Cari Blog Ini

Minggu, 06 Mei 2012


Durratun Nashihin,
Majlis as-Sab’uun fii Bayaani Ahwaali an-Nafs
Pengajian ke tujuh puluh, dalam menjelaskan hal-ihwal nafs manusia.


Dikabarkan ketika itu kepada umat manusia amal perbuatan yang dilaukan dahulu dan yang kemudian, bahkan manusia diangkat menjadi saksi atas dirinya sendiri, sekalipun ia kemukakan alasannya” (QS Al-Qiyamah 13-15)
Maksudnya dari amal perbuatannya yang tidak perlu diungkap pada lain orang, sebab dia sendiri sebagai hujjah/saksinya (Tafsir)
Ibnu Abbas ra. menegaskan : “Mizan/timbangan itu punya dua papan, satu di timur dan satunya lagi di barat” (Tabshirah)

Dari Nabi SAW, sabda beliau:
Siapa tengah menghadapi kesulitan dalam memenuhi keperluan/hajat hidupnya, maka perbanyaklah shalawat kepadaku, sebab dengan shalawat pula rizki melimpah ruah, dan segala keperluan/hajat dipenuhi (oleh Allah SWT)
Salah seorang sholihin berkata: “Aku punya seorang tetangga pembuat naskah/penyusun kitab yang meninggal dunia, lalu aku bertemu dalam mimpi, tanyaku: “Apakah yang diperbuat Allah kepadamu?” Jawabnya : “Dia mengampuni aku“. Sahutku : “Sebab amalan apa darimu?” Jawabnya : “Setiap aku menulis asma Muhammad SAW dalam kitab, pasti aku bershalawat padanya”. Maka Allah memberiku apa-apa yang belum terlihat mata, dan yang belum pernah terdengar telinga, juga yang belum pernah tergores dalam lubuk hati seseorang” (Dalaa-ilu al-Khayrat)

Nabi SAW bersabda:
Dua kalimat yang ringan diucapkan lisan, tapi berat dalam timbangan, bahkan keduanya digemari oleh Allah Yang Pemurah, yaitu “Subhaanallahi wa bihamdihi subhaanallahil-adliim” (HR Bukhari)

Nabi SAW bersabda:
Siapa melakukan kebaikan maka ia memperoleh pahala melakukannya, dan pahala orang yang melakukannya (karena menirunya). Dan siapa melakukan keburukan maka baginya dosa dan dosa orang yang melakukannya (karena menirunya)” (HR Bukhari)
Mu’adz bin Jabal menjelaskan: Tiada bergeser telapak kaki seseorang hingga dituntut tentang empat perkara, yaitu:
1.      Tentang usia, untuk apa ia habiskan
2.      Tentang tubuh, dipakai apa saja sampai rusak
3.      Tentang ilmu, sampai sejauh mana ia mengamalkan
4.      Tentang harta, dari mana ia peroleh dan untuk apa dibelanjakan
(Tanbihu al-Ghafilin)

Allah SWT berfirman:
Sehingga apabila mereka sampai di neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka semua bertindak sebagai saksi mereka mengenai apa saja yang mereka perbuat. Mereka berkata kepada kulitnya : Kenapa kamu bertindak sebagai saksi atas perbuatan kita? Jawabannya : Kami telah dipandaikan oleh Allah dapat bercakap-cakap Dialah yang memberi kemampuan segala sesuatu berbicara, dan Dia-lah yang menetapkan kamu pada awalnya, dan kepada-Nya lah kamu dipulangkan” (QS As-Sajdah 20-21)

            Nabi Daud as. memohon kepada Allah, sahutnya: “Yaa Tuhan, sungguh, aku ingin melihat shirath, mizan/titihan dan timbangan di dunia ini”. Jawab Allah lewat firman-Nya : “Hai Daud, pergilah ke suatu jurang yang demikian”. Maka Allah membukakan tabir darinya, hingga ia dapat melihat shirath dan mizan, yang sifatnya telah dibentangkan dalam hadits-hadits”. Setelah melihat, Nabi Daud pun menangis keras, sahutnya: “Yaa Tuhan, siapakah yang dapat memenuhi papan timbangan (sebesar itu) dengan kebaikan, dari antara hamba-Mu?” Firman Allah SWT : “Demi kemenangan dan keluhuran-Ku, siapa mengucapkan dua kalimat syahadat sebanyak 1 x, dengan i’tiqod mantap, maka ia dapat melintasi shirath layaknya seperti kilat menyambar saja, dan siapa bersedekah semisal sebesar buah korma semata karena Aku, maka iapun dapat memenuhi timbangan itu”. Padahal timbangan itu sendiri sangat besar melebihi besarnya Jabal Qaf. (Masyariq al-Anwar)

Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami akan menghidupkan orang-orang yang mati, dan mencatat apa saja yang mereka perbuat, dan jejak-jejak mereka” (QS Yasin 12)    
Allah akan menghidupkan orang-orang mati di hari kebangkitan, dan Allah mencatat amal-amal yang baik maupun yang buruk dari mereka, yang pernah mereka kerjakan.

Nabi SAW bersabda:
Alamat/tanda seseorang itu celaka ada 4, yaitu:
1.    Melupakan segala dosanya yang terdahulu, padahal bukti/tulisan dosa-dosa itu dijaga ketat di sisi Allah SWT,
2.    Suka mengungkap/menutur kembali amal-amal bagus yang telah lewat, padahal amal-amal itu sendiri entah diterima atau tidak, belum jelas nasibnya,
3.    Suka membuat standar/tolak ukur kepada orang di atasnya dalam hal berusaha menghimpun harta dunia,
4.    Sedangkan dalam masalah ibadah/amal keagamaan, yang dibuat standar/tolak ukur adalah orang yang dibawahnya”.
Allah SWT berfirman: “Aku mau padamu, tapi kamu tidak mau pada-Ku, maka Kutinggalkan dia”. (Minhaj al-Muta’allim)

Nabi SAW bersabda:
Sungguh, seseorang bersedekah sebanyak 1 dirham di masa hidup (seperti sekarang ini), adalah lebih baik dibanding sedekah 100 dirham sesudah mati”. (Mashabih)

Firman Allah SWT:
Dan Kami mencatat apa saja yang mereka perbuat dan jejak-jejak mereka kepadamu” (QS Yasin 12)
Maksudnya langkah-langkah mereka ke masjid. Menunjuk riwayat dari Abu Sa’id al-Hudri, sahutnya: “Bani Salamah telah mengadu kepada Nabi SAW tentang tempat kediaman mereka yang jauh dari masjid, maka turunlah ayat tersebut”.
Dari Anas ra. ia berkata : Keluarga/Bani Salamah maunya pindah menghampiri masjid/mencari tempat yang dekat dengan masjid, dan Rasul SAW tidak suka jika kota Madinah berubah menjadi sepi, lalu beliaupun bersabda: “Hai Bani Salamah, tiada sukakah pada jejak-jejakmu yang banyak? Akhirnya mereka tetap berdiam di rumah mereka semula”.
Dari Abu Musa al-Asy’ari ra. Nabi SAW bersabda:
Manusia yang paling agung pahalanya dalam hal shalat, yaitu yang terjauh berjalannya (menuju masjid), dan orang yang menunggu shalat, hingga ia melakukan shalat berjamaah di belakang imam, adalah lebih banyak pahalanya daripada orang yang shalat kemudian tidur”.
Firman Allah SWT:
Setiap sesuatu Kami perhitungkan (maksudnya Kami menjaganya, menghitungnya, dan menjelaskannya) dalam kitab yang nyata (Lauh al-Mahfudl)” (QS Yasin 12). (Tafsir Ma’alim)

Al-Faqih Abu Laits menjelaskan : “Pada hari kiamat akan dihadapkan 4 golongan, masing-masing mengajukan alasan, namun tiada satupun alasan yang diterima, yaitu:
1.    Golongan orang kaya mengajukan alasan: “Sesungguhnya aku adalah orang kaya yang selalu sibuk dengan hak-hak harta bendaku, sehingga tidak berkesempatan beribadah pada-Mu”
Dijawab oleh Allah SWT: “Sungguh, Nabi Sulaiman membawahi segala yang ada di dunia Timur dan Barat, tetapi ia tidak durhaka kepada Tuhannya, maka alasanmu tidak benar, tidak dapat diterima. Lalu merekapun segera digiring ke neraka”.
2.    Golongan fakir/miskin, memajukan alasan dengan keberadaanya yang fakir. Dijawab oleh Allah SWT dengan menetapkan/perbandingan Nabi Isa as.
3.    Golongan hamba sahaya (budak) mengajukan alasan melayani majikannya. Lalu dijawab oleh Allah dengan menetapkan/perbandingan Nabi Yusuf as.
4.    Golongan pasien/orang yang ditimpa sakit, mereka mengajukan alasan derita sakitnya. Lalu dijawab oleh Allah SWT dengan menetapkan/perbandingan Nabi Ayyub as”
(Tanbihu al-Ghafilin)

Dijelaskan bahwa Allah SWT berhujjah dengan 4 orang dalam rangka menangkis 4 macam manusia, kelak di hari kiamat, yaitu:
1.    Dalam rangka menangkis golongan orang kaya, ditampilkan Nabi Sulaiman as. Sahut mereka : ”Yaa Tuhan, adalah harta bendaku yang mengakibatkan aku tiada berkesempatan ibadah pada-Mu”. Dijawab oleh Allah SWT : “Engkau belumlah kaya melebihi Nabi SUlaiman dan harta bendanya tidaklah mencegah dari beribadah kepada-Ku”
2.    Dalam rangka menangkis hamba sahaya (budak), ditampilkanlah Nabi Yusuf as. Sahut mereka : “Yaa Tuhan, adalah aku seorang budak, dan keberadaanku sebagai hamba sahaya, mencegah aku beribadah kepada-Mu”. Diajwab oleh-Nya : “Sesunguhnya Nabi Yusuf, keberadaannya sebagai hamba sahaya tidaklah mencegah beribadah pada-Ku”
3.    Dalam rangka menangkis orang-orang fakir miskin, ditampilkanlah Nabi Isa as. Mereka berkata : “Yaa Tuhan, sungguh, hajat hidupku sehari-hari mencegahku beribadah pada-Mu”. Lalu dijawab oleh Allah SWT : “Engkau atau Nabi Isa yang lebih berhajat/fakir tapi kefakirannya tidaklah mencegah ia beribadah pada-Ku”
4.    Dalam rangka menangkis pasien/orang sakit, ditampilkanlah Nabi Ayyub as. Sahut mereka : “Yaa Tuhan, penderitaan sakitlah yangmenghambat/mencegah aku beribadah pada-Mu”. Dijawab oleh Allah SWT : “Lebih parah mana derita sakitmu dengan sakitnya Nabi Ayyub? Tapi ia tidak terpengaruh oleh penderitaan sakitnya dari beribadah kepada-Ku”
Maka tiada seorangpun yang dibenarkan alasannya di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat. (Tanbihu al-Ghafilin)
            Dijelaskan bahwa sehari semalam itu 24 jam, setiap jam menusia bernafas 180x, maka nyatalah dalam sehari semalam manusia bernafas 24x180 nafasan adalah 4320 nafasan, yang berarti 4320x bernafas, dan setiap nafas dituntut tentang 2 masalah, saat keluar dan masuknya nafas, maksudnya : “Dituntut tentang amalperbuatan apa saja yang dilakukan saat ia keluar dan masuk”. (Raudhatu al-‘Abidin)

            Maka setelah kita mengerti tentang masalah nafas dengan segala tuntutannya ini, selaku orang pandai yang zahid, sebaiknya mulailah dengan amar ma’ruf dan nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran kepada segenap lapisan masyarakat. Menunjuk hadits riwayat Siti ‘Aisyah ra, Rasulullah SAW bersanda :
            “Telah ditimpa azab/siksa masyarakat sebuah dosa yang di dalamnya ada orang-orang ahli ibdaha yang beramal baik seperti amalan para Nabi, sejumlah 18.000 orang.” Para sahabat pun bertanya : “Kenapa sampai terjadi begitu yaa Rasul?” Jawab beliau SAW : “Sebab mereka enggan marah karena Allah, mereka tidak suka amar ma’ruf dan tidak pula mencegah kemunkaran
            Bertolak dari hadits tersebut, maka setiap orang yang menyaksikan adanya laku munkar dari seseorang, dan ia enggan mencegahnya, berarti ia telah berserikat dalam laku munkar tersebut, hal ini adalah bagaikan orang yang mendengarkan ghibah, berarti ia telah berserikat dengan orang yang ghibah.
            Begitu pula setiap laku maksiat, misalnya saja orang yang duduk di tempat minumarak, berarti adalah orang fasiq / termasuk orang durhaka, sekalipun ia tidak ikut minum.
            Dari Anas bin Malik ra. katanya : “Kami bertanya : Yaa Rasul, haruskah kami amar ma’ruf sedangkan kami belum dapat melakukan seluruhnya, dan haruskah kami nahi munkar, sedang kami belum dapat menjauhi seluruhnya?” Jawab beliau SAW : “Bahkan lanjutkanlah menjalankan amar ma’ruf sekalipun kamu belum dapat melakukan seluruhnya, dan teruslah nahi munkar, sekalipun kamu belum dapat menjauhi seluruhnya”.

            Maka bagi sementara orang yang masih berbuat kemunkaran, hendaklah suka mencegah kemukaran, supaya tidak menumpuk dua dosa. Sebagaimana telah dikatakan : “Petiklah nasihat alim ulama jahat itu, tapi jangan sekali-kali mencontoh perbuatannya itu dari yang haq, sedang perbuatannya dari syetan.”

            Diceritakan bahwa ada seorang pria bertanya pada Abu Qasim al-Hakim, sahutnya : “Kenapa pada ulama di zaman kita sekarang ini, masyarakat tiada peduli dengan nasihat mereka, jauh berbeda dengan ulama terdahulu yang selalu diperhatikan dan diikuti fatwa/nasihatnya?” Jawab Abu Qasim : “Sesungguhnya ulama terdahulu dalam keadaan jaga /  sadar / tidak tidur, sedangakan umat dalam keadaan tidur, lalu mereka yang dalamkeadaan insaf/sadar mengingatkan mereka yang lengah. Sedangkan ulama masa kini keadaannya saja tidur/lengah, dan umat dalam keadaan mati, maka bayangkan saja, dapatkah kiranya yang tengan tidur asyik dalam mimpinya membangunkan orang yang sudah mati?”
            Hal ini seperti yang diungkap dalam kitab Taurat disana ditulis : “Siapa menanam kebaikan, pasti memetik buah keselamatan”. Dan dalam Injil dituturkan : “Siapa menanam keburukan, buahnya penyesalan”
Dalam Al-Qur’an dijelaskan :
Siapa berbuat keburukan, pasti dibalasi keburukan pula” (QS An-Nisaa 123)

            Diceritakan oleh Ikrimah, bahwasanya ada seorang pria berjalan melintasi sebatang pohon yang dipuja-puja masyarakat/mereka menyembah selain Allah, lalu iapun marah kepada pohon itu, dan langsung mengambil kapak, naik himarnya segera menuju ke pohon itu hendak menebangnya. Kemudian ia dihadang oleh iblis dengan bentuk manusia, tanya iblis : “Hendak pergi kemana kamu?” Jawabnya : “Aku hendak menuju ke pohon yang disembah selain Allah, dan janjiku kepada Allah hendak menebangnya”. Sahut iblis : “Apakah hubunganmu dengan pohon itu, apakah ia membahayakanmu, kan tidak, untuk itu biarkanlah ia jangan ditebang”. Pria itupun tiada peduli dengan ocehan orang, ia tetap dalam pendiriannya, hingga terjadilah perkelahian diantara keduanya, dan iblispun kalah terbanting sampai tiga kali. Dan sewaktu iblis tiada berdaya melawannya, lalu ia berkata : “Hai kawan, nantiaku beri uang 4 dirham setiap hari”. Sahut pria itu : “Benarkah ucapanmu itu?” Jawab iblis : “Ya, percayalah aku akan melakukannya”.
            Kemudain iapun pulang ke rumahnya. Dan sewaktu datang ke rumah, ia singkap sajadahnya, ternyata ada uang sebanyak 4 dirham di bawahnya, hal itu berlangsung selama 3 hari. Namun pada esok harinya ia tidak memperoleh uang sepeserpun. Dan iapun segera membawa kapak, naik himarnya berangkat menuju ke pohon itu lagi. Maka iblispun tegak berdiri dengan bentuk manusia, sahut iblis : “Hendak kemana kawan?” Jawabnya : “Hendak menebang pohon itu”. Lalu terjadilah perkelahian yang kedua kalinya diantara keduanya, namun kali ini pria itulah yang kena pukulan, dan terbantinglah ia sampai tiga kali. Ia menjadi heran tiada habisnya, dan bertanya : “Kenapa kini engaku dapat mengalahkanku, padahal sebelum itu aku selalu menang?” Jawab iblis : “Ya, benar, sebab keberangkatanmu yang pertama, dulu marah semata karena Allah, hingga sekiranya seluruh pembantuku dikerahkan untuk menghadapimu, pasti mereka tidak daya mengalahkanmu. Tapi kini keberangkatanmu yang kedua kalinya, marah karena tidak mempeorleh uang di bawah sajadahmu, maka tiada kesulitan bagiku dalam memperdayamu. Untuk itu, segera pulanglah, dan kalau tidak pasti kutebang lehermu”
            Akhirnya pria itupun pulang, dan gagal menebang pohon. (Zubdatu al-Wa’idhin)

Dari Ibnu Mas’ud ra. Rasulullah SAW bersabda :
Tiada bergeser telapak kaki seseorang hingga dituntut tentang empat perkara, yaitu:
1.      Tentang usia, untuk apa ia habiskan
2.      Tentang tubuh, dipakai apa saja sampai rusak
3.      Tentang ilmu, sampai sejauh mana ia mengamalkan
4.      Tentang harta, dari mana ia peroleh dan untuk apa dibelanjakan
(Hisan al-Mashabih)

Syarah/ penjelasan:
            Kata ‘abdun dalam hadits tersebut, sekalipun umum karena keberadaannya ism nakirah, namun dalam susunan jumlah nafi, artinya punya arti khusus, menujuk hadits berikut:
Akan masuk surga dari umatku sejumlah 70.000 orang tanpa lewat proses hisab
            Maka menunjuk hadits ini, tuntutan 4 perkara itu tidak mengikut sertakan mereka yang 70.000 orang. Dan sudah semestinya bagi setiap orang mu’min mengetahui bahwa dirinya bakal dituntut 4 perkara kelak di hari kiatmat, juga diuji dalam hisab, lebih dari itu tuntutan amal dan kelakuan/ detak hari dan lirikan mata sekalipun kecil seperti atom.

            Dan nyata pula bahwa ia tidak dapat selamat dari gerak-gerik ini, kecuali dengan membiasakan hisab diri sendiri dalam rangkaian usaha untuk akhirat, dan tuntutan pada nafs/jiwanya, waktu-waktunya, serta gerak dan diamnya. Sebab orang yang pandai menghisab diri, sebelum tiba saatnya dihisab lain, bakal meringankan hisabnya kelak di hari kiamat, yang berarti melatih jawabannya nanti dalam menghadapi tuntutan/pertanyaan, disamping itu juga dapat membaguskan peralihan/perpindahan dan tempat kembalinya.
            Akan tetapi bagi orang yang enggan mengadakan hisab pada dirinya sendiri, pasti menderita kesal hati, mengelus terus menerus, dan mengalami masa panjang di padang luas hari kiamat, serta laku buruknya bakal menjerumuskannya ke tempat yang terhina, lagi tempat kemurkaan Allah.
            Maka bagi orang mu’min hendaklah tidak melengahkan diri, harus mawas diri dalam segala gerak dan diamnya, penglihatan mata dan detak niatnya, dalam rangkaian usahanya untuk akhirat. Sebab usaha yang diistilahkan dengan jual-beli ini, bakal meraih keuntungan berupa surga firdaus tingkat atas, dan mencapai Sidratu al-Muntaha beserta para Nabi, para Shiddiqin, dan para Syuhadaa’. (Majalisu ar-Rumi)

*Sumber: Durratun Nashihin hal 258-261, Syaikh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khawbawi. Cetakan Haromain tahun 2005. (Lihat gambar)