Cari Blog Ini

Kamis, 13 Desember 2012

Rokok tidak haram, jadi jangan merokok!


Al-hamdu lillaahil-ladzi qad ja’ala # Khilafu al-ummati li rahmati jalla
Wa nuuru quluubi ahli al-‘ilmi # Ma’rifatu al-haqqi fii al-ahkaami

Segala puji bagi Tuhan yang telah menjadikan # Perbedaan pendapat pada umat sebagai rahmat
Dan menjadikan cahaya hati para ahli ilmu # Dalam mengenali kebenaran tentang hokum-hukum-Nya

(Syaikh Ihsan Jampes – Irsyad al-Ikhwan fi Bayan al-Hukm al-Qahwah wa ad-Dukhan)

---------------------------------------

“Ayo, makan gak Kang?” Asep melongok kamar mengajak Ghani dan Hamdani lewat jendela.

“Ya, nyusul Sep. Bentar,” Ghani menjawab dari dalam. Hamdani langsung keluar mengikuti Asep.

“Duluan ya, Ghan.”

            Halaqah Madrasah Diniyah di komplek L Pesantren Al-Munawwir Krapyak[1] biasanya selesai sekitar jam setengah 10 malam. Selesai halaqah, santri-santri bebas mau mengerjakan apa saja. Ada yang langsung tidur, mengerjakan tugas, nderes menambah hafalan, makan, dan sebagainya. Asep, santri kelas Ula biasanya mengajak Ghani dan Hamdani makan ke angkringan[2]. Asep adalah mahasiswa semester baru di Teknik Mesin UMY, Hamdani mahasiswa semester akhir di Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, dan Ghani mahasiswa semester akhir di Psikologi UGM.

            Di dekat Komplek L, ada 2 angkringan utama. Di depan dan belakang pondok. Angkringan yang di belakang pondok cukup tenang karena berada di kampung penduduk. Tapi kebanyakan yang makan di sana adalah para ustaz atau santri senior. Tak heran, obrolannya pun agak susah dipahami oleh santri-santri baru seperti Asep. Pernah Asep mencoba makan di angkringan tersebut di malam hari selepas halaqah, baru lima belas menit ada di sana, Asep tidak menghabiskan nasi kucingnya. Tertegun ia dengan pembicaraan para senior tentang fana[3], jadzab[4], dzauq[5], dan sebagainya. Asep tanya ke Hamdani, dan ia baru diberi tahu Hamdani kalau angkringan di belakang pondok itu memang sering disebut angkringan sufi (meminjam istilah kedai sufi KH Mohammad Luqman Hakiem), karena obrolannya yang melangit jabarut[6] dan malakut[7]. Makanya santri-santri anyar biasanya kalau ngangkring memilih ke angkringan depan, atau agak jauh di sebelah barat kopontren dekat masjid pusat.


            Angkringan di depan komplek L tidak jauh beda dengan angkringan yang lain. Kalau angkringan di belakang pondok biasa disebut angkringan sufi, angkringan di depan pondok biasa di sebut angkringan jomblo. Selain karena pengunjungnya para “ahlu jomblo” komplek L, di tempat tersebut juga bisa melihat santri putri dari berbagai komplek putri lalu lalang. Apalagi ketika sore-sore, Asep menyebutnya gold time untuk ngangkring di angkringan jomblo. Pokoknya bikin betah lah.

“Pak, Samsu-nya dua pak.” Hamdani memesan rokok. Asep mengamati Hamdani sambil menyedot es tehnya.

“Kenapa sih sampeyan ngrokok, Kang?” Asep mulai bertanya dengan tatapan mata lurus ke Hamdani.

“Iya Sep, sampeyan mau? Ini satu buatmu.” Hamdani menyodorkan sebatang Samsu dan korek.

“Emoh ah, sampeyan gak tahu ya? Rokok itu kan haram. Bikin penyakit.” Asep langsung mendakwahkan materi yang kemarin siang baru ia dapat dari mentornya ketika liqo’ di kampus.

“Uhukk!” Ghani tersedak jeruk angetnya. Namun Ghani kembali diam sambil melahap nasi kucingnya perlahan.

“Oh iya ya, Sep? Yang bener? Sejak kapan sampeyan jadi mufti?” Hamdani menjawab tenang sambil mengepul-ngepulkan asap.

“Wah, sampeyan ini ngece Kang, itu lho fatwa MUI sama Muhammadiyah.”

“Hhahaha, sampeyan mengharamkan itu dalilnya dari mana? Jangan cuma ngekor pendapat orang lho, Sep.” Hamdani mulai menantang Asep.

“Lho, jelas kan Kang? Rokok itu jelas-jelas merusak. Sampeyan kan ngapalin Quran juga, apa tidak lupa sama surat Al-Baqarah yang ayatnya bunyinya wa laa tulqu bi aidikum ilaa at-tahlukah[a]? Jangan engkau jatuhkan dirimu dalam kerusakan! Piye to Kang, eman-eman awakmu.” Asep mulai menyerang Hamdani, berharap Hamdani melepas batangan itu dan segera membuangnya.

“Hebat Sep, sampeyan sudah bisa ndalil ya?” Hamdani menjawabnya sambil mengepulkan asap lagi. Ghani masih diam dan menyimak pembicaraan mereka berdua. Pak Sugeng penjual angkringan mulai kocar-kacir kalau-kalau para santri itu sepakat mengharamkan rokok, omzetnya bisa menurun cukup drastis.

“Sudah, cepat itu rokoknya dibuang saja Kang.” Asep mencoba meraih rokok di tangan kanan Hamdani. Tapi dihalangi oleh Hamdani.

“Santai Sep, santai. Aku bisa menjelaskannya. Aku sih maklum, kau masih santri baru, baru beberapa bulan belajar di sini. Hhaha, dengerin dulu makanya. Jadi gini, ayat yang sampeyan bawa itu benar, tapi gak gitu-gitu juga Sep.” Hamdani sebagai santri kelas Tsalits mencoba menenangkan Asep dengan bijaksana.

“Maksudnya gimana Kang?”

“Coba, bunyi ayat itu utuhnya gimana?”

“Eeee, gak tau Kang. Aku kan masih setorannya Juz ‘amma, kemarin dikasih tahunya cuma yang bunyi itu.”

“Makanya, jangan nelen mentah-mentah Sep. Ayat itu bunyi lengkapnya kan wa anfiquu fii sabiilillahi wa laa tulquu bi aydikum ilaa at-tahlukah wa ahsinuu innallaha yuhibbu al-muhsiniin. Di kitab-kitab tentang asbabun-nuzul, cobalah sampeyan ngecek. Aku kasih contoh di Lubabun-Nuqul-nya Imam Suyuthi, itu ada hadisnya yang menceritakan tentang turunnya ayat itu. Imam Bukhari mengatakan itu ayat yang diturunkan tentang hukum nafaqah, alias infak! [8]. Ketika itu Islam sedang jaya-jayanya dan makin banyak pemeluknya, orang-orang golongan Anshar berbisik-bisik satu sama lainnya dan bilang: sesungguhnya harta benda dan aset kita telah habis, sedangkan Allah telah menjayakan Islam. Bagaimana kalau kita mereformasi dan merevitalisasi kondisi perekonomian kita saja? Maka turunlah ayat itu sebagai jawaban dan teguran atas pembicaraan mereka. At-tahlukah di situ artinya mereka memalingkan diri dari menginfakkan harta di jalan Allah dan memilih menggunakannya untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri[9]. Fahimtum?”

“Eh, gitu ya Kang? tapi kan tetap saja, daripada buat ngerokok uang itu bisa diinfakkan di jalan Allah, hayo…”

“Okelah, poin pentingnya yang pertama adalah kau tidak boleh sembarangan mengharamkan sesuatu dengan dalil tadi Sep. Tapi kalau mendengar kata-katamu barusan, bukankah itu ber-idiom dengan lebih baik zikir daripada tidur, lebih baik mengaji daripada makan, dan lebih baik salat daripada minum?”

“Tapi jelas kan Kang? Rokok memang mubazir, buang-buang duit gak ada manfaatnya.”

“Kata siapa Sep gak ada manfaatnya? Coba tanya Gani, anak psikologi.”

“Eh, emang ada manfaatnya Kang?” Asep menyenggol Gani di sebelah kirinya.

“Wah, aku ragu mau jawab Sep,” Gani menjawab pelan.

“Maksudnya?” Asep bingung.

“Pertama, aku ini memang tidak merokok dan tidak suka rokok, Sep. Tapi aku gak sampai berani mengharamkan kayak kamu Sep. Kalaupun aku tahu dan  mengatakan ada penelitian tentang manfaat rokok, jangan kau tuduh aku mendukung rokok. Aku tetap antirokok.”

“Terus, apa manfaatnya Kang?”

“Emang sih, rokok itu bisa meningkatkan konsentrasi, menghalau rasa kantuk, juga mengurangi tingkat stres dan depresi orang yang mengonsumsinya[10]”

“Ah yang bener, Kang? Tapi nyatanya banyak kok orang tidak merokok yang tidak stres,” Asep menjawab.

“Betul Sep. Aku ini suka rokok, tapi aku lebih suka tidak merokok. Tapi aku juga jauh lebih suka tidak merokok, tapi juga tidak stres,” jawab Hamdani.

“Lha ya sudah, mbok mending nggak usah ngrokok sekalian Kang,” kata Asep.

“Gak segampang itu Sep. Aku ngrokok ini ada konstruksi kepribadian dan sosial yang membuatku jadi perokok.”

“Sebentar, sebentar Kang. Tadi kata Kang Ghani, rokok itu ada manfaatnya secara psikologis. Tapi kan tetep ada madhorot-nya? Dan bukankah statusnya sama seperti judi dan khamr di surat Al-Baqarah, yang wa yas-alunaka ‘anil khamri wal maysir[b], toh walaupun ada manfaatnya tetap saja hukumnya haram kayak khamr. Rokok juga gitu kan Kang?”

“Hhahaha, Asep, Asep. Dalilmu ternyata banyak juga.”

“Halah, sini rokoknya, dibuang saja. Sudah haram, ngganggu orang lain pula.” Asep kembali mencoba meraih rokok di tangan Hamdani dengan sigap, kali ini berhasil. Tapi oleh Hamdani berhasil direbut kembali disertai senyum puas. Pak Sugeng masih meracik teh hangat melayani pelanggan lain sambil menyimak obrolan santri-santri di depannya.

“Iya, Sep, bener. Tapi tunggu dulu. Jangan langsung main vonis haram dulu dong. Ayat yang kau bawa itu benar. Tapi ingat, ayat itu di nasakh[11] dengan ayat lain tentang pengharaman khamr. Itulah hebatnya Gusti Allah, Ia mengharamkan sesuatu perlahan-lahan. Pertama, Gusti Allah mengingatkan bahwakhamr itu ada plus dan minusnya, tetapi lebih banyak minusnya[c]. Kemudian di ayat lain yang turun kemudian Allah menjelaskan bahwa orang yang habis minum khamr tidak boleh salat[d], lalu baru di ayat yang selanjutnya turun Allah baru secara tegas mengharamkan khamr secara mutlak[e]. Itulah namanyatadriju at-tasyrii’[12] alias stratifikasi penyariatan sesuatu, berkala dan bergradasi. Nah, catatan pentingnya adalah Rasulullah ketika turun ayat wa yas-alunaka ‘anil khamri wal maysiri itu tidak langsung mengharamkan, tapi tawaqquf alias mendiamkan hukumnya. Rasulullah tidak akan sembarangan menghukumi sesuatu jika tidak ada perintah yang jelas dari Allah meskipun sesuatu itu mengandung keburukan.” Ghani menjawab pertanyaan Asep.

“Betul itu kata Ghani, Sep. Jangan sembarangan mengharamkan sesuatu hanya karena ia memiliki keburukan yang lebih banyak daripada kebaikannya, intinya sih gitu.” Hamdani menambahi.

“Oh, gitu ya Kang? Tapi kan kata Pak Yai, laa dharara wa laa dhirara. Sesuatu yang membahayakan itu tidak boleh.”

“Betul Sep, tapi ingat dulu, dharar seperti apa yang tidak diperbolehkan? Jangan-jangan sampeyan makan sate usus itu juga termasuk dharar karena bisa bikin kolesterol? Kan gak gitu Sep. Makanya, Imam Ibnu Hajar al-Haitamy menjelaskan bahwa Para ulama sepakat bahwa bila madharat yang telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram.” Hamdani menjelaskan dengan agak serius. Kali ini rokok yang ia hisap sudah habis.

“Maksudnya gimana sih Kang? Belum paham aku.”

“Pelan-pelan ya Sep. Jadi begini, perlu diketahui bahwa tata cara mengharamkan makanan atau minuman yang mengandung madharat itu ada lima tahapan[13]. Tahapan pertama, namanya tahaqquq dharar. Yakni hukum dharar mulai digali ketika sifatnya tahaqquq atau nyata sifat keburukannya. Bila tidak tahaqquq atau tidak nyata maka tidak haram, dan bila terbukti tahaqquq maka boleh melangkah ke tahap kedua. Sampai di sini, rokok dicari tahu dulu,madharat-nya jelas atau tidak? Jangan-jangan cuma pendapat orang saja. Katakanlah rokok itu punya sisi negatif alias keburukannya. Lalu lanjut tahap kedua, yaitu qath’i dharurat dharar. Di sini harus ditelusuri apakah dharar-nya itu sifatnya qathi darurat lewat pembuktian riset dari orang dengan reputasi adil yang dapat dipercaya dan dijamin stabil alias reliable untuk rokok dihukumi haram dari masa ke masa. Dan hal ini menurutku sih mustahil mengingat tidak ada jaminan untuk tidak berubah di kemudian hari tentang rokok. Penelitian tentang manfaat maupun madharat rokok pun tiap waktu semakin berkembang. Maka, lanjutlah ke tahap ketiga Sep.”

“Wah, Hamdani mulai serius itu Sep. Dengerin ceramahnya, kalau perlu direkam.” Ghani mulai membersihkan meja depannya dari bungkusan nasi kucing.

“Lanjut Kang, lanjuuuuut.” Asep semakin penasaran.

“Nah, tahap ketiga yaitu khabar mutawatir tentang dharar alias informasi atau bukti otentik yang valid tentang madharat rokok itu dari golongan yang memiliki reputasi adil misalnya di bidang kedokteran, farmasi, gizi kesehatan, kimia, ahli botani, biologi, psikologi, psikiatri, dan semacamnya. Bila ada, maka boleh dijadikan pegangan. Namun bila timbul dua khabar mutawatir yang sama-sama valid, otentik, dan dari pakarnya, maka melangkahlah ke tahap keempat. Nah, di tahap keempat ini dipadukanlah khabar-khabar yang bertentangan tadi. Yakni bila dua khabar itu bisa dipadukan maka wajib dipadukan sesuai kaidah ushul, dilakukan dengan mengabarkan khabar adanya dharar pada sebagian kondisi serta khabar tidak adanya dharar pada sebagian kondisi yang lain. Misal, rokok itu buruk secara kesehatan tapi baik secara psikologis. Sedangkan tahap ke lima yaitu tarjih khabar dharar. Ini bila khabar mutawatir tadi tidak bisa dipadukan maka kedua khabar statusnya berubah menjadi zhanni. Nah, dalam perspektif dalil, zhanni ini boleh men-tarjih alias mengunggulkan satu dari duakhabar bertentangan yang dianggap lebih dapat dipercaya, atau memilih suatu pendapat tersendiri dari orang yang dipercaya tentang pentarjihan khabaryang bertentangan ini, atau lewat pembuktian diri sendiri atas madharat tersebut. Jadi kalau sudah ke tahap ke lima ini, sampeyan milih mau pakai pendapat yang mana yang lebih diyakini tentang dampak positif-negatif rokok, atau ikut pendapat orang lain kaitannya dengan khabar yang bertentangan tadi, atau mencoba sendiri merasakannya dan menentukan apakah yang dirasakan itu dampak positif atau negatif. Gitu Sep. Ngerti gak?”

“Hmmm, dikit Kang. Tapi mbulet banget, masih belum plong ini.”

“Ya sudah, gini aja Sep. Kira-kira menurutmu yang bikin haram rokok itu apanya?” Hamdani menyalakan lagi rokoknya yang kedua.

“Apa ya Kang, tadi kayaknya sudah dijawab semua. Yang paling mencolok ya karena rokok itu bikin penyakit.”

“Betul Sep, tapi kau lihat sendiri kan? Aku baik-baik saja. Banyak pula orang yang merokok betahun-tahun juga baik-baik saja. Kalau karena sesuatu bisa bikin penyakit lantas sesuatu itu diharamkan, maka jerohan itu juga harusnya diharamkan Sep. Bisa bikin penyakit. Jangan jauh-jauhlah, es batu itu bisa bikin masuk angin, pilek, batuk, dan sebagainya. Tapi apa ada yang mengharamkannya? Makanya pakai kaidah yang tadi sudah dijelasin, cara mengkompromikan manfaat dan madharat makanan.”

“Terus Kang, rokok itu kan asapnya juga mengganggu orang sekitarnya?”

“Ya, tapi lihat juga tuh, asap kendaraan bermotor, kira-kira bahaya nggak? Bahaya kan? Tapi mana ada yang mau mengharamkan. Lagipula kalau haramnya karena mengganggu orang lain, maka hukum itu bisa hilang kalau kita merokok sendiri. Itu artinya bukan rokoknya yang haram. Toh, orang lain kalau terganggu juga berhak kok untuk mengingatkan atau minggir sekalian, hhahaha.”

“Kalau gitu rokokmu dimatikan aja Kang, sudah kuingatkan tuh.”

“Gak mauuuu. Weeeeeekkkk!” Hamdani meledek Asep.

“Sudah, sudah, kalian ini kayak anak kecil saja.” Ghani menghabiskan es jeruknya.

“Pokoknya bagiku rokok ya haram.” Asep tetap bersikukuh.

“Ya terserah kamu Sep.” Hamdani menimpali.

“Menurutmu gimana Kang?” Asep bertanya pada Ghani.

“Begini Sep, kita sebagai umat muslim yang moderat alias tawasuth, harus bijak terhadap problematika khilafiyah seperti ini. Kalau kita mencoba me-muthola’ahlagi kitab-kitab ushul dan qowa’id fiqh, ada dua kaidah besar di kalangan ulama ahli ushul[14]. Di kalangan mazhab Syafi’i kaidahnya berbunyi al-ashlu fii asy-yaa-i al-ibahah hatta yadullu ad-daliilu ‘alaa tahriimi. Yaitu segala sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Ini bersumber dari hadis berbunyi maa ahallallahu fa huwa halaalun wa maa harrama fa huwa haraamun wa maa sakkata ‘anhu fa huwa ‘afwun [f]. Artinya, apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram, sedangkan apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan. Juga firman Allah berbunyi khalaqa lakum maa fil-ardhi jamii’an[g]. Allah menciptakan bagi kalian semua segala sesuatu yang ada di bumi. Kata Imam Syafi’i ya Sep, Allah itu Maha Bijaksana, jadi aneh kalau Allah menciptakan sesuatu lalu mengharamkannya pada hamba-Nya.”

“Tuh Sep, sampeyan mazhabnya apa? Hhaha.” Hamdani merasa agak di atas angin.

“Ya mazhab Syafi’i Kang. Tapi Kang Ghani, kaidah selain Imam Syafi’i itu yang satunya gimana bunyinya?”

“Iya, satunya kaidah dari mazhab Hanafi. Bunyinya al-ashlu fii kulli asy-yaa-i at-tahriimu hatta yadullu ad-daliilu ‘alaa al-ibahah, yaitu bahwa segala sesuatu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang membolehkannya. Imam Abu Hanifah mengambilnya dari firman Allah berbunyi wa lillaahi maa fis-samaawati wal-ardhi[h], kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Kata Imam Abu Hanifah Sep, Allah itu memang Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah sendiri. Masak sih kita mau sembarangan terhadap sesuatu milik Tuhan kita.”

“Tuh Kang, dalam hal ini aku pakai mazhab Hanafi saja lah. Yang penting antirokok.” Asep mulai jemawa.

“Terserah kau sajalah Sep, kalau kau gonta-ganti mazhab itu namanya talfiq[15], hati-hati lho Sep,” Hamdani menjawab.

“Kalau menurut sampeyan Kang Ghani, rokok itu terus dihukumi apa?” Asep mulai mengeluarkan uangnya untuk membayar ke Pak Sugeng.

“Kalau aku ya kembali ke hukum asalnya Sep, mubah. Tergantung niatnya ngrokok itu mau apa. Karena bisa jadi secara kondisional hukumnya jadi haram, makruh, mubah, sunnah, bahkan wajib!”

“Hah? Kok malah wajib Kang? Wah, sudah ngantuk kayaknya sampeyan,” kata Asep.

“Dengerin dulu Sep, sukanya motong-motong sampeyan ini.” Hamdani mengingatkan Asep.

“Iya Sep, kalau kita merokok karena niat meracuni diri sendiri, mengganggu orang lain, ya itu namanya haram. Kalau kita merokok cuma sekedar menghindari kebosanan, teman ngopi, itu makruh. Terus kalau kita hidup di pegunungan yang dingin sepert di Dieng, orang-orang sana merokok untuk menghangatkan tubuh. Dan kalau itu membawa maslahat, bisa jadi sunnah. Dan wajib itu kalau misalnya kita ada sebuah daerah, atau kelompok yang mana kita diancam seandainya kita tidak merokok maka kita akan dibunuh. Maka yang seperti itu justru harus merokok. Jangankan rokok, babi, atau bangkai saja kalau kita dalam kondisi darurat maka kita harus memakannya. Ada itu kaidah berbunyi maa kaana mamnu’an idza jaaza wajaba, sesuatu yang pada asalnya haram, ketika suatu kondisi darurat memperbolehkan ia memakannya atau melakukannya, maka menjadi wajib. Jadi intinya, tidak ada hukum mutlak untuk rokok. Untuk orang-orang yang sehat segar bugar kayak Hamdani, kayaknya aneh kalau dihukum haram. Tapi kalau untuk ibu hamil, menyusui, penderita penyakit tertentu, maka bisa jadi haram. Sama seperti hukumnya daging kambing yang asalnya adalah mubah ketika dimakan oleh penderita darah tinggi maka jadi haram.”

“Oh, gitu. Kalau yang jelasin Kang Ghani lebih jelas daripada sampeyan Kang. Udad-udud teruusss,” Asep menyenggol Hamdani.

“Tapi perlu digarisbawahi juga lho Sep. Ulama dahulu tidak mengharamkan rokok karena belum tahu kandungannya rokok. Makanya jumlah ulama yang mengharamkan rokok jaman dulu lebih sedikit daripada sekarang. Meskipun demikian, guru-guru kita, Pak Yai, Mbah Zainal, beliau-beliau memang tidak mengharamkan rokok. Tapi beliau-beliau juga tidak merokok. Itulah cara yang benar berhati-hati dalam masalah syariat. Syariat bagi agama, dan syariat bagi tubuh. Karena mengharamkan sesuatu itu tidak boleh sembarangan Sep. Orang yang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dosanya sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah. Sampeyan mau disamakan dengan para koruptor, pencuri, pemabuk, pezina, dan semacamnya? Kan gak mau Sep. Makanya daripada ikut-ikutan memvonis seperti itu, mbok ya ngaji lagi, ilmunya diperdalam lagi. Ingatlah kaidah yang berbunyi wa laa yunkaru al-mukhtalafu fiihi wa innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alayhi. Masalah yang masih ikhtilaf alias diperselisihkan, itu jangan diingkari. Yang seharusnya kita ingkari adalah pada masalah-masalah yang sudah disepakati. Misalnya tentang korupsi, zina, dan sebagainya, itulah yang harus diingkari dan diperangi.”

“Oh, ya ya. Ngerti-ngerti. Tapi kalau aku tetap berpendapat rokok itu haram boleh kan, Kang?”

“Ya itu terserah kamu Sep. Kalau untuk dirimu sendiri tidak apa-apa. Tapi kalau sampai kamu ngajak-ngajak orang lain, itu yang harus hati-hati. Kalau kata Pak Yai, rokok itu hukumnya ya antara makruh dan haram. Atau biasa juga disebut makruh tahrim, makruh yang menjurus ke haram. Tapi Pak Yai tentu tidak berani menghukumi haram, karena perkara halal dan haram itu masalah akidah, antara pahala dan dosa. Dan kalau sudah urusan itu, kersane Gusti Allah Sep. Gak bisa sakkarep udelmu.”

“Lha sampeyan gak ngerokok, tapi juga tahu kan Kang kalau rokok itu tidak baik?”

“Ya Sep, aku juga tahu. Aku juga mendukung gerakan-gerakan yang intinya menjauhkan masyarakat dari rokok. Tapi tanpa perlu ada vonis mengharamkannya. Banyak yang bisa dilakukan, edukasi, kampanye, meningkatkan bea cukai rokok, mengurangi atau membatasi iklan dan publikasi rokok, dan tentunya memberi contoh”

“Betul itu Ghani, dengerin Sep. Lagipula kalau divonis haram kok kesannya jadi putus asa sekali. Seperti tidak mau susah-susah membebaskan masyarakat dari rokok. Kalau divonis haram seperti itu berarti lepas tangan dan tinggal menjustifikasi kalau ada orang merokok berarti dosa, dosa berarti neraka, selesai sudah. Apa iya seperti itu? Aku sendiri suatu saat juga ingin berhenti merokok kok Sep. Tinggal nunggu momentumnya saja, Hhaha.”

“Halah Kang, Kang, momentam-momentum, selak modar. Wah, lumayan kita ngobrol lama ya Kang. Matur nuwun ilmunya, aku gak bakal sembarangan lagi deh kalau gitu untuk urusan halal dan haram.”

“Ya sudah, tanda terima kasihnya, bayarin kami berdua ya Sep,” kata Hamdani.

“Haiiish, males bangeett...” Asep menolak.



-----------------------------

[foot note 1]

[1] Komplek L atau disebut juga Madrasah Salafiyah IV adalah salah satu Komplek khusus santri putra di PP. Al-Munawwir, berada di bawah kepemimpinan KH. Muhammad Munawwar Ahmad. Beliau adalah putra dari al-maghfurlah KH. Ahmad Munawwir pendiri Madrasah Salafiyah IV di komplek ini. Lokasi Komplek L berada di perbatasan wilayah kota Madya Yogyakarta, kurang lebih 200 m arah utara dari Pondok Pusat, dengan no. telp. (0274) 386238. Di dalam Madrasah Salafiyah IV pengajarannya menggunakan kurikulum kepesantrenan/ Tahassus dengan muatan kitab-kitab kuning dengan metode soroganbandongan, danmusyawaroh. Selain itu juga pengajian Alquran bin-nazhor dan bil-ghoib (tahfidz). Pengajian biasa dimulai bakda magrib hingga pukul 21.30, dan bakda subuh hingga pukul 06.00. Santri-santri di dalamnya kebanyakan adalah anak SMA dan mahasiswa sarjana maupun pascasarjana.

[2] Angkringan adalah salah satu kedai makanan khas dengan menu-menu murah seperti gorengan, nasi kucing, atau wedang jahe. Angkringan juga merupakan public space dimana orang-orang selain makan juga bisa bercengkerama berbagi informasi satu sama lain.

[3] Fana’ adalah istilah dalam dunia tasawuf. Ini untuk mendefinisikan fenomena gugurnya sifat-sifat tercela manusia. Biasanya diiringi dengan Baqa’ yaitu tampaknya sifat-sifat terpuji. Jika pada seseorang ditemukan salah satu sifat ini, maka akan ditemukan pula sifat satunya. Barangsiapa mengugurkan sifat tercela, maka otomatis muncul padanya sifat terpuji. Begitu pula sebaliknya, barangsiapa muncul sifat tercela, hilanglah sifat terpujinya. Lihat: Ar-Risalaatu al-Qusyairiyah – Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi Al-Naisaburi.

[4] Jadzab adalah istilah dalam dunia tasawuf. Jadzab berasal dari kata kerja jadzaba, yang berati menarik, memikat, menawan hati, memindah dari suatu tempat, cepat, atau sebuah jarak. Ini adalah kondisi dimana seseorang mengalami tarikan Ilahiyah yang merupakan akumulasi dari rasa mabuk (sakr), kesadaran (shahw), fana’baqa’, dan sebagainya. Ketika seseorang mengalami jadzab, ia sejatinya sedang mengalami ekstase keterpesonaan pada samudraIlahiyah yang mengakibatkan lepasnya perhatian pada dirinya maupun dunianya. Alquran melukiskannya bagaikan wanita yang terpesona melihat wajah Nabi Yusuf AS hingga tidak sadar mengiris tangannya sendiri. Lihat: Al-Nushuush fii Mushthalahaati At-Tashawwuf – Imam Muhammad Ghazi ‘Arabi.

[5] Dzauq adalah istilah dalam dunia tasawuf. Dzauq ini biasanya dipasangkan dengan Syarab (minum). Dzauq digunakan untuk mengungkapkan buah tajalli(penampakan asma dan sifat Allah SWT) dan nilai-nilai kasyaf (ketersingkapan tabir misteri ke-Mahamutlak-an Allah SWT). Dalam proses penapakan pencarian hakikat dari aspek ini, tahapan pertama adalah Dzauq (rasa), kemudian Syarab (minum), lalu Irtiwa’ (minum sepuas-puasnya). Para Sufi biasa mengistilahkan dalam syair sebagai arak atau anggur jamuan Tuhan yang semakin diminum semakin menambah rasa mabuk cinta pada Allah. Lihat: Ar-Risalaatu Al-Qusyairiyah – Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi Al-Naisaburi.

[6] Jabarut adalah salah satu kosmologi dalam alam tasawuf. Sering diartikan juga sebagai alam arwah, di mana masyarakatnya adalah ruh-ruh segala makhluk hidup baik dari timur sampai barat, dari yang sudah mati maupun yang belum hidup. Lihat: Manhalu Ash-Shafi – Syaikh Daud Al-Fathani.

[7] Malakut adalah salah satu kosmologi dalam alam tasawuf. Sering disebut juga alam qalbi atau alam akhirah. Alam-alam dalam kosmologi tasawuf ini memerlukan pandangan mata batin atau mata hati, bukan dengan mata jasad. Lihat: Manhalu Ash-Shafi – Syaikh Daud Al-Fathani

[8] Lihat: Lubaabu An-Nuquul fii Asbaabi An-Nuzuul – Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Ibnu Hajar di dalam kitabnya atas syarah al-Bukhari, Fath Al-Baarimengatakan, “Kemudian mushannif (Imam al-Bukhari) menyebutkan hadis Hudzaifah mengenai ayat ini, ia mengatakan, ‘Ayat ini turun mengenai infak, maksudnya tidak mengeluarkan infak di jalan Allah.’ Apa yang dikatakannya (Hudzaifah) ini penafsirannya terdapat dalam hadis Abu Ayyub yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Daud, at-Turmudzi, Ibn Hibban dan al-Hakim dari jalur Aslam bin ‘Imran. Meski demikian, ulama berbeda pendapat terkait ayat yang memiliki asbabun nuzul. Apakah yang dijadikan pegangan adalah umumnya lafaz atau khususnya sebab.

[9] Lihat: Fath al-Baari – Imam Ibnu Hajar al-Asqalany. Dalam hal ini, Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa yang jadi pegangan adalah umumnya lafaz, begitu juga Imam Thabari dalam tafsirnya. Sedangkan Imam Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan sebaliknya.

[10] Lihat hasil penelitiannya tentang efek positif dan negatif rokok pada:
a. Ogden, Jane. (2000). Health Psychology. Buckingham : Open University Press.
b. Oskamp, Stuart. (1984). Applied Social Psychology. New Jersey : Prentice Hall.
c. Sarafino, E. P. (1994). Health Psychology (2nd). Washington DC : McGraw Hill.
d. Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Semarang : PT Gramedia.

[11] Lihat: Al-Itqan fii Uluuumi al-Qur’an – Imam Jalaluddin As-Suyuthi.

[12] Lihat: Taariikh At-Taysrii’ Al-Islamiy – Syaikh Muhammad al-Hudhari.

[13] Lihat: Fatawa Kubra al-Fiqhiyyah bab al-Asyribat wa al-Mukhaddirat – Imam Ibnu Hajar al-Haitamy.

[14] Lihat: Al-Asybah wa An-Nazhaa-ir – Imam Jalaluddin As-Suyuthi.

[15] Talfiq adalah berganti-ganti mazhab tanpa alasan yang dibenarkan, dengan kata lain, berpindah-pindah mazhab dan mengambil pendapat yang lebih ringan dan mudah. Ulama sepakat bahwa talfiq yang seperti ini tidak dibenarkan. Talfiq yang dibenarkan misalnya seseorang jamaah haji bermazhab Syafi’i dari Indonesia beribadah haji ke tanah suci dan di sana berganti mazhab Maliki agar lebih khusyuk dalam beribadah karena mazhab Syafi’i dan Maliki berbeda dalam penentuan hal-hal yang membatalkan wudu kaitannya dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahram. Fenomena talfiq ini muncul sejak abad ke 6 hijriah. Ibnu Hajar menyatakan bahwa talfiq menyalahi ijma’. Lihat: Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy – Syaikh Dr. Wahbah Az-Zuhailiy.

[foot note 2]

[a] QS Al-Baqarah 195

[b] QS Al-Baqarah 219. Imam Qurthubi berkata dalam tafsirnya ketika menafsirkan manaafi’u lin-naas bahwa keuntungan arak adalah keuntungan dalam berdagang (bukan keuntungan dalam hal kesehatan, psikologi, atau semacamnya), sebab orang-orang jaman dahulu membelinya dari Syam dengan harga murah lalu menjualnya di Hijaz dengan harga tinggi.

[c] ibid

[d] QS An-Nisaa 43. Dalam Lubabu An-Nuquul dijelaskan tentang asbaabun-nuzuul ayat ini. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasaa-i, dan Al-Hakim yang bersumber dari Sayyidina Ali ra. Sayyidina Ali ra berkata: “Abdurrahman bin ‘Auf membuat makanan untuk kami lalu diundanglah kami. Yang dihidangkan adalah arak, maka terganggulah pikiran kami (karena meminumnya). Ketika datang waktu salat, orang-orang memilih saya jadi imam, lalu saya keliru membaca suatu ayat menjadi ‘Qul yaa ayyuhal kaafiruuna laa a’budu maa ta’buduuna wa nahnu a’budu maa ta’buduuna’ (Katakanlah wahai orang-orang kafir, tidaklah aku menyembah apa yang kalian sembah dan kami menyembah apa yang kalian sembah). Maka Allah SWT menurunkan ayat ‘Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa taqrabush-shalaata wa antum sukaara hatta ta’lamuu maa taquuluuna’.”

[e] QS Al-Maidah 90-91

[f] HR. Daruquthni, Hakim

[g] QS Al-Baqarah 29

[h] QS An-Nisaa 29




Tampak pemandangan sisi selatan warung