Cari Blog Ini

Rabu, 13 Februari 2013

Hukum Cukur Jenggot


[Hukum Cukur Jenggot]

gus maola, request dong, klo dari kyai2 dan kitab2 yang sudah dipelajari tentang hukum cukur jenggot niku pripun nggih? klo dari tempat ngaji saya selama ini mutlak mengharamkan, saya pengen tau pendapat lainnya...hoho
Sunday at 6:47am • Like

Jawaban:

Assalamu’alaykum warrahmatullah wabarakatuh

Apresiasi terhadap sa-il (penanya), meskipun telah mencari tahu hukum mencukur jenggot dan menemukan jawabannya, namun beliau masih mencari jawaban lain yang berasal dari sumber berbeda. Hal ini adalah upaya positif untuk tidak terjebak pada pandangan sempit apalagi jika merujuk pada situs-situs monoton-copasan di internet. Dengan mengetahui khazanah perbedaan pendapat di kalangan ulama, insya Allah akan membuat kita lebih bijak dan terhindar dari islam madzhab bocor alus yang bernutrisi rendah. Karena ulama memang berbeda pendapat tentang hukum mencukur jenggot. Sebagian mengatakan haram, sebagian mengatakan makruh, sebagian merincinya dengan ketentuan-ketentuan khusus. Dan alangkah baiknya jika kita mengetahui masing-masing pendapat agar menjadi lebih bijak dan tidak sembarangan bertindak hanya karena masalah jenggot. Saya coba menguraikan dengan singkat dan bahasa yang mudah.

Diantara perbedaan ulama dalam hal ini (Lihat: Fiqh al-Islami, Syaikh Wahbah Zuhayli): Madzhab Maliki dan madzhab Hambali mengatakan haram bagi pria, sedangkan madzhab Hanafi mengatakan makruh tahrim (makruh yang menjurus ke haram), menurut madzhab Hanafi yang disunnahkan dalam jenggot adalah yang ada pada segenggaman tangan. Madzhab Syafi’i lebih memilih hukum makruh dalam mencukur jenggot (Imam Nawawi, Imam Rafi’i, Imam Ramli, Imam Zakariya al-Anshari, Imam Ghazali, dll). Meskipun demikian sebagian dari madzhab Syafi’i juga ada yang mengharamkannya (Imam al-Quffal, Imam al-Halimi, Imam Al-Adzra’i, dll.)

Di atas adalah berbagai pendapat dari ulama mutaqaddimin (awal). Alangkah baiknya kita juga mencoba mengetahui pendapat ulama muta-akhirin. Menurut Syaikh Ali Jum’ah (Grand Mufti Al-Azhar Mesir yang beberapa hari lalu purna tugas), sebagian ulama mengatakan perintah dalam hal-hal yang berkaitan dengan jenggot, rambut, makan, minum, berpenampilan, siwak, dan semacamnya adalah wajib sehingga jika menyelisihinya maka haram. Sebagian lagi mengatakan bahwa perintah di dalam hal tersebut bermakna anjuran yang bernilai sunnah, sehingga jika menyelisihinya tidak sampai haram, tapi makruh. Hal ini dikarenakan dikarenakan terdapat indikasi (qorinah) yang mengubah kewajiban menjadi anjuran terkait dengan kebiasaan sehari-hari.

Sebagian lagi menyatakan bahwa memanjangkan jenggot ini illat-nya adalah untuk berbeda dan menyelisihi kaum kafir. Dalam sejumlah hadits diredaksikan dengan lafadz “khalafuu” yaitu perintah untuk menyelisihi, di satu riwayat untuk menyelisihi majusi, di riwayat yang lain untuk menyelisihi musyrikin, nasrani dan yahudi. Riwayat lain bahkan dikatakan untuk menyelisihi ‘ajam (orang asing). Maka bisa dikatakan jika seseorang memendekkan jenggot atau mencukurnya maka dikhawatirkan akan menyerupai (tasyabbuh) dengan kaum kafir. Padahal, jika kita melihat rabi-rabi yahudi, jenggot mereka juga panjang-panjang. Belum lagi sinterklas pun jenggotnya juga panjang. Maka ada baiknya kita perlu tahu juga tentang kaidah tasyabbuh.

Diantara kaidah ber-tasyabbuh adalah: Bila tasyabbuh-nya dengan tujuan meniru orang kafir untuk turut menyemarakkan kekafirannya maka hukumnya menjadi kafir. Bila tasyabbuh-nya dengan tujuan hanya meniru tanpa disertai untuk turut menyemarakkan kekafirannya hukumnya tidak kafir namun berdosa. Bila tasyabbuh-nya tidak sengaja meniru sama sekali tetapi sekedar menjalani sesuatu yang kok ndilalahnya alias kebetulan sama dengan mereka maka tidak haram tetapi makruh.

Karena wazan dari kata tasyabbuh adalah tafa'-'ul. Wazan ini menunjukkan adanya sebuah niat / orientasi untuk melakukan suatu perbuatan dan menghadapi semua kesulitannya. Mempertimbangkan aspek niat (tujuan) dari mukallaf merupakan salah satu dasar pengambilan dalil dalam syari'at. Penyerupaan yang dilarang adalah yang berkaitan dengan syiar-syiar agama dan memang bertujuan untuk menyerupai perbuatan mereka itu. Karenanya. Syaikh Ali Jum’ah merangkum bahwa tasyabbuh yang dilarang adalah jika memenuhi 2 syarat: Tasyabbuh dalam syi’ar-syi’ar agama lain dan tasyabbuh yang disertai niat untuk menyerupai mereka.

Berkaitan dengan tasyabbuh, dalam Fathul Bari dikisahkan ketika berbicara mengenai pakaian Thailasan, yaitu sebuah pakaian yang mulanya dipakai orang-orang Yahudi, dan ketika menjelaskan hadist: "Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia adalah golongan mereka." Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, "Dibolehkan menjadikan kisah orang-orang Yahudi tersebut sebagai alasan pengharaman pakaian Thailasan ini adalah jika ia masih merupakan ciri khusus mereka. Namun saat ini pakaian tersebut sudah tidak lagi menjadi ciri khas mereka, sehingga penggunaan pakaian itu telah masuk dalam penggunaan barang yang dibolehkan secara umum. Ibnu Abdis Salam telah menyebutkan hal ini dalam contoh-contoh bid'ah yang dibolehkan." Artinya, konsep tasyabbuh ini juga terikat dengan masa. Sebuah perkara dalam suatu masa adalah tasyabbuh, namun dalam masa yang lain bisa berbeda.

Maka pada akhirnya untuk kesimpulan kembali kepada masing-masing. Yang jelas, sejauh penelusuran saya tidak ada hukum muthlaq untuk mencukur jenggot. Kita perlu melihat sekitar kita, apakah jenggot masih merupakan hal pembeda dengan kaum kafir? Apakah mencukur jenggot adalah syi’ar kaum kafir? Seandainya kita mencukur jenggot, apa orientasi kita? Jika kita memanjangkan jenggot, apa pula orientasinya? Bagaimana jika dengan berjenggot panjang justru kita bertasyabbuh dengan sinterklas atau rabi-rabi yahudi? Silahkan pilih pendapat yang lebih anda yakini. Dari berbagai pendapat di atas, saya sendiri memilih ikut pendapat istri saya kelak. Jika beliau ingin saya berjenggot, saya turuti. Jika ingin dicukur, saya cukur. Dalam hal ini saya tidak perlu bermusyawarah, sam’an wa tha’atan. Pokoknya asal nona senang, abang tenang. Idkhulus suruuri zaujati, ndemenaken penggalihe sigaraning nyowo.

Kalau-kalau istri saya besok tanya:

“Mas, kok njenengan mau-maunya to cukur jenggot? Katanya kan ada bidadari di tiap helainya mas? Mangke mboten nyesel po?”

“Dik, sudah ada njenengan kok, buat apa sih bidadari? Ngganggu mawon :)”

Wallahu a’lam bish-shawab
Wassalamu ‘alaykum warrahmatullah wabarakatuh

Mochammad Maola Lc (Lelaki cejati)

(ini ceritanya format tulisan gaya Ust Ahmad Sarwat)