum dari awan.
bi wajhihi al-kariim
Dengan wajahnya yang begitu mulia.

            Ghani tetap tidak berani memandang wajah beliau SAW. Ya, karena ia masih belum ingin masalahnya selesai begitu saja lantaran memandang wajah beliau SAW. Laitahu khashshani bi ru-yaati wajhin, zaala ‘an kulli man ra-aahu asy-syaqaa-u.  Ghani masih ingin berlama-lama menggelayut di samping beliau SAW. Jika saat ini Ghani beranikan memandang wajah beliau SAW sekedipan mata saja, niscaya cahaya wajah beliau SAW yang tabassum akan masuk ke rongga mata Ghani dan menerangi kegelapan dalam diri dan sudut-sudutnya, meruntuhkan kecongkakan dan egoisitas, merobohkan segala sandaran-sandaran yang tidak semestinya, melupakan segala kepalsuan dari kesenangan dunia.

            Laa yaraa wajhiy tsalatsatun. Ada tiga golongan yang tidak bisa melihat wajahku. Aqqu al-walidayn, orang yang durhaka kepada orang tuanya. Wa taariku sunnati, orang yang meninggalkan dan tidak mencontoh perilaku hidupku.  Wa man dzukirtu ‘indahu fa lam yushalli ‘alayya, dan orang yang apabila disebut namaku padanya ia tidak bershalawat kepadaku. Ghani ingat hadits tersebut ketika mengaji di pondok beberapa tahun lalu di bulan Ramadhan.

            “Astaghfirullah”, Ghani menggemuruhkan lafadz istighfar dalam dada. Betapa selama ini dia ternyata belum berhak untuk sekedar memandang wajah Rasulullah SAW. Apalagi meminta beliau mendampingi dirinya ketika melintasi jembatan shiraath al-mustaqim, lebih-lebih merajuk agar bersedia masuk surga bersama-sama. Abu Lahab, Abu Jahal, mereka saja diberi nikmat dapat memandang wajah Rasulullah SAW, bagaimana dengan dirinya yang selama ini mengaku menjadi umatnya!

            “Astaghfirullah”, beberapa tetes air mata meluncur melintasi wajah Ghani yang sudah melembap. Teringat bahwa selama ini baktinya kepada orang tua masih jauh dari apa yang diharapkan Rasulullah SAW. Bahkan mungkin masih belum bisa disebut berbakti. Sungguh banyak kerepotan-kerepotan yang ia timbulkan untuk mengusik kehidupan kedua orang tua. Yang sayangnya, ia selalu menganggap bahwa orang tuanya akan mengampuninya karena ia anak kandung mereka. Ridho Allah adalah ridho orang tua, apa jadinya di akhirat kelak jika ridho orang tua menjadi barang mahal yang tak terbeli. Menginjakkan kaki di halaman surga saja rasanya mustahil jadinya.

            “Astaghfirullah”, Ghani sedikit mengangkat kepadala ke atas lagi. Rasulullah SAW masih menunggu Ghani memandang wajah beliau. Apa mau dikata, Ghani selama ini masih jauh dari perilaku hidup Rasulullah SAW. Beliau yang hanya makan jika lapar, dan berhenti sebelum kenyang. Beliau yang senyum dan tutur katanya dinanti-nanti baik orang muslim maupun bukan. Beliau yang lebih dekat dari saudara meski tanpa hubungan darah. Beliau yang sedikit tidur dan sedikit-sedikit beribadah. Berbeda dengan dirinya yang sedikit-sedikit tidur dan sedikit beribadah.

            “Astaghfirullah”, Ghani kini mengangkat kepala dan duduk dengan posisi sempurna. Tapi matanya masih melihat ke bawah. Syarat terakhir melihat wajah beliau, bershalawat ketika nama beliau disebut. Secara lisan maupun tulisan, Ghani merasa sudah mengamalkannya. Tapi bagaimana dengan nama beliau yang disebut secara sirr, secara tersirat, secara isyarat? Jika alam semesta ini memang benar emanasi dari cahaya beliau, harusnya shalawat selalu ia lestarikan dimanapun dan kapanpun. Jika pada senyum setiap orang, otak kita menangkap sinyal itu adalah sinyal namanya yang bassam, harusnya ia bershalawat. Jika dalam lantunan ayat-ayat Al-Qur’an tertangkap suara beliau yang secara mutawatir bersambung, jika dalam kesenduan melihat anak yatim piatu menggelandang di perempatan jalan mengingatkan kita pada beliau SAW yang juga yatim piatu sejak kecil, jika dalam menyaksikan seseorang dizhalimi mengingatkan kita pada beliau SAW yang dizhalimi kaum kafir dimanapun berada, dimana lagi tempat ia tidak berhak untuk shalawat padanya!

            “Astaghfirullah. Allahumma bi haqqi Muhammadin arinii wajha Muhammadin haalan wa maalan. Ya Allah, dengan haq beliau, tunjukanlah wajah beliau kepadaku saat ini secara nyata”. Ghani memejamkan mata, lalu mengusap air mata yang membasahi sekitar matanya. Perlahan ia membuka mata dan ia masih tidak percaya. Yang ada di hadapannya sekarang adalah Rasulullah SAW. Seketika tubuh Ghani menjadi tergetar hangat. Sesuatu menerobos matanya, turun ke hatinya, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya secara konduktif.

            Laa tahinuu wa laa tahzanuu wa antum a’launa in kuntum mu’miniin, jangan merasa hina dan sedih, cah bagus masih tetap unggul jika cah bagus memang benar-benar orang mukmin”. Beliau SAW berkata lembut. Jika Ghani boleh untuk tidak sopan, ia sudah memeluk dan mencium wajah Rasulullah SAW. Ingin sekali membawa kamera untuk mengabadikannya. Tapi mata Ghani sudah cukup menjadi lensa untuk menyimpan wajah beliau di memori sanubari. Tiba-tiba telapak tangan Rasulullah SAW mengusap wajah Ghani. Ghani memegangi punggung tangan beliau. Harum. Wangi. Hangat. Sejuk. Halus. Cerah. Entahlah, susah bagi Ghani mendeksripsikannya. Dan ketika telapak tangan itu terbuka, mata Ghani ikut terbuka. Tiba-tiba gelap.

            Ghani terbangun, ia melihat sekeliling dan mencari Rasulullah SAW. Di sampingnya hanya ada mushaf Al-Qur’an di atas meja dalam posisi terbuka. Ghani sadar ia baru saja tertidur di mushola pondok. Beberapa santri yang lain sudah ada yang bangun dan membaca Al-Qur’an maupun bertahajud. Ghani segera bangkit mengambil wudhu dan kembali ke mushola untuk menunaikan tahajud. Selesai itu ia ambil mushaf yang telah terbuka pada surat Muhammad.


            “Shalallahu ‘alayhi wa salam”, ucap Ghani ketika membaca nama surat tersebut. Masih ada waktu sekitar 20 menit sebelum adzan shubuh. Cukup bagi Ghani menyelesaikan 3-4 halaman. Ia cium mushaf Al-Qur’an wana biru tua miliknya, harum. Tapi bukan, bukan mushafnya yang harum. Namun telapak tangan Ghani yang harum. Harum yang sama dengan telapak tangan Rasulullah SAW.

Rabu, 13 Februari 2013

Hukum Cukur Jenggot


[Hukum Cukur Jenggot]

gus maola, request dong, klo dari kyai2 dan kitab2 yang sudah dipelajari tentang hukum cukur jenggot niku pripun nggih? klo dari tempat ngaji saya selama ini mutlak mengharamkan, saya pengen tau pendapat lainnya...hoho
Sunday at 6:47am • Like

Jawaban:

Assalamu’alaykum warrahmatullah wabarakatuh

Apresiasi terhadap sa-il (penanya), meskipun telah mencari tahu hukum mencukur jenggot dan menemukan jawabannya, namun beliau masih mencari jawaban lain yang berasal dari sumber berbeda. Hal ini adalah upaya positif untuk tidak terjebak pada pandangan sempit apalagi jika merujuk pada situs-situs monoton-copasan di internet. Dengan mengetahui khazanah perbedaan pendapat di kalangan ulama, insya Allah akan membuat kita lebih bijak dan terhindar dari islam madzhab bocor alus yang bernutrisi rendah. Karena ulama memang berbeda pendapat tentang hukum mencukur jenggot. Sebagian mengatakan haram, sebagian mengatakan makruh, sebagian merincinya dengan ketentuan-ketentuan khusus. Dan alangkah baiknya jika kita mengetahui masing-masing pendapat agar menjadi lebih bijak dan tidak sembarangan bertindak hanya karena masalah jenggot. Saya coba menguraikan dengan singkat dan bahasa yang mudah.

Diantara perbedaan ulama dalam hal ini (Lihat: Fiqh al-Islami, Syaikh Wahbah Zuhayli): Madzhab Maliki dan madzhab Hambali mengatakan haram bagi pria, sedangkan madzhab Hanafi mengatakan makruh tahrim (makruh yang menjurus ke haram), menurut madzhab Hanafi yang disunnahkan dalam jenggot adalah yang ada pada segenggaman tangan. Madzhab Syafi’i lebih memilih hukum makruh dalam mencukur jenggot (Imam Nawawi, Imam Rafi’i, Imam Ramli, Imam Zakariya al-Anshari, Imam Ghazali, dll). Meskipun demikian sebagian dari madzhab Syafi’i juga ada yang mengharamkannya (Imam al-Quffal, Imam al-Halimi, Imam Al-Adzra’i, dll.)

Di atas adalah berbagai pendapat dari ulama mutaqaddimin (awal). Alangkah baiknya kita juga mencoba mengetahui pendapat ulama muta-akhirin. Menurut Syaikh Ali Jum’ah (Grand Mufti Al-Azhar Mesir yang beberapa hari lalu purna tugas), sebagian ulama mengatakan perintah dalam hal-hal yang berkaitan dengan jenggot, rambut, makan, minum, berpenampilan, siwak, dan semacamnya adalah wajib sehingga jika menyelisihinya maka haram. Sebagian lagi mengatakan bahwa perintah di dalam hal tersebut bermakna anjuran yang bernilai sunnah, sehingga jika menyelisihinya tidak sampai haram, tapi makruh. Hal ini dikarenakan dikarenakan terdapat indikasi (qorinah) yang mengubah kewajiban menjadi anjuran terkait dengan kebiasaan sehari-hari.

Sebagian lagi menyatakan bahwa memanjangkan jenggot ini illat-nya adalah untuk berbeda dan menyelisihi kaum kafir. Dalam sejumlah hadits diredaksikan dengan lafadz “khalafuu” yaitu perintah untuk menyelisihi, di satu riwayat untuk menyelisihi majusi, di riwayat yang lain untuk menyelisihi musyrikin, nasrani dan yahudi. Riwayat lain bahkan dikatakan untuk menyelisihi ‘ajam (orang asing). Maka bisa dikatakan jika seseorang memendekkan jenggot atau mencukurnya maka dikhawatirkan akan menyerupai (tasyabbuh) dengan kaum kafir. Padahal, jika kita melihat rabi-rabi yahudi, jenggot mereka juga panjang-panjang. Belum lagi sinterklas pun jenggotnya juga panjang. Maka ada baiknya kita perlu tahu juga tentang kaidah tasyabbuh.

Diantara kaidah ber-tasyabbuh adalah: Bila tasyabbuh-nya dengan tujuan meniru orang kafir untuk turut menyemarakkan kekafirannya maka hukumnya menjadi kafir. Bila tasyabbuh-nya dengan tujuan hanya meniru tanpa disertai untuk turut menyemarakkan kekafirannya hukumnya tidak kafir namun berdosa. Bila tasyabbuh-nya tidak sengaja meniru sama sekali tetapi sekedar menjalani sesuatu yang kok ndilalahnya alias kebetulan sama dengan mereka maka tidak haram tetapi makruh.

Karena wazan dari kata tasyabbuh adalah tafa'-'ul. Wazan ini menunjukkan adanya sebuah niat / orientasi untuk melakukan suatu perbuatan dan menghadapi semua kesulitannya. Mempertimbangkan aspek niat (tujuan) dari mukallaf merupakan salah satu dasar pengambilan dalil dalam syari'at. Penyerupaan yang dilarang adalah yang berkaitan dengan syiar-syiar agama dan memang bertujuan untuk menyerupai perbuatan mereka itu. Karenanya. Syaikh Ali Jum’ah merangkum bahwa tasyabbuh yang dilarang adalah jika memenuhi 2 syarat: Tasyabbuh dalam syi’ar-syi’ar agama lain dan tasyabbuh yang disertai niat untuk menyerupai mereka.

Berkaitan dengan tasyabbuh, dalam Fathul Bari dikisahkan ketika berbicara mengenai pakaian Thailasan, yaitu sebuah pakaian yang mulanya dipakai orang-orang Yahudi, dan ketika menjelaskan hadist: "Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia adalah golongan mereka." Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, "Dibolehkan menjadikan kisah orang-orang Yahudi tersebut sebagai alasan pengharaman pakaian Thailasan ini adalah jika ia masih merupakan ciri khusus mereka. Namun saat ini pakaian tersebut sudah tidak lagi menjadi ciri khas mereka, sehingga penggunaan pakaian itu telah masuk dalam penggunaan barang yang dibolehkan secara umum. Ibnu Abdis Salam telah menyebutkan hal ini dalam contoh-contoh bid'ah yang dibolehkan." Artinya, konsep tasyabbuh ini juga terikat dengan masa. Sebuah perkara dalam suatu masa adalah tasyabbuh, namun dalam masa yang lain bisa berbeda.

Maka pada akhirnya untuk kesimpulan kembali kepada masing-masing. Yang jelas, sejauh penelusuran saya tidak ada hukum muthlaq untuk mencukur jenggot. Kita perlu melihat sekitar kita, apakah jenggot masih merupakan hal pembeda dengan kaum kafir? Apakah mencukur jenggot adalah syi’ar kaum kafir? Seandainya kita mencukur jenggot, apa orientasi kita? Jika kita memanjangkan jenggot, apa pula orientasinya? Bagaimana jika dengan berjenggot panjang justru kita bertasyabbuh dengan sinterklas atau rabi-rabi yahudi? Silahkan pilih pendapat yang lebih anda yakini. Dari berbagai pendapat di atas, saya sendiri memilih ikut pendapat istri saya kelak. Jika beliau ingin saya berjenggot, saya turuti. Jika ingin dicukur, saya cukur. Dalam hal ini saya tidak perlu bermusyawarah, sam’an wa tha’atan. Pokoknya asal nona senang, abang tenang. Idkhulus suruuri zaujati, ndemenaken penggalihe sigaraning nyowo.

Kalau-kalau istri saya besok tanya:

“Mas, kok njenengan mau-maunya to cukur jenggot? Katanya kan ada bidadari di tiap helainya mas? Mangke mboten nyesel po?”

“Dik, sudah ada njenengan kok, buat apa sih bidadari? Ngganggu mawon :)”

Wallahu a’lam bish-shawab
Wassalamu ‘alaykum warrahmatullah wabarakatuh

Mochammad Maola Lc (Lelaki cejati)

(ini ceritanya format tulisan gaya Ust Ahmad Sarwat)