Cari Blog Ini

Minggu, 25 Desember 2011

Beberapa potong episode Simbah KH Zainal Abidin Munawwir

Simbah KH Zainal Abidin Munawwir, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, sudah tak asing lagi nama beliau yang mayhur dengan ketawadhu’annya. Banyak sekali cerita-cerita tentang kezuhudan beliau di kalangan masyarakat. Beliau bukan tipe ulama yang mencari popularitas dengan banyak bicara mengucapkan kata-kata penuh istilah maupun mengobral kalimat-kalimat mutiara singkat. Beliau lebih banyak menunjukkan budi pekerti luhur beliau dengan peri-kehidupan yang dihiasi akhlak.

******************************************

Ketika dulu ingin naik haji, Mbah Zainal Abidin Munawwir menabung segobang demi segobang. Berapa pun yang terkumpul setiap tahun, beliau menzakatinya, walaupun belum mencapai nishob. Mbah Ali Ma'shum rahimahullah, kakak ipar dan gurunya, terkekeh-kekeh mendengar laku yang demikian itu.

"Itu fiqh model apa?" beliau meledek.

Dengan mesem (yang hingga kini jarang terlihat beliau tertawa hingga kelihatan giginya), yang diledek hanya bergumam,

"Yah... siapa tahu yang begini ini lebih disukai Pengeran..."

Mbah Ali Ma'shum jelas hapal tingkah adik ipar sekaligus anak muridnya itu.

"Zainal itu adikku yang paling antik!" kata Mbah Ali, setengah bergurau, "Dia itu cagaknya langit. Selama dia masih ada, nggak bakalan kiamat!”

******************************************

Pada waktu yang lain, Mbah Zainal menyuruh Kang (sekarang kiyai:) Ali As'ad, santrinya, untuk membelikan pedal sepeda karena milik beliau sudah rusak. Tapi kebetulan Kang Ali As'ad punya sepasang pedal masih bagus yang tak terpakai. Maka ia tawarkan untuk dipakai Mbah Zainal, dan diterima.

Saat hendak berangkat haji beberapa bulan kemudian, Mbah Zainal memanggil Kang Ali As'ad.

"Ada apa, Mbah?"

Mbah Zainal mengulurkan sepasang pedal sepeda.

"Ini pedalmu yang dulu kupinjam, kukembalikan. Aku mau pergi haji... biar nggak ada tanggungan lagi..."

******************************************

Mbah Zainal Abidin Munawwir juga pernah satu periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Bantul, wakil dari Partai Nahdlatul Ulama. Selama itu, beliau wira-wiri ke kantor tiap hari dengan sepeda onthel tua miliknya. Beliau juga tidak mau mengambil gaji bulanannya maupun uang apa pun dari DPRD itu, karena menganggapnya syubhat. Beliau ngotot mengandalkan nafkah hanya dari telur sejumlah bebek yang dipeliharanya.

"Karena Kang Zainal nggak mau, ya aku yang ngambil gajinya", kata kiyai Ahmad Warson Munawwir, adik Mbah Zainal, sambil senyum-senyum menikmati kenangannya.

"Waktu itu Kang Zainal belum kawin", Mbah Warson menyambung, "sedangkan aku pengantin baru. Jadi... aku yang kawin, Kang Zainal yang menafkahi!"

******************************************

"Ke Nggading berapa, Kang?" Mbah Zainal Abidin Munawwir, Krapyak, menawar becak.

"Monggo mawon. Terserah panjenengan, Mbah", tukang becak pasrah karena sudah kenal.

"Nggak bisa! Sampeyan harus kasih harga!"

"Yah... seribu, Mbah". Itu harga yang cukup lazim waktu itu, walaupun sedikit agak mahal.

"Lima ratus ya!"

Tukang becak nyengir,

"Masih kurang, Mbah..."

"Enam ratus!"

Tukang becak masih nyengir.

"Ya sudah... tujuh ratus!"

Tukang becak sungkan membantah lagi dan mempersilahkan Mbah Zainal naik.

Sampai tempat tujuan, Mbah Zainal mengulurkan selembar uang ribuan tapi menolak kembaliannya. Tukang becak bengong.

"Kalau tadi kita sepakat seribu, aku cuma dapat pahala wajib", kata Mbah Zainal, "kalau begini ini kan yang tiga ratus jadi shodaqohku".

******************************************

Mbah Zainal tidak merokok. Untuk urusan makanan, selama ini beliau dikenal tidak doyan makan makanan dari sesuatu yang bernyawa (daging/telur). Beliau terbiasa hanya berlauk tahu/tempe, bahkan beliau lebih sering seharian hanya mengkonsumsi mie instan, itupun setengah porsi. Beliau juga tidak suka makanan yang terlalu beraroma.

Suatu ketika di dapur, Bu Nyai Ida (istri beliau) memasak makanan yang aromanya tercium hingga ruang tamu tempat Mbah Zainal berada saat itu.

“Masak apa to Da? Kok bikin bau sampai sini. Mbok jangan masak yang baunya berlebihan seperti itu, saya ndak mau makan”

Bu Nyai Ida yang sudah terlanjur masak pun hanya bisa menimpali sederhana

“Ini sudah matang. Ya sudah kalau tidak mau ini makanannya saya buang saja”

Mbah Zainal kaget,

“Eh, jangan. Yasudahlah, sini saya makan saja.”

******************************************

Suatu hari, KH Munawwar mengantarkan beliau memenuhi undangan salah seorang alumni di luar kota. Ketika itu acara makan siang di sebuah tempat pemancingan ikan. Mbah Zainal yang sehari-harinya dipenuhi puasa sunnah, memperhatikan ikan-ikan yang dipancing. Ia yang begitu sensitif dan peka perasaannya, langsung memanggil KH Munawwar.

“Eh eh, itu mancing ikannya kok di tusuki di mulutnya pakai pengait?”

KH Munawwar dan yang lain pun kebingungan,

“Ya memang seperti itu caranya mancing ikan mbah” Jawab KH Munawwar.

Mbah Zainal dengan agak tidak terima langsung menimpali,

“Coba kalau mulutmu yang ditusuki seperti itu bagaimana?”

******************************************

Masih banyak lagi kisah-kisah penuh hikmah dari beliau. Cerita-cerita seperti ini dikenal luas terutama di kalangan santri beliau.

Saat ini, beliau sedang gerah dan belum lama pulang dari RS Sardjito. Beliau sudah tidak seaktif dulu lagi untuk mengimami sholat di masjid pusat, bahkan ketika sholat Jum’at pun beliau sholat dari serambi ndalem beliau. Beliau juga tak bisa mengajar santri dengan penuh lagi. Saya juga kesulitan untuk mencium tangan beliau sebagaimana sesudah sholat jama’ah di masjid pusat ketika beliau masih mengimami.

Mari kita doakan beliau, semoga barokah ilmu beliau senantiasa bertebaran di antara kita, dipanjangkan umur beliau, diberi kesehatan laa yughodiru saqoma, dan semoga beliau juga turut mendoakan kita dalam munajat-munajat beliau.

Ilaa hadlrotisy-Syaikh Zainal Abidin bin Muhammad Munawwir bin Abdillah Rosyad, Al-Faatihah.

Selasa, 25 Oktober 2011

Universalitas Pesantren


 Kata “Universitas”, atau yang dalam bahasa inggrisnya adalah “University”, dalam bahasa arab biasa digunakan dengan padanan kata “Jami'ah”. Maka dari itu kita sering mendengar nama Jami'ah Al Azhar, Jami'ah Ummul Qura’, Jami'ah Al Ahgaff, dan sebagainya. Jami'ah sendiri  bermakna kumpulan, gabungan, dan semacamnya. Beda dengan akademi, sekolah tinggi, institut, dan sebagainya. Universitas sendiri bermakna perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan ilmiah dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu, begitulah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

            Ustadz Joko Sucipto pernah menutur sebuah cerita pengalaman remaja alumni sebuah universitas. Suatu hari, setelah lulus menjadi sarjana, remaja itu pulang ke kampung halaman. Ia adalah mahasiswa sebuah fakultas ilmu sosial. Ia bertekad untuk bisa memajukan kampungnya dengan ilmu sosial yang ia miliki. Dengan perasaan bangga setelah menggondol gelar sarjana, ia pulang penuh percaya diri. Hingga salah seorang tetangga datang ke rumahnya dan meminta tolong.

            “Mas, saklar di rumah saya sepertinya tidak berfungsi, mbok saya tolong dibantu mbenerin”
            Remaja itu kaget, dia ingin sekali membantu tapi ia tidak punya cukup kemampuan dalam hal elektronika. Maklum, ia mahasiswa ilmu sosial. Karena itu juga ia ragu-ragu dan takut kalau-kalau ia salah dan justru terjadi kecelakaan.
            “Waduh, nuwun sewu pak, sepertinya saya ndak bisa”
            “Lhoh, gimana to? Katanya sampeyan itu sarjana? Kok kayak gini saja tidak bisa” Dalam bayangan orang-orang awam pada umumnya, orang sarjana itu ya orang yang pintar, terdidik, terpelajar, dan sebagainya.

            Begitulah realita yang sering dihadapi orang-orang yang telah menuntut ilmu di “universitas”, ilmu yang mereka pelajari sejatinya bukan sebuah ilmu “universal”, tapi ilmu parsial, sesuai jurusan yang ia pilih. Jadi sulit untuk mereka memahami ilmu lintas disiplin apalagi di kampus mereka bergaul secara homogen dengan orang-orang berada dalam satu disiplin yang sama.

            Lebih lanjut, hal ini berbeda dengan pembelajaran di pondok pesantren, meskipun di pesantren secara kurikulum resminya adalah keagamaan, tapi kurikulum non-resminya sangat melimpah banyak. Santri-santrinya ada yang masih SMA, tapi lebih banyak yang kuliah. Yang kuliah pun dari berbagai lintas disiplin dari berbagi universitas. Ada yang kuliah di kedokteran, hukum, teknik, desain, psikologi, dan sebagainya. Biasanya, santri-santri sering mencuri ilmu dari sesama santri terutama yang berbeda displin ilmu. Saya sendiri sering ditanya-tanyai oleh santri yang merupakan mahasiswa ilmu hukum, ilmu komunikasi penyiaran islam, dan sebagainya. Selain pembelajaran dengan cara musafahah, alias tatap langsung person to person, biasanya ketika ada santri yang sedang mengotak-atik motor, santri-santri yang lain ikut memperhatikan juga sesekali tanya, “ini caranya gimana?”, “kok harus seperti ini?”, “itu namanya apa?”, dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi ketika ada santri lain unjuk kebolehan seperti sedang men-desain, mengobati orang sakit, membuat karya ilmiah, bahasa asing, dan lain-lainnya. Tidak heran, santri lulusan pesantren banyak jadi orang yang menguasai banyak bidang (setidaknya, mereka paham walaupun sedikit). Untuk itulah, Pak Joko menyimpulkan bahwa pesantren itu lebih universal daripada universitas. Dan orang yang kuliah di universitas saja, lebih layak disebut kuliah juz’iyah, bukan jami'ah (universitas).

            Terdapatlah secara jelas perbedaan universitas dan pondok pesantren. Jika mahasiswa jurusan teknik sipil bisa membangun jembatan besar, kokoh nan indah, belum tentu dia bisa membangunnya ketika harus melewati jembatan shirothol mustaqim. Mahasiswa teknik elektro yang bisa membuat lampu atau sistem pencahayaan yang terang, irit, dan murah, belum tentu di alam kubur ia bisa menerangi kuburnya sendiri. Mahasiswa kedokteran yang bisa mengobati orang sakit, sekarat, atau koma, belum tentu ia bisa memberi “Asy-Syifa” atau mengobati orang-orang yang kesakitan saat menerima hukuman di neraka. Mahasiswa psikologi yang biasa menangani orang-orang stres, cemas, dan lainnya, belum tentu ia bisa menangani orang stres dan cemas ketika disidang pada yaumul hisab. Beda dengan santri pondok pesantren. Selain mempelajari ilmu bekal di dunia, mereka juga mempelajari ilmu bekal di akhirat. Mereka tahu cara melewati jembatan shirothol mustaqim dengan cepat bagaikan kilat bahkan didampingi Rasulullah SAW, mereka tahu cara menerangi kuburan sendiri dan kuburan orang lain, mereka tidak hanya bisa mengirim syifa’/obat, namun juga syafa’at untuk para penghuni neraka, mereka juga tahu cara untuk melewati persidangan di padang masyhar bi ghoiri hisab alias tanpa hisab.

            Teman saya di Komplek L, dia kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tapi, ia jarang menunjukkan identitasnya sebagai mahasiswa UIN Sunan kalijaga. Kalau ditanya kuliah dimana, ia punya jawaban menarik
            “Saya kuliah di UGM”
            “Lhoh, bukannya sampeyan itu di UIN kang?”
            “Saya kuliah di UGM kok, alias Universitas Gus Munawwar”

            Gus Munawwar sendiri tidak merisaukan dengan cara penyingkatan seperti itu. Yang jelas, beliau sering memberikan petuah sederhana tapi mendalam sekali.
            “Kita ini ngaji sambil kuliah, bukan kuliah sambil ngaji”

            Benar-benar MJJB, Mak Jleb Jleb Banget





Nb: Gus Munawwar, atau KH Muhammad Munawwar Ahmad adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Komplek L


Gambar adalah foto ketika khatimin komplek L latihan menjelang H-1 Khataman, 16 Mei 2011. Lihat itu yang pakai baju putih berkopyah hijau

Rabu, 05 Oktober 2011

Itsaar?


Itsar

Dalam film Ketika Cinta Bertasbih 1, ada adegan Azzam berbicara dengan Fadhil

Aku sudah dengar, semua persoalanmu dari Cut Mala. Katanya, kau sudah mengikhlaskan Tiara untuk sahabat lamamu. Sekarang menyesal

Aku kesal pada diri aku sendiri bang, kenapa belum bisa ikhlas

Kamu pikir setelah ikhlas mendahulukan Zulkifli untuk menikahi Tiara, kamu akan mendapat pahala? Tidak Fadhil! Al-iitsaaru bi al-qurbi makruuhun, wa fii ghoiriha mahbuubun. Itu kaidahnya. Itsar, mengutamakan orang lain dalam mendekatkan diri pada Allah atau dalam ibadah, itu hukumnya makruh. Kalau mengutamakan orang lain untuk selain ibadah, itu justru sangat dianjurkan

Lhoh Bang, saya mempersilahkan Zulkifli…”

Kamu pikir menikah itu bukan ibadah? Itu sunnah Rasul, Ibadah Fadhil. Seharusnya kau mendahulukan dirimu, bukan orang lain

Al-iitsaaru bi al-qurbi makruuhun, wa fii ghoiriha mahbuubun

            Tentang kaedah ini, banyak orang sudah sering mendengar dan memahaminya. Namun kebanyakan masih mengartikannya secara tekstual. Memang, secara tekstual kaidah tersebut mudah dimaknai. Mendahuluhkan orang lain pada mendekatkan diri pada Allah (keta’atan/ibadah) adalah dibenci (makruh), dan pada selainnya disukai. Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya ada beberapa batasan dalam kaidah ini. Berikut apa yang saya ambil dari kitab “Faraaid al-Bahiyyah Risalah Qowaaid Fiqh” buah karya Syaikh Abu Bakar bin Muhammad bin Sulaiman bin Abil Qasim bin Umar Al-Ahdal (984 H-1035 H), yang mengambil pedoman dari kitab tulisan Imam Jalaludin Abdur Rahman As Suyuthi yang berjudul “Al Asybah wa an-Nadha-ir”. Silahkan simak baik-baik, karena tulisan ini tidak ada di artikel copas-an di situs-situs konvensional monoton yang tersebar di internet.
A.       Pendapat ulama tentang itsar:
1.         Pendapat pertama persis seperti bunyi kaidah ini, yakni, makruh mengalah dalam masalah ibadah. Sebaliknya kalau mengalah tidak dalam soal ta’at, sunnah.
       Contoh: Seseorang akan berjama’ah shalat dan telah berada di shaf awal. Tiba-tiba datang orang lain yang juga akan mengikuti jama’ah. Makruh hukumnya kalau orang yang lebih dulu datang mempersilahkan orang yang datang belakangan, untuk menempati tempatnya di shaf awal, sedangkan ia sendiri mengalah, mundur ke shaf di belakangnya.
2.         Ada yang berpendapat: Itsar dalam perkara ta’at itu bukan hanya makruh, melainkan haram.
3.         Imam Jalaluddin As-Suyuthi memberikan perincian sebagai berikut:
a.       Jika Itsar itu berakibat meninggalkan perkara wajib, maka Itsar itu haram.
b.      Jika Itsar itu berakibat meninggalkan sunnah atau melakukan makruh, maka Itsar makruh.
Dari ketiga pendapat ini, qoul yang terakhir (pendapat Imam As-Suyuthi) lebih mu’tamad.

B.     Permasalahan
            Apabila kita melihat tekstual kaidah ini, bahwa menguntungkan orang lain dan merugikan diri sendiri dalam masalah ibadah, adalah dibenci (makruh), kadang-kadang kita menjadi bermasalah terhadap Sunnah Musa’adah (kesunnahan untuk membantu orang lain karena hormat padanya, membantunya, atau sungkan). Begini contohnya, A sedang shalat berjama’ah dan berada di shaf awal, lalu datang B yang terpaksa harus sendirian dibarisan kedua. Karena hukum berdiri sendirian dalam satu shaf saat shalat itu makruh, maka B menarik A untuk menemaninya di shaf kedua (agar di shaf tersebut terdapat lebih dari satu orang). Kalau A mau menurutinya, apakah yang demikian ini tidak termasuk itsar dalam keta’atan?
Permasalahan ini dijawab oleh Ulama seperti ini: A mundur dari shaf awal ke barisan kedua, memang rugi, tetapi kerugian itu tertebus oleh keuntungan yang berupa menolong teman, yakni menyelamatkan dari perbuatan makruh (berdiri sendirian dalam satu shof shalat)

Dari uraian di atas cukup jelas bahwa tidak semua itsar dalam ibadah itu tidak boleh. Ingat kaidahnya, ingat batasan-batasannya, dan kompromikan juga dengan kaidah yang lain seperti dar-u al-mafaasid muqoddamu ‘alaa jalbi al-mashoolih, menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan,

Senin, 03 Oktober 2011

Les Bahasa Arab Gratis dan Pemilu Walikota Yogyakarta


Siang itu saya selepas kuliah berencana untuk sholat jum’at di masjid Nurul Ashri Deresan. Aneh memang, padahal masjid Maskam adalah masjid terbesar di UGM dan letaknya cuma dibelakang fakultas Psikologi. Alasan kenapa saya enggan untuk sholat Jum’at di Maskam sudah pernah saya paparkan di status facebook saya beberapa waktu yang lalu. Salah satu poin pokok mengapa saya enggan sholat Jum’at disana mengacu pada salah satu syarat bolehnya mendirikan sholat Jum’at. Ada beberapa pendapat tentang syarat jumlah jama’ah untuk sholat jum’at. Ada yang mengatakan minimal 12 orang muqimin (penduduk asli di wilayah masjid tersebut), ada yang mengatakan 2 orang saja sudah cukup (ada imam ada ma’mum) sebagaimana sholat jama’ah biasa, ada lagi yang mengatakan bahwa sholat jum’at, sebagaimana derivat dari kata jum’ah, jama’, minimal harus ada 3 orang. Dalam kaidah bahasa arab, 2 masih disebut mutsana, sedangkan 3 dan seterusnya baru bisa disebut jama’. Saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan ijtihad Imam Syafi’i yang mensyaratkan minimal 40 muqimin untuk dapat mendirikan sholat Jum’at. Ada sejumlah hadits yang menerangkan hal ini, namun selain itu, 40 muqimin ini juga mengacu pada fiqh sosial yang jika dijelaskan disini tentu akan sangat panjang. Mengingat mayoritas jama’ah (bahkan hampir semua) sholat jum’at di maskam bukanlah muqimin, maka saya memutuskan mencari masjid kampung. Namun bukan berarti saya menolak sholat jum’at di maskam, ketika waktu mepet, saya pun sholat disana juga. Masjid Deresean juga cukup heterogen, papan pengumuman disana terdapat berbagai pamflet dari latar belakang yang berbeda-beda, beda dengan papan pengumuman di maskam yang didominasi oleh yang itu-itu saja. Selain itu, masjid Deresan juga bersebelahan dengan Pondok Tahfidz. Sejak dulu saya senang melihat orang-orang yang menghafal Al Qur’an. Seandainya santri2 di Pondok Tahfidz itu anak saya semua, hambok saya rela bekerja siang malam banting tulang untuk mencukupi kebutuhan mereka.

            Selepas sholat jum’at di masjid Deresan, saya membaca sebuah papan pengumuman. Disana terdapat semcam pamflet tentang les bahasa arab gratis. Tanpa pikir panjang, saya ambil brosurnya, catat nomernya, lalu registrasi lewat sms. Bagaimana tidak tertarik? Bisa memperdalam bahasa arab gratis, lokasi dekat rumah (di daerah kotagede), tidak ada embel-embel jama’ah/ormas/partai tertentu, dan waktu sangat bisa menyesuaikan. Sayapun mendapat konfirmasi bahwa saya diminta datang ke sekretariat untuk melengkapi syarat pendaftaran berupa 2x pas foto, 2x foto kopi KTP, dan “uang pendaftaran” Rp. 10.000. eh? Uang pendaftaran? Oh ternyata yang dimaksud gratis itu biasa pendidikannya, bukan biaya pendaftarannya. It’s okelah, meskipun di brosur tidak dicantumkan. Toh, cuma 10.000, apalah artinya dibanding kemahiran bahasa arab. Sayapun membayarnya tunai. Maka hari Kamis minggu depannya, saya mendatangi sekretariat untuk melengkapi registrasi. Datang di kompleks masjid sekretariat itu, saya agak terkejut mendapati kenyataan bahwa di kompleks masjid tersebut terdapat semacam kantor pusat sebuah ormas. Di papan informasi di depannya, terdepat berbagai artikel seputar teroris, jihad, bom cirebon, dll. Saya mencoba cuek sebentar. Setelah mengisi formulir, saya sempatkan ngobrol dengan panitia yang menjaga stan pendaftaran itu.

            “Mas, mau tanya, disini pelajarannya muhadatsah (percakapan) atau nahwu-shorof (grammatikal)?”
            “Dua-duanya mas. Tapi dua-duanya tingkat dasar semua”
            Oh, sedikit kecewa juga sih. Saya sendiri sebenarnya mengharapkan muhadatsah yang lebih expert. Bukan berarti saya tidak mau belajar nahwu-shorof, tapi saya sudah mempelajarinya intensif setahun lebih, eman-eman kalau saya harus mengulanginya dari dasar lagi.

            “Model kelasnya jadi satu, atau dibagi-bagi kelasnya mas?”
            “Ada tiga kelas mas, tapi semuanya juga mulai dari dasar”
            Ah, sama saja dong, tidak ada jenjang yang jelas.
            “Kalau kitab rujukannya apa mas?”
            “Kami pakai kitab yang disusun sendiri mas, nanti tiap peserta harus bayar 40.000 untuk uang pembelian kitab.”
            Nah, disinilah saya mulai merasa agak aneh.
Pertama, saya sejak awal mencoba menebak bahwa mungkin kitab yang digunakan adalah kitab-kitab yang sudah saya punya semacam Ajurumiyah, Imrithy, Al Muyassar fii Ilmi Nahwi, atau kitab-kitab bahasa arab populer lainnya semacam Alfiyah Ibnu Malik, Arobiyah baina Yadaik, Mulakhos, Mukhtarot, dll. Saya jadi penasaran, 40 ribu itu dapat kitab seperti apa memangnya?. Saya di rumah ada kitab Matan Ajurumiyah dan Imrithy yang harganya tidak ada 5 ribu. Syarh Ajurumiyah cuma 5 ribuan. Terjemahan Ajurumiyah dan Imrithy juga cuma sepuluh ribuan. Kitab al muyassar cuma 10 ribuan. Dengan kitab itu saja saya sudah bisa belajar ilmu nahwu dengan maksimal. Lantas dengan 40 ribu itu, kitab sehebat apa yang saya dapatkan? Apakah kitab itu hebat? Saya tentu melihat kualitas panitia yang menyusunnya. Ternyata, panitia selain membuat program les bahasa arab gratis, mereka juga membuat program-program “gratis” lainnya seperti kuliah pra-nikah, kuliah calon wirausaha, dan anehnya ada kuliah singkat pengantar menerjemahkan Al Qur’an. Lhoh, eh? Mau menerjemahkan Al Qur’an dengan cara singkat, instan? Mau di terjemahkan seperti apa memangnya? Setahu saya, orang-orang untuk menafsirkan atau setidaknya menerjemahkan al Qur’an harus menguasai banyak ilmu alat seperti Nahwu Shorof, Manthiq, Balaghoh, Asbabun Nuzul, Nasikh-Mansukh, Muhkamat-Mutasyabihat, dll. Ilmu-ilmu alat seperti itu dikuasai dengan metode kuliah singkat dan gratis? Apa jadinya kalau orang menerjemahkan Al Qur’an dengan ilmu seadanya? Dan apa jadinya pula jika ia menyebarkan pahamnya tersebut? Jangan heran kalau akhir-akhir ini banyak muncul umat tekstualis yang menggali ilmu dari Al Qur’an secara dzohiriyah.

            “Mas, kalau saya bayar kitabnya tidak sekarang boleh ndak mas?”
            “Oh, ya. Boleh. Tapi paling lambat besok Sabtu.”
            Lhoh, ini lagi. Apa-apaan! Bukannya saya tidak punya uang untuk membayarnya. Kebetulan 4 jam sebelum saya registrasi di situ, saya di kampus baru saja dapat rejeki yang insya Allah lebih dari cukup untuk membayar kitabnya. Tapi cara memberitahukannya itu lho. Kenapa baru dikasih tahu ketika peserta datang di tempat registrasi? Bagi peserta yang asertivitas rendah, mungkin bakalan manut saja. Tapi ini (tanpa maksud su’udzon atau semacamnya) strategi marketing yang memalukan. Dalam brosur sangat jelas sekali, tidak ada bayaran (uang pendidikan gratis). Ternyata cuma pendidikannya yang gratis, pendaftaran dan kitab harus bayar. Siapa tahu di tengah nanti ada uang gedung? Uang konsumsi? Uang transportasi pengajar? Panitia bisa saja melakukannya karena tidak terdapat di brosur.

            “Yang gratis itu biaya pendidikannya mas”
            Haish, ra isin! Ini namanya sudah mempolitisasi. Saya jadi teringat bahwa beberapa hari sebelumnya adalah pencoblosan calon walikota Yogyakarta. Saya sendiri tidak mencoblos dan lebih memilih untuk pergi ke rumah teman di Turi. Sejak kampanye yang penuh dengan janji-janji yang insya Allah ditepati, saya berjanji pada diri sendiri. Jika ada salah satu pasangan yang berkampanye dengan tidak menempel pamflet atau semacamnya di tembok-tembok umum, akan saya pilih dia. Dan akan saya kerahkan masa sebanyak saya bisa untuk memilihnya. Tapi baru sehari saya berjanji, saya mendapati bahwa ketiga pasangan tidak lolos syarat tersebut. Yasudah, mereka kehilangan 1 suara saya. Mengapa saya berjanji demikian? Bayangkan teman-teman, pamflet yang ditempel itu membersihkannya susah. Kalau spanduk, baliho, bisa dicopot karena tidak permanen. Tapi kalau ditempel, selain kotor, tentu menyusahkan si pemilik tembok. Bagaimana Jogja mau bersih? Dan memang pekan-pekan ini Jogja sedang dipenuhi kampanye janji muluk-muluk yang intinya sama, menarik masa sebesar-besarnya untuk “jadi pengikut”. Bagi yang kurang kritis, tentu mau saja diajak kesana-kemari. Begitu pula dengan “les bahasa arab gratis” tadi.

            Sepulang dari registrasi, di rumah saya lapor sama ibu. Saya ceritakan apa saja yang saya temui di tempat registrasi termasuk nama ormas yang menyelenggarakannya.
            “Ra sah melu sik ngono kuwi, mengko kowe mung dijak sik ra nggenah” (tidak usah ikut yang seperti itu, nanti kamu cuma diajak yang tidak bermutu)

            Lha terus uang sepuluh ribu saya?

Rabu, 14 September 2011

Surat Dari Calon Ayah


Selamat pagi anakku, bagaimana kabarmu?
Ayah baik-baik saja. Begitupun ibumu. Doakan kami senantiasa sehat agar dapat diberi kesempatan bertemu denganmu. Bukankah doa suci dari pelukan hangat rahim ibu itu sangatlah syahdu? Kami tak sabar ingin bertemu denganmu. Bahkan, ayah sudah berlatih adzan dengan suara terbaik ayah. Karena itulah ayah selalu ada di samping ibumu. Ayah ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan lafadz Allah, Tuhanmu, Tuhanku, Tuhan Ibumu, Tuhan kita di telingamu. Pastikan kau mendengar suara ayah dengan seksama ya. Karena Allah-lah kau bisa dijumpakan kepada kami di dunia. Bukankah itu anugerah anakku? Ayah tahu, kau pasti berteriak ketakutan ketika muncul di dunia. Bagaimana tidak? Di alam sana kau begitu bahagia bermesraan dengan Tuhan-mu, namun kau akhirnya dipilih juga oleh-Nya untuk datang ke dunia. Tentu kau tidak bisa menolak. Tapi ayah senang anakku, demikianlah prosesnya. Sejak awal kita sudah tunduk dan patuh pada perintahn-Nya untuk hijrah ke alam dunia, seterusnya pun kita akan senantiasa tunduk dan patuh pada-Nya. Kau sudah hampir lulus selangkah lagi. Ayo semangat anakku, ayah yakin bahwa pengapnya udara alam dunia ini tidak meracunimu, justru kedatangmu laksana angin segar lagi harum yang membuat orang-orang nyaman berada di dekatmu. Tapi janji ya, walaupun anginmu segar dan harum, kau jangan menjadi badai. Tetaplah sepoy-sepoy sehingga ketika orang mengingatmu, mereka akan ingat sejuknya angin surga. Subhanallah ya….

Pagi yang cerah ya anakku, ayah ingin mengenalmu
Ayah dan Ibu hari ini sibuk mempersiapkan nama yang indah untukmu. Sebagai doa untukmu tentunya. Ibu terlihat antusias ketika ayah mengajaknya ngobrol membahas nama yang cocok. Ternyata ibumu sudah punya banyak stok nama-nama bagus. Ayahpun bingung memilihkannya untukmu. Andai kau bisa menjawab saat ini, ayah ingin kau saja yang memilih. Ayah tak berani memilih sekarang. Jelas saja, ayah kan belum tahu kau besok segagah Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, sepintar Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, atau mungkin kau sehangat Ibunda Khadijah radhiyallahu ‘anha, semesra ibunda Siti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha? Ah, tapi ayah tak peduli kau besok terlahir pria atau wanita. Ah, semakin memikirkannya, semakin ayah jadi penasaran saja. Kau membuat ayah semakin tidak sabar ingin bertemu. Terlahir pria atau wanita kau nanti, ayah ingin lekas bercerita tentang seseorang yang ayah kagumi padamu. Kau tahu? Dulu kakekmu juga menceritakan sosok ini pada ayah, kakek juga ingin sekali ayah bisa meneladani sosok tersebut. Dialah Rasulullah, Muhammad Shalallahu ‘alayhi wassalam. Dulu kakek pandai sekali menceritakannya pada ayah. Ayah tak yakin bisa menceritakannya sehebat kakek. Tapi tenang, ayah akan berusaha. Kau penasaran kan? Hhehe, ayah dulu selalu berdebar-debar kalau diceritakan oleh kakek. Bagaimana tidak, kakek sampai memperagakan dengan seru ketika Rasulullah turun tangan memecah batu terkeras saat menggali parit menjelang perang Khandaq, ketika Rasulullah menyuapi nenek-nenek yahudi buta di pasar, dan lain sebagainya. Sabar anakku, jangan melonjak kegirangan seperti itu dulu, kasihan ibumu sekarang. Nanti akan ayah ceritakan ketika saatnya tiba.

Pagi ini seekor merpati mengintip dari balik jendela. Mungkin iapun tak sabar kehadiranmu.
Ayah dan Ibu pagi ini terlihat lebih semangat, dan memang seperti itu dari hari ke hari. Tapi khusus hari ini ayah mengaku kalah. Ibu lebih semangat dari ayah. Ia bangun beberapa menit lebih awal dari ayah. Hhehe, ayah janji, besok-besok tak akan kalah lagi deh. Setelah membangunkan ayah untuk bertahajud dan mendoakanmu, ibumu menyiapkan makanan sahur untuk ayah. Masakan bikinan ibu itu enak lho. Kau pasti bakal makan dengan lahap kalau dimasakkan oleh ibu. Ayah tak tahu kenapa, padahal sebenarnya resep yang digunakan ibu itu sederhana. Hampir semua koki bisa melakukannya. Tapi entah kenapa ada yang gimana gitu lah. Ayah tak ingin terlalu membuatmu penasaran dulu. Yang jelas setelah shubuh ini, seperti biasa, kami sudah menyiapkan sesuatu untukmu. Pagi ini menunya juz 26. Kali ini jatah ayah yang membaca dan ibu yang menyimak. Kemarin, waktu juz 25 bagaimana? Bacaan ibu bagus ya. Ayah pun kagum dengan bacaan ibu. Apalagi ia cuma sesekali membuka mushhaf. Kuat sekali hafalan ibumu itu. Subhanallah ya… tapi ayah tidak mau kalah! Tiap hari ayah selalu memperbagus bacaan ayah. Coba nanti kau simak juga lalu kau bandingkan. Untuk pagi ini, ayah janji akan lebih baik dari ibu. Besok, ayah akan minta ibu sajalah yang mengajarimu mencintai Al-Qur’an. Bukan berarti ayah tak mau mengajarimu, bukan. Biar ibu yang menuntunmu dari alif-ba-ta-tsa, lalu ketika ayah pulang bekerja, ayah bisa beristirahat sambil menyimak perkembangan bacaanmu. Kau bisa setor bacaanmu pada ayah. Bagaimana? Setuju kan? Karena kami memang orang yang tidak sabaran, kami memutuskan untuk mengajarimu sejak sekarang, sejak kau masih di rahim ibumu. Makanya, dengarkan baik-baik agar kau mendapat rahmat. Kelak kalau kau menjadi ahlul qur’an, jangan lupa, ayah pesan syafa’at darimu. Karena kata Rasul, orang-orang ahlul qur’an sepertimu besok bisa mensyafa’ati hingga 10 orang. Keren kan? Pokoknya ayah dan ibu pesan syafa’at itu darimu, dua saja, yang delapan bisa kau kirimkan ke orang lain yang juga kau cintai. Ah, anakku.

Pagi yang hangat anakku, semalam dingin menusuk.
Ayah semalam kedinginan. Kau bisa bayangkan, ayah lelah pulang setelah bekerja tiba-tiba ibumu minta dibelikan es krim durian. Aduh, ayah tentu saja kelabakan. Ayah sudah mohon sama ibu supaya diganti saja. Es batu, atau permen durian begitu. Eh, ibu tidak mau. Ayah langsung ambil motor untuk mencarikan. Masih jam 11 malam, barangkali beberapa toko swalayan semacam indomaret atau alfamart masih buka. Baru mau memasukkan gigi satu, ibu tiba-tiba datang dan ingin ikut. Aduh, sedingin ini masak ibu mau ikut. Ayah khawatir pada ibumu dan juga padamu. Tapi tak apalah, ayah meminta ibu memakai jaket tebal. Dan setelah berkeliling, kami menemukan es krim durian juga. Ayah beli dua. Sebenarnya ayah tidak suka minum es, tapi ayah tidak enak hati sama ibu. Dan sesampainya di rumah, ibu ternyata hanya menghabiskan sedikit saja es krim duriannya. Mungkin sekitar 2-3 jilatan. Wah, alamat bakal tambah kedinginan ini ayah. Beli mahal-mahal, supaya tidak mubazir, ayah pun menghabiskan 2 es krim tersebut. Dingin, tapi tak apalah. Kau tahu kenapa ayah mau-mau saja melakukannya anakku? Ibumu kelak melahirkanmu dengan mempertaruhkan nyawa. Pilihannya ada 4; kalian berdua selamat, kau selamat tapi ibu tidak, ibu selamat tapi kau tidak, atau kalian berdua tidak selamat. Kau tahu ganjaran bila ibu tidak selamat ketika melahirkanmu? Syahidah! Dan itu derajat yang tinggi yang belum tentu bisa didapat dengan beribadah seumur hidup anakku. Karena itu anakku, hormati ibumu ya. Ayahpun menghormatinya. Dahulukan ibumu daripada ayah. Perintahnya adalah wajib. Kelak kau akan mendapat hakmu dibawah telapak kakinya, tempat kita bertemu lagi pada suatu zaman yang sudah pasti.

Ayam berkokok semakin lantang, membangunkan manusia, udzkurullah
Ayah setiap hari menengok kalender. Sembilan bulan bukanlah waktu yang singkat. Ini terasa lama untuk menantimu. Setiap ayah menengok tanggal, ayah menengok bulan. Setiap menengok bulan, ayah menengok tahun. Ya, ini adalah tahun yang lama sejak Rasulullah mengabarkan bahwa ia adalah utusan terakhir, untuk umat di zaman akhir. Kitalah umat itu anakku. Jangan heran kalau mungkin mendapati banyak fitnah di sekitarmu. Apalagi kalau kita membicarakan dajjal si pendusta. Ayah ingin sekali anakku, suatu saat bisa bergabung dalam panji-panji Imam Mahdi bersama Ruhullah, Nabi Isa ‘alayhissalam. Bersama mereka memerangi dajjal dan pengikutnya, menebangi habis pohon ghorqod, dan meng-hegemonikan islam di dunia. Tanda-tanda itu semakin dekat anakku. Namun kelak jika ayah tak sempat bergabung dengan panji-panji tersebut, ayah ingin kau menggantikan ayah. Ayah tahu kau juga sangat ingin. Sampaikan salam ayah untuk mereka berdua ya, anakku. Oh iya, ayah pesan, setelah kau menebang pohon ghorqod, lemparkan saja batang pohon itu pada orang yang sembunyi di balik pohon itu. Kumandangkan takbir! Allahu Akbar!

Semacam surat yang ditulis oleh calon ayah tiap hari menjelang kelahiran anaknya.

*gambar: ilustrasi es krim durian

Rabu, 24 Agustus 2011

Iqbal, santri Krapyak dari Jakarta


      Suasana pondokan krapyak pada suatu dini hari selepas shubuh itu seperti biasanya. Tenang, dan sayup-sayup terdengar suara santri putra menyenandungkan Asmaul Husna dari sebuah komplek putra. Di komplek putri, terdengar juga beberapa santriwati merapalkan sebuah bacaan yang menurut saya mereka sedang menambah hafalan Al-Qur’an. Beberapa dari mereka duduk di pinggir jalan di depan kompleknya dengan memegang mushaf Al-Qur’an dan sesekali melihatnya, sesekali pula menutup mata sambil terus berkomat-kamit. Ada juga yang berpasangan dimana salah seorang merapalkan, dan yang lain menyimak. Saya suka pemandangan seperti ini. Maksud saya, pemandangan orang-orang yang sedang menambah hafalan, bukan santriwatinya karena sebagian besar mereka masih mengenakan mukena. Di depan Komplek Huffadz I, beberapa santri tahfidzmenyapu halaman depan Komplek Huffadz I sambil diperhatikan dari teras oleh Simbah KH. R. Nadjib Abdul Qadir Munawwir, sang otoritas pemegang sanad qiro’ah. Sementara dari Komplek Huffadz II, terdengar beberapa santri merapalkan bacaan-bacaan Al-Qur’an sambil terus diulang-ulang ayat yang sama dan terus mencoba agar lebih fasih di lantai dua. Saya sempat mendengar salah satu dari mereka masih ada yang juz ‘amma, barangkali santri baru. Sepekan sebelumnya, Komplek Huffadz mengadakan khataman dan mewisuda santri-santrinya yang berjumlah 30an lebih yang sudah menamatkan 30 juz Al-Qur’an bil ghoib alias resmi jadi hafidz dan mendapatkan ijazah dari Mbah Nadjib yang sanadnya bersambung hingga Kanjeng Nabi SAW. Saya masih ingat, mereka terlihat keren saat khataman dengan mengenakan jas hitam, songkok hitam, dan sorban hijau yang diselempangkan. Beberapa santriwati dari bagian tempat duduk putri tampak memotret mereka seru sekali sambil cekikikan dengan temannya. Tampaknya para hafidz-hafidz muda nan keren itu berhasil menyihir para santriwati hingga klepek-klepek.

***

            Simbah Kiai Zainal, sang pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta baru saja selesai mengimami sholat shubuh di masjid pusat. Setelah memimpin doa, beliau biasa wirid-an sendirian hingga kira-kira 20-30 menitan lamanya. Jama’ah yang biasanya menunggu untuk bersalaman dan mencium tangan beliau satu persatu mulai keluar dari masjid dengan tangan hampa. Hingga akhirnya Mbah Zainal beranjak dari wirid-annya, hanya tersisa 3 jama’ah yang ada di 2shof terdepan, yang akhirnya berhasil meraih dan menyalami dan mencium tangan beliau yang memang seorang ulama kharismatik nan tawadhu’. Orang-orang mencium tangan beliau bukan lantaran ingin ketularan jadi Kiai, melainkan kecipratan berkah darinya. Tujuan dari orang mencium tangan seorang Kiai atau Ulama adalah 2 hal: ta'dzim dan tabarruk. Ta'dzim untuk menghormati kepada beliau. Lalu tabarruk karena dawuh Kanjeng Nabi SAW, barokah itu ada pada orang tua dan juga guru. Beruntungnya, saya termasuk salah seorang dari tiga orang jama’ah yang bertahan menunggu di situ. Setelah mencium tangan beliau, kami menunggu beliau berjalan keluar menuju rumah beliau di utara masjid yang berjarak sekitar 20 meter. Setelah itu saya berjalan keluar masjid, menuju jalan D.I Panjaitan, masih lengang dan sejuk. Beberapa teman saya di Komplek L yang tiap pagi ngeloper koran sudah mulai bergegas menyongsong rejeki. Beberapa warung yang biasa dilanggani para santri untuknyarap sudah ada yang buka.

            “Mas, mas….!”
            Tiba-tiba dari arah belakang ada suara seseorang memanggil. Arah di belakang saya adalah sekitaran komplek putri. Dengan sedikit semangat kege-eran, saya bertanya-tanya jangan-jangan dia salah seorang santriwati. Ada apa memanggil saya? Apa kopiah saya terjatuh? rasanya tidak. Kopiah putih pemberian ibu saya ini masih melekat hangat di kepala. Saya pun dengan agak elegan dan sokdingin berpura-pura tidak dengar dan menduga mungkin ia memanggil orang lain. Baru beberapa langkah saya sambung, suara orang yang memanggil itu sudah ada di samping kiri sambil terangah-engah karena berlari mengejar saya.

            “Mas, mas. Kami mau tanya mas…” dan kege-eran saya ternyata harus saya telan kembali. Dua orang bocah laki-laki bersarung ternyata yang memanggil saya.

            “Mas, tahu makam Kiyai Haji Ali Maksum tidak?”  
            Kaget betul saya. Pagi-pagi sedini ini ada dua anak menanyakan letak kuburan. Coba saya lihat kedua kaki mereka, masih menempel ditanah. Saya ingat salah seorang Kiai saat mengaji kitabDurratun Nashihin, bahwa jin atau syaithon yang menyamar jadi manusia itu biasanya jam kerjanya antara Maghrib sampai Shubuh. Mereka (para jin dan syaithon yang menyamar) harus kembali ke kuburan sebelum Shubuh. Jangan-jangan dua anak ini tuyul endonesa yang terbiasa dengan jam karet hingga telat pulang bahkan lupa dimana mereka harus kembali! Ah, mana mungkin jin dan syaithon mangkal di makam ulama pikir saya. Saya mau tak mau harus menjawab juga.

            “Oh itu, tempatnya di daerah Dongkelan. Tahu nggak?”
            “Dongkelan? Nggak mas.”
            Hah? Mereka tidak tahu Dongkelan ternyata. Padahal saat itu kami berada di dekat pertigaan yang jalan kebaratnya adalah Jalan Dongkelan bahkan ada papan penunjuk jalan yang bisa dibaca dari situ. Tapi tak apa, karena dimana-mana memberi tahu orang itu harus sesuai kadar pengetahuan mereka. Saya coba cari pendekatan lain.

            “Emmm, kalau perempatan Ring Road Jalan Bantul tahu nggak?”
            Saya sempat menyesal menanyakan ini. Baru Jalan Dongkelan yang lebih dekat saja mereka tidak tahu. Tapi tidak mengapa, namanya juga memberi tahu sambil asesmen kemampuan load mapmereka.

            “Nggak tahu juga mas.”
            “Mau apa kesana memangnya?”
            “Mau ziaroh mas, kami ketinggalan sama temen-temen yang sudah duluan”.

            Sepertinya dua orang ini memang bukan orang asli disini. Mungkin santri dari kota lain. Akhirnya saya memutuskan untuk mengantar mereka. Jaraknya dari situ jika ditarik garis lurus mungkin hanya sekitar 1 kilometer, namun harus berkelak-kelok hingga ngalang ke Ring Road untuk mencapainya. Pakai motor saja! Ah, tapi jam segini Komplek L masih ditutup gerbangnya. Mana bisa saya mengeluarkannya. Ya sudah, jalan kaki sekaligus diniati olahraga saja. Sudah lama nian kaki ini tidak bekerja ekstra.

            “Ayo, saya antar saja. Nggak begitu jauh kok” mereka menyetujui ajakan saya. Sekalian saja nanti saya ikut ziaroh meskipun sore hari sebelumnya saya dan teman-teman Komplek L baru saja ziaroh dan muqoddam-an di situ.

            Kami berjalan menyusuri Jalan Dongkelan menuju arah barat. Kami juga mengobrol sambil berkenalan juga. Dua orang itu ternyata santri baru MTs Ali Maksum. Mereka adalah Iqbal, dari Jakarta dan seorang lagi dari Indramayu. Anak dari Indramayu ini saya susah mengeja namanya. Sekilas terdengar seperti Asya, mungkin juga Asha, Ahsa, Ahsya, Asa, Ahsha, tapi tidak mungkin Aysha (lho, bisa jadi malah itu) tapi bisa juga namanya Asep tapi dibuat menjadi lebih unik.  Iqbal ini tingginya sekitar sesikut saya. Tinggi saya sendiri 170 cm kurang sesenti-dua senti (pembulatan ke atas dalam hal tinggi dan berat badan terasa lebih menyenangkan bagi saya), Asya sekitar 5 senti lebih tinggi dibanding Iqbal. Dua anak itu baru sekitar seminggu menjalani masa-masa menjadi santri MTs Ali Maksum. Iqbal adalah anak yang lucu dan bersemangat. Sedangkan Asya lebih banyak diam, namun juga menjawab ketika saya tanya meskipun tak sejelas dan sebersemangat Iqbal. Iqbal yang lebih pendek posturnya memiliki logat Jakarta yang kental yang membuatnya lucu ketika bicara. Kalau ada air keras saat itu, ingin rasanya saya jadikan si Iqbal ini menjadi gantungan kunci dan saya gantungkan di tas saya. Lucu sekali anak satu ini! Jadi ternyata mereka ini esok tadi ketinggalan rombongan teman sepondokkan mereka untuk ziaroh ke makam pagi itu. Mereka bangun jam setengah 5 pagi, lalu sholat shubuh bersama. Setelah itu, mereka membaca Asmaul husna. Baru kemudian mereka mandi. Nah setelah mandi itulah mereka mendapati bahwa teman-teman dan ustadz pembimbing sudah berangkat ke makam. Dan mereka berdua segera menyusul dan mencari tahu lokasi makam terlebih dahulu dengan bertanya pada orang yang tahu tempatnya dan kebetulan orang itu adalah saya.

            Kami bercerita ngalor ngidul mulai dari tentang pondok, erupsi merapi, sungai winongo, teroris, koruptor, pasar hewan PASTY, ring road, dan banyak sekali. Iqbal juga orang yang japemethe. Ketika menemui orang asing di jalan, kerap kali ia melemparkan senyum sambil menganggukkan kepala dan beberapa dengan sapaan ringan seperti “mari pak”, “mari bu”, dan sebagainya. Sepertinya Iqbal ini begitu menikmati hidupnya sebagai santri disini. Saya pun bertanya kepada mereka tentang latar belakang mereka mondok di Krapyak.

            “Kalian dulu mondok disini karena keinginan sendiri atau disuruh orang tua?”
            “Disuruh ibu mas.” Asya menjawab pertama dengan sederhana, ringkas, datar, dan memaksa saya untuk mengerti bahwa ia agak kurang menikmatinya. Tidak ada raut sedih di wajahnya, bahkan disertai sesuwir senyuman. Tapi entah kenapa saya tidak mau menindaklanjuti jawabannya.
            “Kalau Iqbal?”
            “Pengen sendiri mas.”
            “Wah, pengen sendiri. Memangnya kenapa kok ingin mondok? Apalagi jauh-jauh dari Jakarta ke Krapyak”
            “Soalnya aku pengen membuat bangga orang tua. Moga-moga dengan masuk pondok ini orang tuaku bisa bangga.” Hmmm, saya sedikit mencerna omongan anak ini. Se-awam-an saya, jaman sekarang membuat bangga orang tua itu dengan cara masuk SMP favorit, bernilai excellent, dapat beasiswa, memenangkan kejuaraan, mengharumkan nama baik keluarga, dan sejenisnya. Apalagi notabene ia orang Jakarta (memangnya kenapa kalau Jakarta?). Jadi menerawang tentang masa lalu saya. Orang tua ingin memondokkan saya di Gontor, tapi saya bersikeras ingin masuk SMP 5 Jogja yang saat itu merupakan SMP terbaik se-provinsi DIY. Tapi tak dipungkiri, dalam hati kecil saya memang ingin di pondok juga. Saya baru bersedia di Gontor kalau tidak diterima di SMP 5. Dan Alhamdulillah saya diterima di SMP 5. Namun belakangan saya membaca sebuah novel karya Ahmad Fuadi tentang kisah kehidupannya di Pondok Gontor, entah kenapa saya iri dengannya. Padahal, delapan tahun yang lalu pintu kesana benar-benar dibukakan oleh orang tua saya. Tapi ini bukan saatnya meratapi pilihan sulit di masa lalu. Karena, dalam setiap keputusan kita dalam pilihan sulit, terjadi proses pendewasaan diri kita. Saya percaya, semakin sering seseorang berhadapan dan melewati berbagai keputusan sulit, hal itu semakin membuat seseorang lebih dewasa. Dan tentang Iqbal ini, saya percaya sepenuhnya bahwa ia adalah prototype anak sholeh langka idaman mertua dan orang tua. Selain wajahnya yang good-looking, di usia yang belia ini sangat mujarab dalam penanaman nilai-nilai dan pengetahuan agama. Iqbal sangat bersyukur bisa mondok. Ia bercerita tentang temannya yang berasal dari berbagai daerah. Kalimantan, Riau, Jawa Timur, dan sebagainya. Dari cara Iqbal bicara pun ia memang orang yang luas wawasannya. Bahkan ia sempat tanya kepada saya kenapa di negeri ini begitu merajalela koruptor dan teroris. Jangan membayangkan Iqbal akan mengutarakan hal analitis nan strukturalis. Paling tidak, semangat peduli kepada kondisi bangsa sudah ada pada dirinya.

Semakin besar saja harapan saya pada anak muda ini. Cobalah anda lihat dari cara mata dan alisnya ketika memandang. Lalu bacalah buku psikologi populer tentang mata dan caranya memandangnya. Anda akan mendapati Iqbal sebagai orang yang visioner, fokus, optimis, sumringah, tidak ngelamunan, apalagi menggalau. Bukan tidak mungkin, bahwa pada beberapa khataman yang akan datang, Iqbal-lah yang berdiri di panggung mengenakan jas dan songkok hitam bersorban hijau dalam selempangan dan menjadi idola para santriwati, atau lebih-lebih malah jadi seorang  yang punggung tangannya saja dirindukan banyak orang yang mengantri selepas sholat berjama’ah? Wallaahu a’lam.
Apapun itu, “Sungguh besar nyalimu wahai sobat kecilku, menantang hidup mengejar waktu. Tiada yang mampu menghentikan langkah kakimu, doaku untuk kemenanganmu.

Mudah-mudahan semangat Iqbal dari observasi dan wawancara singkat saya ini bisa menginspirasi kita.

H+1 setelah itu: keesokan paginya pangkal kaki kiri saya pegal karena mengantarkan kedua anak itu.

Selasa, 05 Juli 2011

Ilmu itu ibarat wanita shalihah

Bahwa kewajiban ilmu adalah pasti, sudah tak dipungkiri. Manusia dari segala tempat dan zaman begitu mencintainya. Layaknya orang yang saling mencintai, berbagai ungkapan muncul untuk mengungkapkan kekaguman.

Sabda Rasulullah Shallallahu‘alaihi wassalam, “Ilmu laksana hak milik seorang Mukmin yang hilang, di manapun ia menjumpainya, di sana ia mengambilnya,” (HR Al Askari dari Anas ra)
Disebutkan juga dalam Shahih Bukhari dan Muslim hadits dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diutus Allah kepadaku seperti hujan yang membasahi bumi. Ada bumi yang subur yang menerima air kemudian menumbuhkan rumput yang banyak. Ada bumi yang keras yang menahan air kemudian dengannya Allah memberi manfaat kepada manusia. Mereka meminum dari air tersebut, memberi minum hewan ternaknya, dan bercocok tanam. Hujan juga membasahi bumi yang lain, iaitu lembah yang tidak mampu menahan air dan menumbuhkan rumput. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah kemudian mendapat manfaat dari apa yang aku diutus dengannya. Ia belajar dan mengajar. Dan itulah perumpamaan orang yang tidak dapat diangkat kedudukannya oleh petunjuk Allah, dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Selain pengibaratan dari Rasulullah SAW, para shahabat ra pun memuji kemuliaan ilmu, sebagaimana ucapan sang Pintu Ilmu, Sayyidina Ali kw:
"Ilmu ibarat hewan peliharaan dan tulisan adalah tali kekangnya,oleh karena itu ikatlah ilmu mu dengan menuliskannya"

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
Ilmu adalah laksana pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu

Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata,
Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”

Ibn Al-Qayyim mengatakan bahwa,
Sesungguhnya ilmu adalah sinar yang diletakkan oleh Allah di dalam hati, sedangkan maksiat memadamkan sinar tersebut


Hingga zaman yang semakin berkembang ini, manusia semakin kreatif membuat pengibaratan ilmu. Diantaranya:
Ilmu itu ibarat telur, walaupun keluar dari tempat yang biasa keluar kotoran, kalau yang keluarnya itu telur, ya ambil.

Ilmu ibarat air, ia mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah

Ilmu ibarat emas, di mana pun tempatnya, kedudukannya terhormat.

Ilmu ibarat kulit dan isi, orang yang paling beruntung adalah orang yang memulai isi kemudian kulit”.

Ilmu ibarat mutiara yang bertaburan, berserakan di jalan, terselip di semak, berada di padang pasir tandus, terbenam di samudra, terlempar ke angkasa. Adapun manusia yang berhasil memungut satu dari banyak mutiara itu, diapun sudah merasa hebat dan tidak mau menerima mutiara yang lain.

Para cendekiawan dari barat pun tak ketinggalan membuat perumpamaan ilmu. Diantaranya:
Science is like a good friend: sometimes it tells you things you don't want to hear

Science is like a blabbermouth who ruins a movie by telling you how it ends!

Science is like a tree. Because its roots are bitter but its fruit is sweet.

Science is like twitter, everybody is publishing as fast as they can, but only very few are reading, and even fewer summarizing

“Science is like a puzzle. There is always a problem to solve. Usually the problem is broken down into pieces, much like a puzzle, to help understand and solve the problem

Science is like everything present in this universe. It also contain both good and bad qualities like everything except it is not ordinary like any other thing, it is the advancement of the men. Its from men, its for men and it works for men.

Science is a good servant but a bad master.

Science is like a pencil: you need to cut away the dead wood to make a sharp point


Dari berbagai pengibaratan diatas, saya lebih mudah mengingat apa yang disampaikan Gus Dzakir, Krapyak. Beliau juga ikut-ikutan mengibaratkan ilmu. Hal tersebut beliau sampaikan pada suatu hari saat mengaji kitab Alala:
Ilmu itu ibarat wanita shalihah. Ketika anda sudah menikahi dan mencintainya, maka anda akan menyesal tidak melakukannya sejak dulu.