Cari Blog Ini

Rabu, 02 November 2016

Saya Berburu Sanad


Di dunia pesantren, banyak sekali santri yang senang berburu ijazah wirid atau amalan kepada para kyai. Saya pun pernah demikian. Namun belakangan, saya lebih suka mencari sanad untuk menyambungkan rantai saya sampai Kanjeng Nabi. Baik itu sanad keilmuan, sanad kitab, hadits, dzikir, dan sebagainya. Misalnya, pada fan ilmu fiqih saya mencoba menarik-narik rantai saya sampai Kanjeng Nabi, alhamdulillah masih bertemu. Hal itu saya sampaikan ketika mengaji qowaid fiqh.



Pengajian kitab qowaidul fiqhiyah dengan menggunakan kitab susunan Al-Maghfurlah KH Humam Bajuri (pendiri Pondok Pesantren Al-Imdad) sepertinya sedang hits di sekitar Krapyak. Setelah Pak Hilmy membuka pengajian dengan kitab tersebut, di tempat pengajian lain juga mengikuti.  Kemarin dari Pondok Bangunjiwo ada yang mencari kitab tersebut di kantor Diniyah Krapyak. Saya pun diminta untuk membacakan kitab tersebut untuk santri kelas 3 madrasah diniyah di komplek NSPI.



Biasanya, pembacaan sanad di baca pada akhir pelajaran. Namun saya menyampaikan di awal agar menjadi motivasi para santri. Awalnya dulu saya mengaji qowaid fiqh dengan Pak Fakhruddin Yusuf.

Pak Fakhruddin Yusuf dulu mondok di Tremas Pacitan, lalu pindah ke Krapyak sembari menyelesaikan  S1 di UIN Sunan Kalijaga dan S2 di UGM.

Di Krapyak, beliau juga berguru kepada Al-Maghfurlah KH Zainal Abidin Munawwir. Mbah Zainal punya guru utama tidak lain adalah Al-Maghfurlah KH Ali Maksum.

Mbah Ali Maksum dulu juga mondok di Tremas Pacitan, beliau juga berguru pada ayah beliau sendiri, Al-Maghfurlah KH Maksum Ahmad Lasem.

Mbah Maksum Lasem berguru kepada ulama besar asal Indonesia di tanah haram, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi.

Syaikh Mahfudz At-Tarmisi punya guru banyak, namun utamanya dalam bidang fiqh adalah Sayyid Abu Bakr Syatho, penyusun kitab I’anatu Thalibin hasyiah Fathul Mu’in.

Sayyid Abu Bakr Syatho sendiri belajar kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, penyusun kitab Syarah Jurumiyah.

Lalu Sayyid Ahmad Zaini Dahlan belajar kepada Syaikh ‘Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi.

Syaikh ‘Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi belajar kepada Syaikh Abdullah bin Hijazy As-Syarqawi.

Syaikh Abdullah bin Hijazy As-Syarqawi belajar kepada Syaikh Muhammad bin Salim Al-Hifni.

Syaikh Muhammad bin Salim Al-Hifni belajar kepada  Syaikh Ahmad al-Khalifi

Syaikh Ahmad Al-Khalifi belajar kepada Syaikh Ahmad Al-Basyisyi

Syaikh Ahmad Al-Basyisyi belajar kepada Syaikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi dan Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi

Syaikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi belajar kepada Syaikh Ali Az-Ziyadi sedangkan Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi belajar kepada Syaikh Muhammad Al-Qushri

Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi dan Syaikh Muhammad Al-Qushri belajar kepada Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli, Syaikh Syamsuddin Ar-Ramli, Syaikh Khatib Asy-Syarbini, dan Syaikh Ahmad bin Hajar (Ibnu Hajar) Al-Haitsami.

Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli, Syaikh Syamsuddin Ar-Ramli, Syaikh Khatib Asy-Syarbini, dan Syaikh Ahmad bin Hajar (Ibnu Hajar) Al-Haitsami belajar kepada Syaikh Zakariya Al-Anshori

Syaikh Zakariya Al-Anshori belajar kepada Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani belajar kepada Imam Sirajuddin Umar Ibnu Al-Mulaqin

Imam Ibnu Al Mulaqin belajar kepada Imam Al-Jamal Abdurrahim bin Al-Hasan Al-Isnawi

Imam Al-Jamal Al-Isnawi belajar kepada Imam Taqiyudin ‘Ali bin Abdul Kafi As-Subky

Imam Taqiyudin As-Subky belajar kepada Imam Ahmad bin Muhammad Ibnu Ar-Rif’ah Al-Mishri

Imam Ibnu Ar-Rif’ah belajar kepada Imam Muhammad bin ‘Ali bin Daqiq Al-‘Ied

Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied belajar kepada Sulthonul Ulama Al-Imam ‘Izzudin bin Abdul Aziz bin Abdissalam

Imam ‘Izzudin bin Abdissalam belajar kepada Al-Hafizh Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Asakir

Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir belajar kepada Imam Ibnu Mas’ud bin Muhammad An-Naisaburi

Imam Ibnu Muhammad An-Naisaburi belajar kepada Imam ‘Umar bin Isma’il Ad-Damighani

Imam Ad-Damighani belajar kepada Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali

Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali belajar kepada Al-Imam Al-Haramain Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini

Al-Imam Al-Haramain Abdul Malik Al-Juwaini bin Abdullah belajar kepada Al-Imam Abdullah Juwaini

Imam Abdullah Juwaini belajar kepada Imam Abdullah bin Ahmad Al-Qaffal Ash-Shaghir

Imam Al-Qaffal Ash-Shaghir belajar kepada Imam Abi Yazid Al-Marwazi

Imam Abi Yazid Al-Marwazi belajar kepada Imam Abi Ishaq Al-Marwazi

Imam Abi Ishaq Al-Marwazi kepada Imam Ahmad bin Suraij Al-Baghdadi

Imam Ahmad bin Suraij Al-Baghdadi belajar kepada Imam ‘Utsman bin Sa’id bin Basyar Al-Anmathi

Imam Al-Anmathi belajar kepada Imam Isma’il bin Yahya Al- Muzani

Imam Muzani belajar kepada Imam Muhammad bin Idriss Asy-Syafi’i

Imam Syafi’I belajar kepada Imam Malik

Imam Malik belajar kepada Imam Nafi’

Imam Nafi’ belajar kepada Sayyidina Ibnu Umar

Sayyidina Ibnu Umar belajar kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam

Lahumul-fatihah



Saya berburu sanad dengan penuh semangat. Setiap ada ulama yang saya pandang pantas saya minta sanadnya, saya akan mendatanginya, meskipun dengan segala keterbatasan saya. Beberapa tahun lalu saya ke Kulon Progo untuk menerima ijazah ‘amah dari Syaikh Ali Ash-Shobuni. Ya, Syaikhh Shobuni yang terkenal sebagai mufassir, yang menulis kitab Rowai’ul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam dan Shofwatut Tafasir. Beruntung sekali saya rasanya. Sekitar sebulan yang lalu saya ke Purworejo yang katanya ada ijazahan dari Syaikh Hisyam Kamil Al-Azhari dari Mesir. Malangnya, karena hujan deras disertai buta arah Purworejo, saya melewatkan ijazah Arba’in Nawawi. Tapi saya cukup beruntung karena masih kebagian mendapatkan ijazah ‘Aqidatul ‘Awwam dan Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib.



Beberapa bulan yang lalu, UGM kedatangan Syaikh Taufiq Al-Buthi, putra dari Asy-Syahid Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi. Selesai acara seminar, saya menunggu Syaikh Taufiq di ruang tunggu. Dan ketika bertemu, saya langsung meminta ijazah kitab-kitab ayahandanya. Beruntung sekali saya karena beliau bersedia memberikannya dan bonus hizib nawawi juga. Dua bulan lalu di Masjid Agung Bantul juga bertemu Syaikh Fadhil Al-Jailani, keturunan dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani qs. Kepada beliau, saya meminta ijazah kitab-kitab datuknya, beruntung sekali saya beliau bersedia memberikannya dan juga mendoakan saya. Saya awalnya ragu, apakah mungkin meminta ijazah dari ahli waris? Karena beliau-beliau berkenan memberikannya maka saya yakin hal itu diperbolehkan.



Saya juga punya beberapa teman di pondok yang menjadi pemburu sanad. Namun mereka pelit-pelit jika saya minta sanadnya. Ada yang pernah mendapat sanad dari Mbah Maimun Zubair, ada yang dari Sayyid Said Agil Al-Munawwar, dan sebagainya. Namun ada juga yang baik, kita berbagi sanad seperti para ulama dulu saling mendengar sanad. Kita juga saling memberikan informasi jika ada ulama-ulama yang bisa didatangi untuk dimintai sanad.



Memiliki sanad tidak berarti justifikasi bahwa ilmu kita sama persis dengan para ulama periwayat. Saya punya sanad kitab Shofwatu Tafasir, bukan berarti jika saya mengajar kitab tersebut akan sama dengan penjelasan Syaikh Ash-Shobuni. Namun kata Imam Nawawi, sanad adalah tradisi Islam yang harus dijaga. Dengannya, kita tahu kepada siapa kita belajar.



Karena guru dari guru kita adalah guru kita juga.

pic: Berburu ke Lasem