Cari Blog Ini

Kamis, 30 Januari 2014

Segelas Air Sufi


            Angkringan Pak Slamet masih ramai seperti biasanya, di tengah hiruk-pikuk pusat kota yang gersang dan mendahaga. Ghani, Hamdani, dan Asep siang itu bertemu di angkringan yang menyejukkan itu. Siang yang terik membuat mereka bertiga memesan minuman pelepas dahaga. Hamdani menanyakan pada Ghani dan Asep minuman yang dipesan.
            “Ghan, mau minum apa?”
            “Air putih aja Dan”
            “Kok air putih?”
            “Ya gak papa to?”
            “Asep mau minum apa?”
            “Air putih juga kang, sama kayak Kang Ghani.”
            “Lho air putih? Gak es teh atau es jeruk aja? Aku yang bayar, santai saja. Oke Ghan?”
            “Ndak usah Dan, makasih. Lagi pengen air putih.”
            “Gak kasihan sama Pak Slamet? Air putih kan biasanya tidak bayar?”
            “Gak papa mas, air putih masih ada kok. Saya bikinkan ya, njenengan sendiri mau pesan minum apa?” Pak Slamet menimpali.
            “Eee, ya sudah pak, saya ikut saja, air putih juga.”
            Hamdani melihat sekelilingnya, siang ini semua pengunjung angkringan Pak Slamet termasuk Ghani dan Asep yang membuatnya juga ikut memesan air putih juga. Tentu saja hal ini membuat Hamdani tidak enak hati dengan Pak Slamet karena selama ini Pak Slamet selalu menggratiskan air putih.
            “Pak, tumben hari ini banyak yang pesan air putih ya” celoteh Hamdani.
            “Iya mas, air putih itu kan minuman sufi, ya seperti njenengan-njenengan ini.”
            “Hah? Minuman sufi? Kok bisa gitu pak?”
            “Tanya saja sama orang-orang yang pesan air putih ini.” Jawab Pak Slamet sambil menyajikan tiga gelas air putih untuk Hamdani, Ghani, dan Asep. Hamdani melihat di sebelah kirinya ada bapak-bapak berpakaian rapi dan parlente juga meminum segelas air putih.
            “Pesan air putih juga ya pak?” tanya Hamdani.
            “Iya mas, ini minuman yang sufistik.”
            “Kok bisa gitu pak?”
            “Iya, suatu hari ada seorang raja pergi melewati padang pasir ditemani seorang sufi. Di tengah perjalanan, raja kehausan dan hampir-hampir pingsan karena dehidrasi. Sang raja pun menepi mencari tempat berteduh. Raja ingin minum namun persediaan air sudah habis. Melihat raja yang kehausan, sang sufi bertanya kepada raja.
            ‘Wahai raja, seandainya aku memiliki segelas air, maukah engkau menukarkan segelas air putih milikku dengan setengah kerajaanmu?’ tanya sang sufi.
            ‘Tentu saja, akan kuberikan padamu asal aku tidak mati kehausan disini.’ Jawab raja. Sang sufi pun memberikan segelas air putih yang diinginkan raja. Selesai menenggak habis segelas air putih, sang sufi bertanya lagi kepada raja.
            ‘’Wahai raja, seandainya sebab engkau minum segelas air putih barusan engkau terkena penyakit parah dan saya bisa memberi obat penawarnya untukmu, maukah engkau menukarkan setengah kerajaanmu untukku?’
            ‘Tentu saja, aku tidak mau mati konyol di gurun seperti ini’ jawab raja.
            ‘Ternyata harga kerajaan yang anda miliki tidak lebih dari harga segelas air putih’ jawab sang sufi. Mendengar nasehat dari sufi, sang raja pun menangis. Minuman ini sangat sufistik sekali mas. Setiap meminum segelas air putih ini yang gratis ini, saya selalu teringat bahwa dunia dan seisinya ini sesungguhnya tidak ada nilainya sama sekali.” Mendengar jawaban bapak-bapak tadi, Hamdani tersentak. Hamdani melihat sekeliling lagi, kali ini ada seorang anak SMA juga memesan air putih. Hamdani bertanya kepada anak SMA tersebut.
            “Sampeyan kenapa minum air putih dek?”
            “Iya mas, minuman ini sufistik sekali soalnya.”
            “Oh ya? Memangnya kenapa bisa seperti itu?”
            “Begini mas, suatu hari ada seorang murid yang sangat ingin bertemu Rasulullah dalam mimpi. Ia sudah melakukan tirakat dalam waktu yang lama namun tidak kunjung bertemu dengan Rasulullah. Akhirnya sang murid bertanya kepada seorang guru sufi.
            ‘Guru, sudah lama saya ingin bertemu Rasulullah dalam mimpi, tapi entah kenapa saya tidak kunjung bertemu dengannya?’ tanya sang murid.
            ‘Kau ingin bertemu Rasulullah? Datanglah ke rumahku nanti malam’ jawab guru sufi.’ Sang murid patuh dan malamnya ia menuju rumah Sang Guru Sufi.
            ‘Bagaimana guru? Kita jadi bertemu dengan Rasulullah kan?’ tanya murid.
            ‘Sebentar, kau baru datang dan pasti lelah, ini makan dulu.’ Sang murid patuh dan segera menyantap hidangan nasi dan ikan yang sudah tersedia. Ketika sudah selesai makan, sang murid hendak mengambil segelas air putih yang juga sudah tersedia.
            ‘Tunggu, aku hanya menyuruhmu makan, tidak minum. Sekarang tidurlah’ kata guru sufi. Sang murid pun menaati, ia tidur dalam keadaan sangat kehausan. Ketika bangun tidur, ia bertanya kepada guru sufi.
            ‘Guru, saya sudah menaati semua perintahmu, tapi kenapa semalam saya tidak bertemu Rasulullah di mimpi?’
            ‘Memangnya semalam kau mimpi apa?’ tanya guru sufi.
            ‘Semalam saya hanya bermimpi minum segelas air, saya sangat kehausan’ jawab sang murid.
            ‘Itu berarti rindumu kepada Rasulullah belum serindu dirimu pada segelas air. Kalau kau benar-benar rindu kepada Rasulullah seperi rindumu kepada air ketika kehausan, engkau akan bertemu dengan Rasulullah’ jawab guru sufi. Benar-benar minuman sufistik ya mas? Setiap melihat segelas air, saya selalu ingat bahwa jangan-jangan selama ini saya lebih mendambakan segelas air daripada mendambakan Rasulullah” Hamdani senyum  kosong, ia mulai menyadari ternyata air putih ini sufistik sekali. Selama ini ia pikir minuman para sufi adalah kopi karena bisa menjadi teman untuk bertirakat tidak tidur di malam hari. Hamdani menoleh ke sebelah kiri. Ada seorang tukang becak sedang meminum segelas air putih. Hamdani bertanya makna minuman air putih kepadanya.
            “Pak, seger sekali sepertinya pak. Njenengan juga pesan air putih?”
            “Oh, iya mas. Habis ini minumannya sufistik sekali.” Jawab tukang becak.
            “Sufistik bagaimana pak?” tanya Hamdani.
            “Begini mas, suatu hari ada seorang syaikh bertamu kepada seorang raja. Raja ini meskipun singgasananya mewah, istrinya cantik, hartanya banyak, kebunnya luas, hewannya banyak, namun ia adalah seorang sufi. Syaikh tadi ingin komplain kepada sang raja.
            ‘Hai raja, bagaimana mungkin engkau mengaku sebagai sufi sementara kau hidup dengan penuh kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat rumahmu, istrimu, hartamu, dan semuanya. Ternyata kau masih tergoda pada dunia.’ Mendengar hal tersebut, sang raja tersenyum dan mengajak syaikh masuk ke dalam rumah dan memberikan padanya segelas air putih.
            ‘Wahai Syaikh, silahkan anda berkeliling rumah saya, lihat dan nikmatilah semuanya seharian ini. Anda boleh menaikki hewan-hewan saya, memetik buah-buah saya, dan bermain-main sepuasnya. Tapi ada syaratnya, anda harus membawa segelas air putih ini dan jangan sampai tumpah’
            ‘Memangnya kalau tumpah bagaimana?’
            ‘Anda akan pulang tanpa kepala’ syaikh tadi bergidik. Ia berkeliling ditemani pengawal raja. Setelah seharian berkeliling, raja menemui syaikh.
            ‘Bagaimana syaikh? Sudah puas berkeliling?’ tanya raja.
            ‘Bagaimana aku akan menikmati semuanya sementara kalau air dalam gelas ini tumpah aku bisa pulang tanpa kepala’ jawab syaikh.
            ‘Seperti itulah gambarannya syaikh. Semua kesenangan dunia ini tidak mampu menumpahkan sedikit pun cintaku kepada Allah.’ Benar-benar sufistik sekali mas pokoknya air putih ini. Setiap melihat segelas air putih, saya selalu termenung membayangkan berapa kali saya menumpahkan air cinta dari gelasnya namun Allah tidak segera memenggal kepala saya.” Tukang becak tadi mengakhiri ceritanya dan membuat Hamdani menatap kosong pada air putih di depannya. Di sampingnya, Asep sudah hampir menghabiskan air putihnya. Hamdani bertanya kepada Asep, jangan-jangan Asep juga punya makna tersendiri tentang minuman air putih yang sufistik ini.
            “Asep, sampeyan pasti punya makna sufistik juga untuk air putih ini. Ayo cerita”
            “Hahaha, tahu saja kang. Ini minuman memang sufistik. Suatu hari ada seorang murid menemui guru sufi. Murid tadi sedang sedih karena ditimpa musibah yang menurutnya sangat menyedihkan. Ia ingin meminta petunjuk dari guru sufi tentang kesedihannya. Guru sufi memberikan murid tadi segelas air putih dan sesendok gula. Guru sufi menyuruh murid itu untuk mengaduk gula dalam segelas air putih dan menyuruhnya untuk meminumnya.
            ‘Bagaimana rasanya nak?’
            ‘Manis guru, apa artinya?’
            ‘Kenapa air itu rasanya manis?’
            ‘Karena ada gula yang tercampur di dalamnya guru’
            ‘Sekarang kalau kau mencampurkan gula tadi di laut, apakah laut akan menjadi manis?’
            ‘Tentu tidak guru, laut itu sangat luas dan dalam’
            ‘Begitulah hatimu nak. Jika hatimu hanya sedalam air di gelas ini, sedikit gula akan merubah rasamu. Tapi jika hatimu seluas lautan, rasamu tetap tidak akan berubah meski ditambah gula maupun garam.’ Nah, itu kang. Minuman ini sufistik sekali ya? Setiap meminum segelas air putih seperti ini, saya selalu berpikir jangankan seluas lautan, sepertinya hati saya bahkan tidak lebih luas dari gelas ini. Semoga dengan minum segelas demi segelas kesabaran maka saya menjadi lautan.” Hamdani kaget, ternyata Asep juga menyadari makna sufistik dari segelas air ini. Hamdani belum puas, pasti Ghani juga punya makna tersendiri.
            “Sampeyan gimana Ghan? Apa makna sufistik dari segelas air putih ini?” tanya Hamdani. Ghani tersenyum mendengar Hamdani. Hamdani mengernyitkan mata. Ghani berdiri, ia merapikan baju lalu berdeklamasi.
            “Kutelan setenggak demi setenggak. Darinya sumsumku tegak. Kuresapi sejuknya dalam kebeningan. Ini tidak lain dari hujan. Kulihat langit kupinta hujan. Tuhan menutupinya awan. Kusibak awan mencari Tuhan. Tuhan mengirimiku hujan. Kesadaranku oleh sebab Lafadz-Nya. Aku ingin sampai pada Sang Maha Semua. Kemabukanku atas tatapan-Nya. Membuatku aku semakin dahaga. Aku mabuk pada setiap gelas. Dalam bening yang bebas. Jika langit mulai gelap tak bersinar. Apakah bedanya mabuk dan sadar. Kutenggak lagi minuman kami. Darinya kami merdu bernyanyi. Aku heran dengan orang yang tak berdahaga. Sementara air ini nikmat penuh cinta. Kemurnian-Nya dalam kebeningannya. Kesegarannya seperti cinta dari-Nya. Aku minum cinta segelas demi segelas. Tetap saja dahagaku tak kunjung puas.” Ghani duduk kembali, ia meminum seteguk air putih lalu tersenyum kepada Hamdani. Ada getaran tersendiri ketika Hamdani mendengar kata-kata Ghani. Hamdani menyelam pada lautan hatinya mencari kedalaman makna air putih dalam gelas yang ada di depannya. Pak Slamet jangan-jangan juga mempunyai nilai sufistik ketika memandang air putih ini.
            “Kalau saya cuma ingin seperti air putih mas” tiba Pak Slamet berkata kepada Hamdani. Hamdani kaget, belum juga ia sempat bertanya, Pak Slamet sudah menjawab lebih dahulu.
            “Maksudnya bagaimana pak?”
            “Air putih adalah air yang ada di mana-mana. Ia bisa diminum orang kaya maupun miskin. Ia bisa berada di langit tertinggi maupun lautan terdalam. Ia bisa membeku maupun menguap. Tapi tetap, ia adalah air putih. Tidak punya warna, tidak punya rasa, tidak punya bau. Ia suci dan mensucikan. Ia bukan zam-zam yang terlampau mulia. Bukan pula air comberan yang hina. Air putih adalah air netral. Lambang kemurnian, kesucian, keikhlasan. Air putih adalah sufi mas.”
            Hamdani tertegun. Ia mengambil gelas di depannya dan meminum perlahan. Pikirannya berkecamuk. Di sekelilingnya ternyata penuh orang-orang sufi. Tidak hanya itu, ia baru saja meminum minuman sufi yang disebut air putih. Atau mungkin, meminum air putih yang disebut minuman sufi.