Cari Blog Ini

Minggu, 22 Januari 2017

40 tahun dan 40 hari untuk Kakek




Perkenalkan, saya adalah peranakan Aceh yang tinggal di Jogja.

Sebagaimana diaspora Aceh lainnya, saya sering ditanya oleh orang-orang tentang dua hal: ganja dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

“Punya ladang ganja?”

“Kamu mengkonsumsi ganja?”

“Rasanya ganja itu gimana?”

Saya pun menjelaskan bahwa saya biasa makan ganja sebagai lalapan di Takengon, Aceh Tengah. Jika orang jawa menggunakan daun singkong sebagai lalapan, kami menggunakan ganja. Kalau Anda tahu, rasanya seperti daun marijuana. Apa bedanya ganja dan marijuana? Marijuana itu tokoh wanita dalam film Spiderman, sedangkan ganja adalah tokoh pria dalam film Crows Zero.

Tapi waktu kecil saya memang pernah lihat teman main saya yang sudah agak dewasa, mereka menggunakan ganja sebagai suplemen rokok. Caranya, mereka mengambil sebagian tembakau dalam rokok, lalu memasukkan ganja kering, dan ditutup kembali dengan tembakau. Kemudian mereka merokok di tempat tersembunyi. Saya pun bertanya-tanya. Kalau ganja sudah disembunyikan di dalam rokok, buat apa mereka sembunyi lagi?

Biasanya orang-orang memakai ganja untuk menambah percaya diri ketika tampil di depan layar kaca atau di atas panggung. Selain itu, kadang ganja dikonsumsi untuk melarikan diri dari masalah besar. Untuk ukuran teman-teman saya saat itu, yang jelas tidak mungkin mereka mengkonsumsi ganja untuk meningkatkan self esteem mereka di atas panggung atau layar kaca. Kalau pun memiliki masalah, masalah terbesar kami saat itu adalah ketinggalan melihat serial Dragon Ball Z di Minggu pagi. Maklum, saat itu rumah yang memiliki televisi hanya ada beberapa di kampung, kami harus menuruni bukit selama satu jam.

Sedangkan tentang GAM, saya tidak ragu mengatakan bahwa saya memiliki keluarga dengan latar belakang GAM yang kuat. Salah satu hal yang menjadi alasan kuat adalah, saya lahir di tanggal dan bulan yang sama dengan GAM, 4 Desember. Entah bagaimana caranya, ayah saya bisa menghitung dengan tepat. Meskipun demikian, keluarga saya sama sekali tidak pernah memberikan edukasi tentang falsafah dan ideologi GAM kepada saya. Hanya saja ayah pernah bilang, kalau saya mau menjadi bupati Aceh Tengah, jalannya mudah.

Tidak mudah menjadi anggota keluarga yang berafiliasi pada gerakan yang dituduh makar. Karena itu pula ada anekdot terkenal di Aceh.

Ada seorang anggota GAM ditahan di Nusa Kambangan. Suatu hari, ayahnya mengirim surat dan menyampaikan bahwa ayahnya ingin menanam jagung namun tidak ada yang bisa mencangkul lahannya.

“Ayah jangan mencangkul lahannya, disitu saya mengubur banyak senjata dan bahan peledak”

Surat balasan dari anaknya ternyata terbaca oleh petugas. Lalu dikirimlah satu peleton untuk mencari-cari keberadaan senjata tersebut. Hingga akhirnya ayahnya mengirim surat lagi.

“Tempo hari ada tentara menggali lahan kita, apa yang harus kulakukan?”

“Sekarang ayah bisa menanam jagung di sana.”

Tentu saja cerita itu tidak benar-benar terjadi. Dugaan saya cerita itu saduran dari kisah serupa dari Abu Nawas.

Kakek saya jauh lebih GAM daripada ayah saya. Kakek saya merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia namun tidak puas dengan pemerintahan yang ada saat itu. Karenanya, beliau berjuang kembali lewat GAM. Hal itu membuat dirinya menjadi target operasi pemerintah. Untuk menyiasatinya, kakek saya ternyata memiliki tiga nama yang berbeda. Nama beliau di KTP adalah Rizal, di akte namanya Harun Munthe, sedangkan panggilan sehari-hari adalah Abdul Ghani. Bahkan kakek saya rela menghapus nama Teungku yang sudah diwariskan turun-temurun.

Jadi, ketika ada operasi dari pemerintah, kakek saya selalu berhasil menghindar.

“Apakah Anda yang bernama Abdul Ghani?”

“Maaf, nama saya adalah Rizal”

“Mana buktinya?”

“Ini KTP saya.”

Lalu jika di lain waktu ada lagi yang bertanya

“Apakah Anda yang bernama Rizal?”

“Maaf, nama saya adalah Harun Munthe”

“Mana buktinya?”

“Ini akte saya.”




4 Desember 2016 kemarin, GAM berulang tahun ke 40.

Sedangkan hari ini, adalah 40 hari meninggalnya kakek saya.