Cari Blog Ini

Rabu, 24 Agustus 2011

Iqbal, santri Krapyak dari Jakarta


      Suasana pondokan krapyak pada suatu dini hari selepas shubuh itu seperti biasanya. Tenang, dan sayup-sayup terdengar suara santri putra menyenandungkan Asmaul Husna dari sebuah komplek putra. Di komplek putri, terdengar juga beberapa santriwati merapalkan sebuah bacaan yang menurut saya mereka sedang menambah hafalan Al-Qur’an. Beberapa dari mereka duduk di pinggir jalan di depan kompleknya dengan memegang mushaf Al-Qur’an dan sesekali melihatnya, sesekali pula menutup mata sambil terus berkomat-kamit. Ada juga yang berpasangan dimana salah seorang merapalkan, dan yang lain menyimak. Saya suka pemandangan seperti ini. Maksud saya, pemandangan orang-orang yang sedang menambah hafalan, bukan santriwatinya karena sebagian besar mereka masih mengenakan mukena. Di depan Komplek Huffadz I, beberapa santri tahfidzmenyapu halaman depan Komplek Huffadz I sambil diperhatikan dari teras oleh Simbah KH. R. Nadjib Abdul Qadir Munawwir, sang otoritas pemegang sanad qiro’ah. Sementara dari Komplek Huffadz II, terdengar beberapa santri merapalkan bacaan-bacaan Al-Qur’an sambil terus diulang-ulang ayat yang sama dan terus mencoba agar lebih fasih di lantai dua. Saya sempat mendengar salah satu dari mereka masih ada yang juz ‘amma, barangkali santri baru. Sepekan sebelumnya, Komplek Huffadz mengadakan khataman dan mewisuda santri-santrinya yang berjumlah 30an lebih yang sudah menamatkan 30 juz Al-Qur’an bil ghoib alias resmi jadi hafidz dan mendapatkan ijazah dari Mbah Nadjib yang sanadnya bersambung hingga Kanjeng Nabi SAW. Saya masih ingat, mereka terlihat keren saat khataman dengan mengenakan jas hitam, songkok hitam, dan sorban hijau yang diselempangkan. Beberapa santriwati dari bagian tempat duduk putri tampak memotret mereka seru sekali sambil cekikikan dengan temannya. Tampaknya para hafidz-hafidz muda nan keren itu berhasil menyihir para santriwati hingga klepek-klepek.

***

            Simbah Kiai Zainal, sang pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta baru saja selesai mengimami sholat shubuh di masjid pusat. Setelah memimpin doa, beliau biasa wirid-an sendirian hingga kira-kira 20-30 menitan lamanya. Jama’ah yang biasanya menunggu untuk bersalaman dan mencium tangan beliau satu persatu mulai keluar dari masjid dengan tangan hampa. Hingga akhirnya Mbah Zainal beranjak dari wirid-annya, hanya tersisa 3 jama’ah yang ada di 2shof terdepan, yang akhirnya berhasil meraih dan menyalami dan mencium tangan beliau yang memang seorang ulama kharismatik nan tawadhu’. Orang-orang mencium tangan beliau bukan lantaran ingin ketularan jadi Kiai, melainkan kecipratan berkah darinya. Tujuan dari orang mencium tangan seorang Kiai atau Ulama adalah 2 hal: ta'dzim dan tabarruk. Ta'dzim untuk menghormati kepada beliau. Lalu tabarruk karena dawuh Kanjeng Nabi SAW, barokah itu ada pada orang tua dan juga guru. Beruntungnya, saya termasuk salah seorang dari tiga orang jama’ah yang bertahan menunggu di situ. Setelah mencium tangan beliau, kami menunggu beliau berjalan keluar menuju rumah beliau di utara masjid yang berjarak sekitar 20 meter. Setelah itu saya berjalan keluar masjid, menuju jalan D.I Panjaitan, masih lengang dan sejuk. Beberapa teman saya di Komplek L yang tiap pagi ngeloper koran sudah mulai bergegas menyongsong rejeki. Beberapa warung yang biasa dilanggani para santri untuknyarap sudah ada yang buka.

            “Mas, mas….!”
            Tiba-tiba dari arah belakang ada suara seseorang memanggil. Arah di belakang saya adalah sekitaran komplek putri. Dengan sedikit semangat kege-eran, saya bertanya-tanya jangan-jangan dia salah seorang santriwati. Ada apa memanggil saya? Apa kopiah saya terjatuh? rasanya tidak. Kopiah putih pemberian ibu saya ini masih melekat hangat di kepala. Saya pun dengan agak elegan dan sokdingin berpura-pura tidak dengar dan menduga mungkin ia memanggil orang lain. Baru beberapa langkah saya sambung, suara orang yang memanggil itu sudah ada di samping kiri sambil terangah-engah karena berlari mengejar saya.

            “Mas, mas. Kami mau tanya mas…” dan kege-eran saya ternyata harus saya telan kembali. Dua orang bocah laki-laki bersarung ternyata yang memanggil saya.

            “Mas, tahu makam Kiyai Haji Ali Maksum tidak?”  
            Kaget betul saya. Pagi-pagi sedini ini ada dua anak menanyakan letak kuburan. Coba saya lihat kedua kaki mereka, masih menempel ditanah. Saya ingat salah seorang Kiai saat mengaji kitabDurratun Nashihin, bahwa jin atau syaithon yang menyamar jadi manusia itu biasanya jam kerjanya antara Maghrib sampai Shubuh. Mereka (para jin dan syaithon yang menyamar) harus kembali ke kuburan sebelum Shubuh. Jangan-jangan dua anak ini tuyul endonesa yang terbiasa dengan jam karet hingga telat pulang bahkan lupa dimana mereka harus kembali! Ah, mana mungkin jin dan syaithon mangkal di makam ulama pikir saya. Saya mau tak mau harus menjawab juga.

            “Oh itu, tempatnya di daerah Dongkelan. Tahu nggak?”
            “Dongkelan? Nggak mas.”
            Hah? Mereka tidak tahu Dongkelan ternyata. Padahal saat itu kami berada di dekat pertigaan yang jalan kebaratnya adalah Jalan Dongkelan bahkan ada papan penunjuk jalan yang bisa dibaca dari situ. Tapi tak apa, karena dimana-mana memberi tahu orang itu harus sesuai kadar pengetahuan mereka. Saya coba cari pendekatan lain.

            “Emmm, kalau perempatan Ring Road Jalan Bantul tahu nggak?”
            Saya sempat menyesal menanyakan ini. Baru Jalan Dongkelan yang lebih dekat saja mereka tidak tahu. Tapi tidak mengapa, namanya juga memberi tahu sambil asesmen kemampuan load mapmereka.

            “Nggak tahu juga mas.”
            “Mau apa kesana memangnya?”
            “Mau ziaroh mas, kami ketinggalan sama temen-temen yang sudah duluan”.

            Sepertinya dua orang ini memang bukan orang asli disini. Mungkin santri dari kota lain. Akhirnya saya memutuskan untuk mengantar mereka. Jaraknya dari situ jika ditarik garis lurus mungkin hanya sekitar 1 kilometer, namun harus berkelak-kelok hingga ngalang ke Ring Road untuk mencapainya. Pakai motor saja! Ah, tapi jam segini Komplek L masih ditutup gerbangnya. Mana bisa saya mengeluarkannya. Ya sudah, jalan kaki sekaligus diniati olahraga saja. Sudah lama nian kaki ini tidak bekerja ekstra.

            “Ayo, saya antar saja. Nggak begitu jauh kok” mereka menyetujui ajakan saya. Sekalian saja nanti saya ikut ziaroh meskipun sore hari sebelumnya saya dan teman-teman Komplek L baru saja ziaroh dan muqoddam-an di situ.

            Kami berjalan menyusuri Jalan Dongkelan menuju arah barat. Kami juga mengobrol sambil berkenalan juga. Dua orang itu ternyata santri baru MTs Ali Maksum. Mereka adalah Iqbal, dari Jakarta dan seorang lagi dari Indramayu. Anak dari Indramayu ini saya susah mengeja namanya. Sekilas terdengar seperti Asya, mungkin juga Asha, Ahsa, Ahsya, Asa, Ahsha, tapi tidak mungkin Aysha (lho, bisa jadi malah itu) tapi bisa juga namanya Asep tapi dibuat menjadi lebih unik.  Iqbal ini tingginya sekitar sesikut saya. Tinggi saya sendiri 170 cm kurang sesenti-dua senti (pembulatan ke atas dalam hal tinggi dan berat badan terasa lebih menyenangkan bagi saya), Asya sekitar 5 senti lebih tinggi dibanding Iqbal. Dua anak itu baru sekitar seminggu menjalani masa-masa menjadi santri MTs Ali Maksum. Iqbal adalah anak yang lucu dan bersemangat. Sedangkan Asya lebih banyak diam, namun juga menjawab ketika saya tanya meskipun tak sejelas dan sebersemangat Iqbal. Iqbal yang lebih pendek posturnya memiliki logat Jakarta yang kental yang membuatnya lucu ketika bicara. Kalau ada air keras saat itu, ingin rasanya saya jadikan si Iqbal ini menjadi gantungan kunci dan saya gantungkan di tas saya. Lucu sekali anak satu ini! Jadi ternyata mereka ini esok tadi ketinggalan rombongan teman sepondokkan mereka untuk ziaroh ke makam pagi itu. Mereka bangun jam setengah 5 pagi, lalu sholat shubuh bersama. Setelah itu, mereka membaca Asmaul husna. Baru kemudian mereka mandi. Nah setelah mandi itulah mereka mendapati bahwa teman-teman dan ustadz pembimbing sudah berangkat ke makam. Dan mereka berdua segera menyusul dan mencari tahu lokasi makam terlebih dahulu dengan bertanya pada orang yang tahu tempatnya dan kebetulan orang itu adalah saya.

            Kami bercerita ngalor ngidul mulai dari tentang pondok, erupsi merapi, sungai winongo, teroris, koruptor, pasar hewan PASTY, ring road, dan banyak sekali. Iqbal juga orang yang japemethe. Ketika menemui orang asing di jalan, kerap kali ia melemparkan senyum sambil menganggukkan kepala dan beberapa dengan sapaan ringan seperti “mari pak”, “mari bu”, dan sebagainya. Sepertinya Iqbal ini begitu menikmati hidupnya sebagai santri disini. Saya pun bertanya kepada mereka tentang latar belakang mereka mondok di Krapyak.

            “Kalian dulu mondok disini karena keinginan sendiri atau disuruh orang tua?”
            “Disuruh ibu mas.” Asya menjawab pertama dengan sederhana, ringkas, datar, dan memaksa saya untuk mengerti bahwa ia agak kurang menikmatinya. Tidak ada raut sedih di wajahnya, bahkan disertai sesuwir senyuman. Tapi entah kenapa saya tidak mau menindaklanjuti jawabannya.
            “Kalau Iqbal?”
            “Pengen sendiri mas.”
            “Wah, pengen sendiri. Memangnya kenapa kok ingin mondok? Apalagi jauh-jauh dari Jakarta ke Krapyak”
            “Soalnya aku pengen membuat bangga orang tua. Moga-moga dengan masuk pondok ini orang tuaku bisa bangga.” Hmmm, saya sedikit mencerna omongan anak ini. Se-awam-an saya, jaman sekarang membuat bangga orang tua itu dengan cara masuk SMP favorit, bernilai excellent, dapat beasiswa, memenangkan kejuaraan, mengharumkan nama baik keluarga, dan sejenisnya. Apalagi notabene ia orang Jakarta (memangnya kenapa kalau Jakarta?). Jadi menerawang tentang masa lalu saya. Orang tua ingin memondokkan saya di Gontor, tapi saya bersikeras ingin masuk SMP 5 Jogja yang saat itu merupakan SMP terbaik se-provinsi DIY. Tapi tak dipungkiri, dalam hati kecil saya memang ingin di pondok juga. Saya baru bersedia di Gontor kalau tidak diterima di SMP 5. Dan Alhamdulillah saya diterima di SMP 5. Namun belakangan saya membaca sebuah novel karya Ahmad Fuadi tentang kisah kehidupannya di Pondok Gontor, entah kenapa saya iri dengannya. Padahal, delapan tahun yang lalu pintu kesana benar-benar dibukakan oleh orang tua saya. Tapi ini bukan saatnya meratapi pilihan sulit di masa lalu. Karena, dalam setiap keputusan kita dalam pilihan sulit, terjadi proses pendewasaan diri kita. Saya percaya, semakin sering seseorang berhadapan dan melewati berbagai keputusan sulit, hal itu semakin membuat seseorang lebih dewasa. Dan tentang Iqbal ini, saya percaya sepenuhnya bahwa ia adalah prototype anak sholeh langka idaman mertua dan orang tua. Selain wajahnya yang good-looking, di usia yang belia ini sangat mujarab dalam penanaman nilai-nilai dan pengetahuan agama. Iqbal sangat bersyukur bisa mondok. Ia bercerita tentang temannya yang berasal dari berbagai daerah. Kalimantan, Riau, Jawa Timur, dan sebagainya. Dari cara Iqbal bicara pun ia memang orang yang luas wawasannya. Bahkan ia sempat tanya kepada saya kenapa di negeri ini begitu merajalela koruptor dan teroris. Jangan membayangkan Iqbal akan mengutarakan hal analitis nan strukturalis. Paling tidak, semangat peduli kepada kondisi bangsa sudah ada pada dirinya.

Semakin besar saja harapan saya pada anak muda ini. Cobalah anda lihat dari cara mata dan alisnya ketika memandang. Lalu bacalah buku psikologi populer tentang mata dan caranya memandangnya. Anda akan mendapati Iqbal sebagai orang yang visioner, fokus, optimis, sumringah, tidak ngelamunan, apalagi menggalau. Bukan tidak mungkin, bahwa pada beberapa khataman yang akan datang, Iqbal-lah yang berdiri di panggung mengenakan jas dan songkok hitam bersorban hijau dalam selempangan dan menjadi idola para santriwati, atau lebih-lebih malah jadi seorang  yang punggung tangannya saja dirindukan banyak orang yang mengantri selepas sholat berjama’ah? Wallaahu a’lam.
Apapun itu, “Sungguh besar nyalimu wahai sobat kecilku, menantang hidup mengejar waktu. Tiada yang mampu menghentikan langkah kakimu, doaku untuk kemenanganmu.

Mudah-mudahan semangat Iqbal dari observasi dan wawancara singkat saya ini bisa menginspirasi kita.

H+1 setelah itu: keesokan paginya pangkal kaki kiri saya pegal karena mengantarkan kedua anak itu.