Cari Blog Ini

Senin, 03 Oktober 2011

Les Bahasa Arab Gratis dan Pemilu Walikota Yogyakarta


Siang itu saya selepas kuliah berencana untuk sholat jum’at di masjid Nurul Ashri Deresan. Aneh memang, padahal masjid Maskam adalah masjid terbesar di UGM dan letaknya cuma dibelakang fakultas Psikologi. Alasan kenapa saya enggan untuk sholat Jum’at di Maskam sudah pernah saya paparkan di status facebook saya beberapa waktu yang lalu. Salah satu poin pokok mengapa saya enggan sholat Jum’at disana mengacu pada salah satu syarat bolehnya mendirikan sholat Jum’at. Ada beberapa pendapat tentang syarat jumlah jama’ah untuk sholat jum’at. Ada yang mengatakan minimal 12 orang muqimin (penduduk asli di wilayah masjid tersebut), ada yang mengatakan 2 orang saja sudah cukup (ada imam ada ma’mum) sebagaimana sholat jama’ah biasa, ada lagi yang mengatakan bahwa sholat jum’at, sebagaimana derivat dari kata jum’ah, jama’, minimal harus ada 3 orang. Dalam kaidah bahasa arab, 2 masih disebut mutsana, sedangkan 3 dan seterusnya baru bisa disebut jama’. Saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan ijtihad Imam Syafi’i yang mensyaratkan minimal 40 muqimin untuk dapat mendirikan sholat Jum’at. Ada sejumlah hadits yang menerangkan hal ini, namun selain itu, 40 muqimin ini juga mengacu pada fiqh sosial yang jika dijelaskan disini tentu akan sangat panjang. Mengingat mayoritas jama’ah (bahkan hampir semua) sholat jum’at di maskam bukanlah muqimin, maka saya memutuskan mencari masjid kampung. Namun bukan berarti saya menolak sholat jum’at di maskam, ketika waktu mepet, saya pun sholat disana juga. Masjid Deresean juga cukup heterogen, papan pengumuman disana terdapat berbagai pamflet dari latar belakang yang berbeda-beda, beda dengan papan pengumuman di maskam yang didominasi oleh yang itu-itu saja. Selain itu, masjid Deresan juga bersebelahan dengan Pondok Tahfidz. Sejak dulu saya senang melihat orang-orang yang menghafal Al Qur’an. Seandainya santri2 di Pondok Tahfidz itu anak saya semua, hambok saya rela bekerja siang malam banting tulang untuk mencukupi kebutuhan mereka.

            Selepas sholat jum’at di masjid Deresan, saya membaca sebuah papan pengumuman. Disana terdapat semcam pamflet tentang les bahasa arab gratis. Tanpa pikir panjang, saya ambil brosurnya, catat nomernya, lalu registrasi lewat sms. Bagaimana tidak tertarik? Bisa memperdalam bahasa arab gratis, lokasi dekat rumah (di daerah kotagede), tidak ada embel-embel jama’ah/ormas/partai tertentu, dan waktu sangat bisa menyesuaikan. Sayapun mendapat konfirmasi bahwa saya diminta datang ke sekretariat untuk melengkapi syarat pendaftaran berupa 2x pas foto, 2x foto kopi KTP, dan “uang pendaftaran” Rp. 10.000. eh? Uang pendaftaran? Oh ternyata yang dimaksud gratis itu biasa pendidikannya, bukan biaya pendaftarannya. It’s okelah, meskipun di brosur tidak dicantumkan. Toh, cuma 10.000, apalah artinya dibanding kemahiran bahasa arab. Sayapun membayarnya tunai. Maka hari Kamis minggu depannya, saya mendatangi sekretariat untuk melengkapi registrasi. Datang di kompleks masjid sekretariat itu, saya agak terkejut mendapati kenyataan bahwa di kompleks masjid tersebut terdapat semacam kantor pusat sebuah ormas. Di papan informasi di depannya, terdepat berbagai artikel seputar teroris, jihad, bom cirebon, dll. Saya mencoba cuek sebentar. Setelah mengisi formulir, saya sempatkan ngobrol dengan panitia yang menjaga stan pendaftaran itu.

            “Mas, mau tanya, disini pelajarannya muhadatsah (percakapan) atau nahwu-shorof (grammatikal)?”
            “Dua-duanya mas. Tapi dua-duanya tingkat dasar semua”
            Oh, sedikit kecewa juga sih. Saya sendiri sebenarnya mengharapkan muhadatsah yang lebih expert. Bukan berarti saya tidak mau belajar nahwu-shorof, tapi saya sudah mempelajarinya intensif setahun lebih, eman-eman kalau saya harus mengulanginya dari dasar lagi.

            “Model kelasnya jadi satu, atau dibagi-bagi kelasnya mas?”
            “Ada tiga kelas mas, tapi semuanya juga mulai dari dasar”
            Ah, sama saja dong, tidak ada jenjang yang jelas.
            “Kalau kitab rujukannya apa mas?”
            “Kami pakai kitab yang disusun sendiri mas, nanti tiap peserta harus bayar 40.000 untuk uang pembelian kitab.”
            Nah, disinilah saya mulai merasa agak aneh.
Pertama, saya sejak awal mencoba menebak bahwa mungkin kitab yang digunakan adalah kitab-kitab yang sudah saya punya semacam Ajurumiyah, Imrithy, Al Muyassar fii Ilmi Nahwi, atau kitab-kitab bahasa arab populer lainnya semacam Alfiyah Ibnu Malik, Arobiyah baina Yadaik, Mulakhos, Mukhtarot, dll. Saya jadi penasaran, 40 ribu itu dapat kitab seperti apa memangnya?. Saya di rumah ada kitab Matan Ajurumiyah dan Imrithy yang harganya tidak ada 5 ribu. Syarh Ajurumiyah cuma 5 ribuan. Terjemahan Ajurumiyah dan Imrithy juga cuma sepuluh ribuan. Kitab al muyassar cuma 10 ribuan. Dengan kitab itu saja saya sudah bisa belajar ilmu nahwu dengan maksimal. Lantas dengan 40 ribu itu, kitab sehebat apa yang saya dapatkan? Apakah kitab itu hebat? Saya tentu melihat kualitas panitia yang menyusunnya. Ternyata, panitia selain membuat program les bahasa arab gratis, mereka juga membuat program-program “gratis” lainnya seperti kuliah pra-nikah, kuliah calon wirausaha, dan anehnya ada kuliah singkat pengantar menerjemahkan Al Qur’an. Lhoh, eh? Mau menerjemahkan Al Qur’an dengan cara singkat, instan? Mau di terjemahkan seperti apa memangnya? Setahu saya, orang-orang untuk menafsirkan atau setidaknya menerjemahkan al Qur’an harus menguasai banyak ilmu alat seperti Nahwu Shorof, Manthiq, Balaghoh, Asbabun Nuzul, Nasikh-Mansukh, Muhkamat-Mutasyabihat, dll. Ilmu-ilmu alat seperti itu dikuasai dengan metode kuliah singkat dan gratis? Apa jadinya kalau orang menerjemahkan Al Qur’an dengan ilmu seadanya? Dan apa jadinya pula jika ia menyebarkan pahamnya tersebut? Jangan heran kalau akhir-akhir ini banyak muncul umat tekstualis yang menggali ilmu dari Al Qur’an secara dzohiriyah.

            “Mas, kalau saya bayar kitabnya tidak sekarang boleh ndak mas?”
            “Oh, ya. Boleh. Tapi paling lambat besok Sabtu.”
            Lhoh, ini lagi. Apa-apaan! Bukannya saya tidak punya uang untuk membayarnya. Kebetulan 4 jam sebelum saya registrasi di situ, saya di kampus baru saja dapat rejeki yang insya Allah lebih dari cukup untuk membayar kitabnya. Tapi cara memberitahukannya itu lho. Kenapa baru dikasih tahu ketika peserta datang di tempat registrasi? Bagi peserta yang asertivitas rendah, mungkin bakalan manut saja. Tapi ini (tanpa maksud su’udzon atau semacamnya) strategi marketing yang memalukan. Dalam brosur sangat jelas sekali, tidak ada bayaran (uang pendidikan gratis). Ternyata cuma pendidikannya yang gratis, pendaftaran dan kitab harus bayar. Siapa tahu di tengah nanti ada uang gedung? Uang konsumsi? Uang transportasi pengajar? Panitia bisa saja melakukannya karena tidak terdapat di brosur.

            “Yang gratis itu biaya pendidikannya mas”
            Haish, ra isin! Ini namanya sudah mempolitisasi. Saya jadi teringat bahwa beberapa hari sebelumnya adalah pencoblosan calon walikota Yogyakarta. Saya sendiri tidak mencoblos dan lebih memilih untuk pergi ke rumah teman di Turi. Sejak kampanye yang penuh dengan janji-janji yang insya Allah ditepati, saya berjanji pada diri sendiri. Jika ada salah satu pasangan yang berkampanye dengan tidak menempel pamflet atau semacamnya di tembok-tembok umum, akan saya pilih dia. Dan akan saya kerahkan masa sebanyak saya bisa untuk memilihnya. Tapi baru sehari saya berjanji, saya mendapati bahwa ketiga pasangan tidak lolos syarat tersebut. Yasudah, mereka kehilangan 1 suara saya. Mengapa saya berjanji demikian? Bayangkan teman-teman, pamflet yang ditempel itu membersihkannya susah. Kalau spanduk, baliho, bisa dicopot karena tidak permanen. Tapi kalau ditempel, selain kotor, tentu menyusahkan si pemilik tembok. Bagaimana Jogja mau bersih? Dan memang pekan-pekan ini Jogja sedang dipenuhi kampanye janji muluk-muluk yang intinya sama, menarik masa sebesar-besarnya untuk “jadi pengikut”. Bagi yang kurang kritis, tentu mau saja diajak kesana-kemari. Begitu pula dengan “les bahasa arab gratis” tadi.

            Sepulang dari registrasi, di rumah saya lapor sama ibu. Saya ceritakan apa saja yang saya temui di tempat registrasi termasuk nama ormas yang menyelenggarakannya.
            “Ra sah melu sik ngono kuwi, mengko kowe mung dijak sik ra nggenah” (tidak usah ikut yang seperti itu, nanti kamu cuma diajak yang tidak bermutu)

            Lha terus uang sepuluh ribu saya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar