Cari Blog Ini

Jumat, 27 September 2013

Halaktu…!


[cerpen]            
            Berjumpa dengan Rasulullah SAW sudah bisa dipastikan menjadi keinginan semua umat islam yang beriman pada beliau. Jangankan umat islam, umat lain pun juga banyak yang penasaran seperti apa sih wujudnya Rasulullah, seberapa santun tutur katanya, seberapa indah wajahnya, seberapa lembut lakunya, yang oleh salah seorang di barat ditempatkan sebagai orang paling berpengaruh di dunia. Ingin sekali rasanya Ghani juga diberi kesempatan seperti itu, bisa bertemu Rasulullah, sekedar mencium tangan saja rasanya sudah seperti surga pastinya. Atau sekedar memandang wajahnya dari kejauhan pun tak apa, yang penting terkena cipratan nur beliau yang pancarannya menyemesta alam.

           Dan hingga pada akhirnya saat-saat yang ditunggu itu memang benar-benar tiba. Ghani mencari-cari waktu dan kesempatan dimana Rasulullah SAW sedang benar-benar sendiri. Tak mudah memang, orang-orang saling menunggu untuk sowan kepada beliau. Akhirnya Ghani menemukan momen itu. Diintipnya dari balik pintu, lalu Ghani memunculkan wajahnya dengan menunduk ke tanah.

            “Ash-shalaatu wa salaamu ‘alayka yaa Sayyidi yaa Rasulallah” ucap Ghani penuh ta’zhim seperti ketika beliau sowan kepada para kyai.

            “Wa’alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh”, beliau SAW menjawab dengan jelas. Akhirnya Ghani bisa mendengar langsung suara merdu yang keluar dari lisan beliau SAW. Beliau diam sebentar, Ghani merasa sepertinya beliau sedang memperhatikan dirinya. Wajah Ghani tetap tertunduk ke tanah. “Ta’al yaa ghulam, kemarilah cah bagus”. Dengan membungkuk, Ghani memberanikan diri memasuki ruangan. Hingga jarak sekitar 3 meter, Ghani langsung meluncur, menyungkurkan diri, dan memeluk kedua paha Rasulullah SAW yang sedang bersimpuh dan Ghani membenamkan mukanya sendiri ke sarung Rasulullah SAW, Ghani menangis sejadi-jadinya.

            “Halaktu yaa Rasulallah, halaktu yaa Rasulallah. Duh Kanjeng Rasul, betapa saya telah rusak, hancur, dan binasa.” Masih dengan sembap dan sesenggukan Ghani menyuarakannya dengan bahasa arab yang difasih-fasihkan. Beliau SAW yang belum mengangkat kepala Ghani lantas mengusap rambut Ghani dengan kopyah Ghani yang sudah acak-acakan dengan tangan kanan beliau SAW penuh kasih sayang, sementara tangan kiri beliau SAW mengusap punggung Ghani.

            “Min aina ji’ta, cah bagus datangnya dari mana?”
            Dibuatlah bingung Ghani oleh pertanyaan beliau. Harus ia jawab dari Jogja kah? Dari Aceh kah? Dari Indonesia kah? Dari NU? Dari Muhammadiyah? Atau darimana?

            “Ji’tu min azh-zhulumati Yaa Rasul, saya datang dari kegelapan lagi penuh kezaliman, wahai Rasul.” Tiba-tiba Ghani mengeluarkan jawaban itu yang dia sendiri tidak sadar mengucapkannya. Seakan-akan mulutnya lebih jujur dari apa yang ada di pikirannya.

            “Ana nuur, wa anta fi nuuriy, aku adalah cahaya dan cah bagus ada dalam cahayaku.” Kata-kata beliau mengalir lembut, seketika dari kedua tangan beliau terjadi emanasi kehangatan, merasuk ke tulang belulang Ghani dan pembuluh darahnya.

            “Ijlis hunaak yaa ghulam, duduklan disini cah bagus, di sampingku” kata beliau SAW sambil mengangkat kepala dan tubuh Ghani. Tetap saja meskipun tubuh Ghani telah bangkit namun wajah tetap dia tundukkan. Mana berani Ghani memandang wajah beliau SAW jika dengan memandang wajah beliau SAW akan segera selesai semua urusan Ghani. Sebagaimana potongan bait shalawat yang Ghani hafalkan waku kecil dahulu.

Tanhalu bihi al-‘uqadu # wa tanfariju bihi al-kurabu
Terurailah dengannya segala ikatan # dilenyapkan dengannya segala kesusahan.
wa tuqdha bihi al-hawaa-iju # wa tunaalu bihi ar-raghaa-ibu
Ditunaikan dengannya segala hajat # diperoleh dengannya segala harapan.
wa husnu al-khawaatimi # wa yustasqa al-ghamaamu
Dicapailah akhir yang indah # dan diberinya air minum dari awan.
bi wajhihi al-kariim
Dengan wajahnya yang begitu mulia.

            Ghani tetap tidak berani memandang wajah beliau SAW. Ya, karena ia masih belum ingin masalahnya selesai begitu saja lantaran memandang wajah beliau SAW. Laitahu khashshani bi ru-yaati wajhin, zaala ‘an kulli man ra-aahu asy-syaqaa-u.  Ghani masih ingin berlama-lama menggelayut di samping beliau SAW. Jika saat ini Ghani beranikan memandang wajah beliau SAW sekedipan mata saja, niscaya cahaya wajah beliau SAW yang tabassum akan masuk ke rongga mata Ghani dan menerangi kegelapan dalam diri dan sudut-sudutnya, meruntuhkan kecongkakan dan egoisitas, merobohkan segala sandaran-sandaran yang tidak semestinya, melupakan segala kepalsuan dari kesenangan dunia.

            Laa yaraa wajhiy tsalatsatun. Ada tiga golongan yang tidak bisa melihat wajahku. Aqqu al-walidayn, orang yang durhaka kepada orang tuanya. Wa taariku sunnati, orang yang meninggalkan dan tidak mencontoh perilaku hidupku.  Wa man dzukirtu ‘indahu fa lam yushalli ‘alayya, dan orang yang apabila disebut namaku padanya ia tidak bershalawat kepadaku. Ghani ingat hadits tersebut ketika mengaji di pondok beberapa tahun lalu di bulan Ramadhan.

            “Astaghfirullah”, Ghani menggemuruhkan lafadz istighfar dalam dada. Betapa selama ini dia ternyata belum berhak untuk sekedar memandang wajah Rasulullah SAW. Apalagi meminta beliau mendampingi dirinya ketika melintasi jembatan shiraath al-mustaqim, lebih-lebih merajuk agar bersedia masuk surga bersama-sama. Abu Lahab, Abu Jahal, mereka saja diberi nikmat dapat memandang wajah Rasulullah SAW, bagaimana dengan dirinya yang selama ini mengaku menjadi umatnya!

            “Astaghfirullah”, beberapa tetes air mata meluncur melintasi wajah Ghani yang sudah melembap. Teringat bahwa selama ini baktinya kepada orang tua masih jauh dari apa yang diharapkan Rasulullah SAW. Bahkan mungkin masih belum bisa disebut berbakti. Sungguh banyak kerepotan-kerepotan yang ia timbulkan untuk mengusik kehidupan kedua orang tua. Yang sayangnya, ia selalu menganggap bahwa orang tuanya akan mengampuninya karena ia anak kandung mereka. Ridho Allah adalah ridho orang tua, apa jadinya di akhirat kelak jika ridho orang tua menjadi barang mahal yang tak terbeli. Menginjakkan kaki di halaman surga saja rasanya mustahil jadinya.

            “Astaghfirullah”, Ghani sedikit mengangkat kepadala ke atas lagi. Rasulullah SAW masih menunggu Ghani memandang wajah beliau. Apa mau dikata, Ghani selama ini masih jauh dari perilaku hidup Rasulullah SAW. Beliau yang hanya makan jika lapar, dan berhenti sebelum kenyang. Beliau yang senyum dan tutur katanya dinanti-nanti baik orang muslim maupun bukan. Beliau yang lebih dekat dari saudara meski tanpa hubungan darah. Beliau yang sedikit tidur dan sedikit-sedikit beribadah. Berbeda dengan dirinya yang sedikit-sedikit tidur dan sedikit beribadah.

            “Astaghfirullah”, Ghani kini mengangkat kepala dan duduk dengan posisi sempurna. Tapi matanya masih melihat ke bawah. Syarat terakhir melihat wajah beliau, bershalawat ketika nama beliau disebut. Secara lisan maupun tulisan, Ghani merasa sudah mengamalkannya. Tapi bagaimana dengan nama beliau yang disebut secara sirr, secara tersirat, secara isyarat? Jika alam semesta ini memang benar emanasi dari cahaya beliau, harusnya shalawat selalu ia lestarikan dimanapun dan kapanpun. Jika pada senyum setiap orang, otak kita menangkap sinyal itu adalah sinyal namanya yang bassam, harusnya ia bershalawat. Jika dalam lantunan ayat-ayat Al-Qur’an tertangkap suara beliau yang secara mutawatir bersambung, jika dalam kesenduan melihat anak yatim piatu menggelandang di perempatan jalan mengingatkan kita pada beliau SAW yang juga yatim piatu sejak kecil, jika dalam menyaksikan seseorang dizhalimi mengingatkan kita pada beliau SAW yang dizhalimi kaum kafir dimanapun berada, dimana lagi tempat ia tidak berhak untuk shalawat padanya!

            “Astaghfirullah. Allahumma bi haqqi Muhammadin arinii wajha Muhammadin haalan wa maalan. Ya Allah, dengan haq beliau, tunjukanlah wajah beliau kepadaku saat ini secara nyata”. Ghani memejamkan mata, lalu mengusap air mata yang membasahi sekitar matanya. Perlahan ia membuka mata dan ia masih tidak percaya. Yang ada di hadapannya sekarang adalah Rasulullah SAW. Seketika tubuh Ghani menjadi tergetar hangat. Sesuatu menerobos matanya, turun ke hatinya, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya secara konduktif.

            Laa tahinuu wa laa tahzanuu wa antum a’launa in kuntum mu’miniin, jangan merasa hina dan sedih, cah bagus masih tetap unggul jika cah bagus memang benar-benar orang mukmin”. Beliau SAW berkata lembut. Jika Ghani boleh untuk tidak sopan, ia sudah memeluk dan mencium wajah Rasulullah SAW. Ingin sekali membawa kamera untuk mengabadikannya. Tapi mata Ghani sudah cukup menjadi lensa untuk menyimpan wajah beliau di memori sanubari. Tiba-tiba telapak tangan Rasulullah SAW mengusap wajah Ghani. Ghani memegangi punggung tangan beliau. Harum. Wangi. Hangat. Sejuk. Halus. Cerah. Entahlah, susah bagi Ghani mendeksripsikannya. Dan ketika telapak tangan itu terbuka, mata Ghani ikut terbuka. Tiba-tiba gelap.

            Ghani terbangun, ia melihat sekeliling dan mencari Rasulullah SAW. Di sampingnya hanya ada mushaf Al-Qur’an di atas meja dalam posisi terbuka. Ghani sadar ia baru saja tertidur di mushola pondok. Beberapa santri yang lain sudah ada yang bangun dan membaca Al-Qur’an maupun bertahajud. Ghani segera bangkit mengambil wudhu dan kembali ke mushola untuk menunaikan tahajud. Selesai itu ia ambil mushaf yang telah terbuka pada surat Muhammad.


            “Shalallahu ‘alayhi wa salam”, ucap Ghani ketika membaca nama surat tersebut. Masih ada waktu sekitar 20 menit sebelum adzan shubuh. Cukup bagi Ghani menyelesaikan 3-4 halaman. Ia cium mushaf Al-Qur’an wana biru tua miliknya, harum. Tapi bukan, bukan mushafnya yang harum. Namun telapak tangan Ghani yang harum. Harum yang sama dengan telapak tangan Rasulullah SAW.