Cari Blog Ini

Sabtu, 10 Januari 2015

Nabi atau Wali?


            “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani”.
            “Kenapa Dan? Tiba-tiba menyebut nama beliau?”

            “Sampeyan tahu Gan? Kalau kita ikut manaqiban, saya selalu terbayang-bayang ketika dikisahkan bagaimana Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menghidupkan orang mati.” Ghani dan Hamdani asyik bercengkerama di pinggir masjid kampus. Asep yang tadi sibuk mengerjakan tugas kuliah tiba-tiba tertarik mendengar pembicaraan Ghani dan Hamdani tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Maklum, Asep adalah orang baru dalam dunia tasawuf, ia selalu tertarik dengan segala pembicaraan tentang tasawuf. Terlebih salah satu tokoh populer dalam dunia tasawuf, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Dalam acara-acara manaqib, Asep iri pada Ghani dan Hamdani yang lebih bisa memahami pembacaan manaqib karena keduanya lebih menguasai bahasa arab dibanding Asep. Kali ini, Asep tak ingin melewatkan kesempatan bisa mendapatkan sesuatu tentang apa yang sebenarnya dibacakan ketika manaqib.
            “Memangnya apa yang sebenarnya kau persoalkan Dan?” tanya Ghani.
            “Apa tidak aneh? Nabi Isa ‘alayhissalam ketika menghidupkan orang mati mengucapkan ‘qum bi idznillah’, tapi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang notabene seorang wali ketika menghidupkan orang mati beliau mengucapkan ‘qum bi idzniy’. Kok seakan-akan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani itu lebih hebat daripada nabi. Bagaimana menurutmu?”.
            “Kalau memang ternyata Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani lebih hebat dari Nabi Isa bagaimana Dan?”
            “Gak mungkin Kang, masak nabi kalah sama wali.” Asep ikut bergabung dengan percakapan seru ini. Hamdani mulai berpikir, apa mungkin seorang wali lebih hebat dari nabi.
            “Menurutmu tingkatan manusia paling tinggi itu siapa Dan?” tanya Ghani.
            “Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam” jawab Hamdani.
            “Lalu?”
            “Para rasul ‘alayhim sholatu wa salam”
            “Lalu?”
            “Para anbiya ‘alayhim sholatu wa salam”
            “Lalu?”
            “Para auliya?”

            “Dalam urut-urutan ini saja, setahuku ada banyak pendapat Dan. Ada versi yang menyebutkan seperti apa yang kau sebutkan, tapi ada juga yang menyebutkan bahwa setelah Kanjeng Nabi adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum baru kemudian para rasul. Tapi poin pentingnya, apakah derajat itu berbanding lurus dengan kehebatannya? Maksudku, apakah para anbiya selalu lebih hebat daripada para auliya? Apakah Nabi Isa lebih hebat dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?”
            “Menurutku seharusnya demikian Gan, seorang nabi harusnya lebih hebat daripada seorang wali.”
            “Tapi wali yang satu ini bukan seorang wali biasa, beliau penghulu para wali, sulthonul auliya, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, bagaimana menurutmu?”
            “Tetap saja, maqom keduanya jelas beda. Nabi menerima wahyu langsung dari Gusti Allah sedangkan para wali tidak.”
            “Betul, betul, kau sendiri ingat bagaimana kisah pertemuan pertama Jalaludin Rumi dengan  Syamsudin Tabrizi?”
            Pertanyaan Ghani kali ini membuat Hamdani terhenyak. Sebagai orang yang menekuni tasawuf, Hamdani cukup kenal betul dengan sufi satu ini, Jalaludin Rumi. Termasuk kisah pertemuan Rumi dengan Tabrizi yang mengubah jalan hidup Rumi dari ulama legal-formal yang berkutat dalam hukum-hukum positif menjadi seorang melankolis yang jauh dair hingar bingar kehidupan dunia. Atau menurut Hamdani, dari orang yang mencintai Tuhan menjadi orang yang dicintai Tuhan. Hamdani merenungi kembali kisah pertemuan Rumi dengan Tabrizi. Rumi, seorang ulama yang juga seorang hakim masyhur di kotanya suatu hari ditemui Tabrizi, seorang darwis yang terbiasa hidup terasing dalam pengembaraan. Dalam pertemuan pertama antara keduanya, Tabrizi melontarkan pertanyaan pada Rumi.

            “Hai ulama yang agung, siapa yang lebih hebat antara Abu Yazid Al-Busthomi dan Nabi Muhammad?”
            “Tentu saja, Nabi Muhammad yang lebih hebat daripada Abu Yazid Al-Busthomi!” jawab Rumi tegas dengan pembawaan layaknya seorang hakim memutuskan suatu perkara.
            “Nabi Muhammad pernah bersabda ‘Ya Allah, aku belum mampu mengenali-Mu dengan pengetahuan sebagaimana Engkau mengenali diri-Mu’ sedangkan Abu Yazid Al-Busthomi pernah mengatakan ‘Betapa Agung muara-Ku, kemuliaan datang kepada-Ku ketika Aku diangkat, Akulah yang derajatnya ditinggikan’. Bagaimana menurutmu?
            “Tentu saja, itu karena Abu Yazid sudah terpuaskan dalam setetes pengetahuan karena wadah yang ia miliki kecil. Sedangkan Nabi Muhammad memiliki wadah yang besar sehingga setiap mendapat tetesan dari Allah beliau selalu merasa kehausan dan kekurangan” jawaban Rumi ini membuka selubung-selubung antara keduanya. Baru kali itu Tabrizi mendapatkan jawaban yang memuasakan setelah sekian lama ia mengembara dan menanyakan hal tersebut kepada para ulama namun tidak ada satupun yang memberikan jawaban yang memuaskan. Rumi sendiri baru kali itu mendapat pertanyaan yang unik dari orang yang asing yang membuat Rumi sangat menyukai Tabrizi dan menjadi sahabat sejatinya.

            “Bagaimana Dan?” Ghani memecah renungan Hamdani seolah Ghani mampu mengikuti renungan Hamdani sampai selesai.
            “Kupikir, bagaimanapun, para nabi tetap diatas para wali.”
            “Lalu bagaimana kau merasionalisasi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang mengucapkan ‘qum bi idzniy’ ketika menghidupkan orang mati?”
            “Kedewasaan Gan, kedewasaan. Para wali mungkin ibarat anak kecil yang senang dengan mainannya, barangkali itulah yang membuat para wali sering memamerkan kemampuan spiritualnya. Sedangkan para nabi sudah cukup dewasa, cukup arif, dan bijaksana melampaui sifat kekanak-kanakan orang yang senang dengan mainannya.”
            “Betul Dan, aku jadi berpikir, kalau ada wali namun tidak menunjukkan kewaliannya, tidak menunjukkan kemampuan spiritualnya, berarti tinggi betul kedudukan wali tersebut ya?”
            “Iya, Ghan. Daripada sampeyan yang kayaknya lebih tahu ilmu tasawuf, aku lebih yakin Asep ini lebih wali daripada dirimu.”
            Asep sendiri masih memandang kosong kedua sahabatnya tadi. Ia masih meraba-raba apa makna qum bi idznillah dan qum bi idzni, lalu kisah pertemuan Jalaludin Rumi dan Syamsudin Tabrizi. Hamdani dan Ghani tertawa melihat seorang wali di depan mereka.