Cari Blog Ini

Rabu, 05 Oktober 2011

Itsaar?


Itsar

Dalam film Ketika Cinta Bertasbih 1, ada adegan Azzam berbicara dengan Fadhil

Aku sudah dengar, semua persoalanmu dari Cut Mala. Katanya, kau sudah mengikhlaskan Tiara untuk sahabat lamamu. Sekarang menyesal

Aku kesal pada diri aku sendiri bang, kenapa belum bisa ikhlas

Kamu pikir setelah ikhlas mendahulukan Zulkifli untuk menikahi Tiara, kamu akan mendapat pahala? Tidak Fadhil! Al-iitsaaru bi al-qurbi makruuhun, wa fii ghoiriha mahbuubun. Itu kaidahnya. Itsar, mengutamakan orang lain dalam mendekatkan diri pada Allah atau dalam ibadah, itu hukumnya makruh. Kalau mengutamakan orang lain untuk selain ibadah, itu justru sangat dianjurkan

Lhoh Bang, saya mempersilahkan Zulkifli…”

Kamu pikir menikah itu bukan ibadah? Itu sunnah Rasul, Ibadah Fadhil. Seharusnya kau mendahulukan dirimu, bukan orang lain

Al-iitsaaru bi al-qurbi makruuhun, wa fii ghoiriha mahbuubun

            Tentang kaedah ini, banyak orang sudah sering mendengar dan memahaminya. Namun kebanyakan masih mengartikannya secara tekstual. Memang, secara tekstual kaidah tersebut mudah dimaknai. Mendahuluhkan orang lain pada mendekatkan diri pada Allah (keta’atan/ibadah) adalah dibenci (makruh), dan pada selainnya disukai. Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya ada beberapa batasan dalam kaidah ini. Berikut apa yang saya ambil dari kitab “Faraaid al-Bahiyyah Risalah Qowaaid Fiqh” buah karya Syaikh Abu Bakar bin Muhammad bin Sulaiman bin Abil Qasim bin Umar Al-Ahdal (984 H-1035 H), yang mengambil pedoman dari kitab tulisan Imam Jalaludin Abdur Rahman As Suyuthi yang berjudul “Al Asybah wa an-Nadha-ir”. Silahkan simak baik-baik, karena tulisan ini tidak ada di artikel copas-an di situs-situs konvensional monoton yang tersebar di internet.
A.       Pendapat ulama tentang itsar:
1.         Pendapat pertama persis seperti bunyi kaidah ini, yakni, makruh mengalah dalam masalah ibadah. Sebaliknya kalau mengalah tidak dalam soal ta’at, sunnah.
       Contoh: Seseorang akan berjama’ah shalat dan telah berada di shaf awal. Tiba-tiba datang orang lain yang juga akan mengikuti jama’ah. Makruh hukumnya kalau orang yang lebih dulu datang mempersilahkan orang yang datang belakangan, untuk menempati tempatnya di shaf awal, sedangkan ia sendiri mengalah, mundur ke shaf di belakangnya.
2.         Ada yang berpendapat: Itsar dalam perkara ta’at itu bukan hanya makruh, melainkan haram.
3.         Imam Jalaluddin As-Suyuthi memberikan perincian sebagai berikut:
a.       Jika Itsar itu berakibat meninggalkan perkara wajib, maka Itsar itu haram.
b.      Jika Itsar itu berakibat meninggalkan sunnah atau melakukan makruh, maka Itsar makruh.
Dari ketiga pendapat ini, qoul yang terakhir (pendapat Imam As-Suyuthi) lebih mu’tamad.

B.     Permasalahan
            Apabila kita melihat tekstual kaidah ini, bahwa menguntungkan orang lain dan merugikan diri sendiri dalam masalah ibadah, adalah dibenci (makruh), kadang-kadang kita menjadi bermasalah terhadap Sunnah Musa’adah (kesunnahan untuk membantu orang lain karena hormat padanya, membantunya, atau sungkan). Begini contohnya, A sedang shalat berjama’ah dan berada di shaf awal, lalu datang B yang terpaksa harus sendirian dibarisan kedua. Karena hukum berdiri sendirian dalam satu shaf saat shalat itu makruh, maka B menarik A untuk menemaninya di shaf kedua (agar di shaf tersebut terdapat lebih dari satu orang). Kalau A mau menurutinya, apakah yang demikian ini tidak termasuk itsar dalam keta’atan?
Permasalahan ini dijawab oleh Ulama seperti ini: A mundur dari shaf awal ke barisan kedua, memang rugi, tetapi kerugian itu tertebus oleh keuntungan yang berupa menolong teman, yakni menyelamatkan dari perbuatan makruh (berdiri sendirian dalam satu shof shalat)

Dari uraian di atas cukup jelas bahwa tidak semua itsar dalam ibadah itu tidak boleh. Ingat kaidahnya, ingat batasan-batasannya, dan kompromikan juga dengan kaidah yang lain seperti dar-u al-mafaasid muqoddamu ‘alaa jalbi al-mashoolih, menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar