Cari Blog Ini

Jumat, 15 April 2016

Pesantren, Harvard, dan Alasan Mengapa Kita Tidak Butuh LPDP


Saya Tidak Butuh LPDP



Siapa mahasiswa Indonesia yang tidak kenal LPDP, sebuah beasiswa lezat dari pemerintah yang diperebutkan mahasiswa se-Indonesia. Saya juga pernah memperebutkannya, dua kali, gagal semua. Sesuai peraturan, jika gagal dua kali maka tak bisa mendaftar lagi. Secara jujur, saya pun iri dengan teman-teman, kakak kelas, atau adik kelas yang mengunggah foto-foto keberhasilan mereka menembus LPDP, ketika mengikuti PK, dan semacamnya. Tidak sedikit (bahkan hampir semuanya) teman-teman facebook yang mengunggah hal tersebut segera saya unfollow akun facebooknya. Karena itu membuat saya hasud, lalu teringat dan berpikir, apa alasan saya tidak lolos seleksi tersebut? Dalam hal ini tidak ada transparansi yang jelas dari panitia. Meskipun saya mengakui, jika kriterianya adalah mahasiswa yang aktif organisasi, berpengalaman riset, memenangkan kejuaraan, saya kalah telak. Tapi itu bukan tanpa alasan.



Belakangan ada berita keren, kolega saya di pesantren Krapyak, berhasil menembus Harvard dan mendapatkan beasiswa bebas uang kuliah, dan sejumlah saku untuk living cost dari Harvard. Namun karena dirasa belum cukup untuk tinggal di sana, kolega saya ingin mencari sponsor lain, setelah dia sendiri juga ditolak oleh LPDP. Sebagai sesama santri, berat memang untuk bisa menjadi seideal mahasiswa berprestasi lainnya. Kami tidak sebebas dan seluang mahasiswa yang tinggal di rumah atau di kos. Kami tidak bisa seenaknya pergi dari pondok, setiap pagi dan malam kami harus mengaji, menyiapkan setoran hafalan, belum lagi yang menjadi pengurus pondok. Dengan itu semua, berat bagi kami untuk aktif di organisasi, riset-riset produktif, berlatih untuk menjuarai lomba demi lomba, dan sebagainya. Saya masih ingat dulu ketika S1, hampir tiap hari saya memiliki agenda rutin. Paginya saya mengaji, lalu berangkat kuliah, siangnya mengajar les privat, sorenya mengajar diniyah sambil menyiapkan setoran  hafalan, bakda maghrib setoran Al-Qur’an, bakda Isya mengaji diniyah dan selesai sekitar pukul setengah sepuluh malam. Entah, aktivitas saya tersebut apakah masuk pada pengalaman organisasi, riset, atau kejuaraan? Apakah memberi kesan positif pada interviewer LPDP? Entahlah.



Saya tidak buta organisasi. Selama S1, saya sempat menjadi koordinator bidang Syiar di LDK Fakultas, bahkan hampir menjadi ketua LDK Fakultas. Namun ketika musyawarah pemilihan, saya tidak hadir. Saya juga menjadi panitia ospek 2 tahun, pernah menjadi ketua panitia talkshow tingkat nasional, direktur tim trainer dan outbond, dan sejumlah kepanitiaan. Tapi jangan menyamakan saya dengan aktivis BEM yang kritis, kuliah lama, kaki tangan partai, dan semacamnya. Naif. Saya buta riset, dalam artian riset-riset yang dipublikasikan, memenangkan karya ilmiah, dan semacamnya. Riset mandiri yang saya lakukan murni hanya skripsi. Namun beberapa kali saya juga membantu riset teman-teman yang lolos karya ilmiah. Meskipun nama saya tidak dimasukkan sama sekali, hei, dan saya juga memang tidak memintanya sih. Saya juga tidak pernah memenangkan lomba secara mandiri. Lomba kolektif yang pernah saya menangkan adalah bersama teman-teman Peleton Inti di SMA dari tingkat kota hingga provinsi. Pernah pula saya mengikuti seleksi lomba MTQ mahasiswa bidang tahfidz, dua kali tak pernah lolos. Dan saya bersyukur tidak lolos, karena pondok saya kurang setuju santri-santrinya mengikuti lomba-lomba sedemikian.



Saya juga tidak heran dengan orang-orang yang dengan mudahnya mengisi pengalaman organisasi, riset, atau kejuaraan seenaknya sendiri. Saya tidak mengatakan mereka berbohong. Namun saya paham jika panitia LPDP terpesona pada riset-riset terbaru, jabatan-jabatan organisasi yang prestisius, dan semacamnya. Pernah saya lihat ada orang menuliskan posisinya sebagai ketua organisasi xxx nasional. Ternyata itu hanya organisasi buatannya sendiri, namun kosong kepengurusan dan programnya. Dan berbagai derivasi dari model tersebut sebagai pembesar identitas mereka. Apalah artinya saya yang hanya mengurus madrasah diniyah warisan pendahulu, menghidup-hidupinya, membesarkan hati anak-anak untuk mengaji, menguatkan konsolidasi antar ustadz, dan sebagainya. Jelas berbeda dengan para jawara, aktivis, atau periset yang layak mendapat beasiswa. Dan memang saya juga buta popularitas. Mengapa harus populer, bagaimana untuk populer, lalu mau apa jika sudah populer?



Semangat untuk belajar, untuk kuliah, jangan anggap surut meski saya tidak mendapatkan suntikan LPDP. Sejak SD, SMP, SMA, dan S1, bahkan ketika di pondok, saya selalu mendapat beasiswa. Entah full, atau sebagian. Pada akhirnya, alhamdulillah saya bisa melanjutkan S2 di UGM dengan beasiswa pula. Selain itu, di pondok saya juga diamanahi menjadi pembimbing asrama, yang artinya saya tinggal gratis di pondok bahkan mendapat bisyaroh cukup tiap bulannya, dan katering tiap pagi dan sore. Di luar sana banyak sekali beasiwa selain LPDP. Saya berani menulis judul di atas, karena saya sudah mendapat beasiswa lain, dan sudah tidak mungkin mendaftar LPDP lagi. Tapi jika LPDP memperbolehkan saya mendaftar lagi, saya tidak ragu untuk mendaftar. Saya hanya tidak mau menuhankan LPDP. Namun saya masih iri dengan salah satu kolega yang lain, seorang santri di Pesantren Krapyak. Dulu ketika kelas XII, dia memenuhi syarat untuk lolos beasiswa S1 di UNY. Namun karena kesalahan personal dari pihak sekolah yang keliru menulis angka pada nilai rapor, kolega saya gagal mendapatkan beasiswa di UNY. Ia berusaha mengurus ke sana dan kemari namun nihil. Ia bercerita bahwa sejak saat itu, ia bertekad bulat tidak akan mengharap bantuan orang lain. Ia menyewa sebuah kios lalu merintis sebuah usaha kuliner di dekat pondok, dan sekarang sudah memiliki 2-3 karyawan.





Tulisan saya ini tidak ada unsur kritikan sama sekali untuk LPDP atau pihak yang terkait, tidak pula ada unsur nasehat bagi awardee LPDP, calon awardee LPDP, atau teman-teman santri. Apalagi motivasi-inspirasi, tidak ada. Carilah motivasi-inspirasi dari awardee LPDP, merekalah mahasiswa berprestasi yang dibiayai negara, dibiayai rakyat, mintalah kompensasi dari sumbangan pajak kalian dan orang tua kalian pada mereka. Mereka bertanggung jawab untuk “mengembalikan” beasiswa negara. Saya menulis ini hanya karena teringat saya punya blog dan lama tidak menulis, itu saja. Tak usah lebay mengkritik tulisan saya atau share ke luar.