Cari Blog Ini

Sabtu, 31 Desember 2016

Pretiduration


Tidur adalah hak segala bangsa. Tanpa tidur, apalagi yang akan kita lakukan di atas kasur? Sebagaimana tidur adalah seni, keindahan ritual tidur dapat direfleksikan dari bagaimana kita memandang tidur dan menyambutnya. Tulisan berikut sedikit atau banyak mungkin akan membantu, bagaimana kita mendapatkan tidur yang berkualitas sehingga tidak hanya bobok cantik, tapi juga bobok yang islamik.

Secara umum, manusia memandang tidur dengan dua sudut pandang. Pertama, memandang tidur sebagai waktu istirahat untuk memperbaiki metabolisme tubuh. Kedua, memandang tidur sebagai buang-buang waktu, bahkan mengatakan bahwa tidur adalah saudara kematian. Entahlah, kalau mereka bersaudara lalu siapa orang tuanya.

Dalam dunia santri, ada dua pandangan juga tentang tidur. Pertama memandang tidur sebagai sunnah nabi, dimana nabi sendiri mencontohkan dan menganjurkan untuk tidur di waktu-waktu tertentu seperti setelah sholat isya lalu bangun di sepertiga malam yang terakhir, tidur sebentar sebelum zhuhur, dan melarang tidur selepas subuh dan selepas asar. Para santri di golongan pertama, mereka biasanya tidur lebih awal dan sangat mudah tidur bahkan ketika sedang mengaji di kelas. Bisa dibilang, mereka juga jarang sholat malam. Bagi mereka, ada sebuah riwayat yang mereka pegang teguh:

نوم العالم افضل من عبادة الجاهل

Tidurnya orang alim lebih utama daripada ibadahnya orang jahil

Kedua memandang bahwa begadang itu lebih baik daripada tidur. Kisah-kisah ulama yang sering begadang untuk menuntut ilmu, berzikir, menulis kitab, membaca al-Quran, dan sebagainya menjadi justifikasi tersendiri. Selain itu, ada sebuah peribahasa terkenal di dunia santri (mahfuzhat):

من طلب العلى سهر الليالي

Barangsiapa ingin mendapatkan keutamaan, maka begadanglah

Maka jangan heran jika banyak santri yang suka ngopi karena bisa dipastikan dia ada di golongan kedua. Tentu saja, mereka begadang ditemani kopi sambil mengobrol bercanda. Maka tidak jarang kalau ada orang yang mudah marah atau tersinggung, akan dibilang “kopimu kurang kenthel

Para santri juga mempelajari adab sebelum tidur. Di antara adab-adab sebelum tidur yaitu:

1.      Perhatikan dengan siapa anda tidur. Pastikan anda tidak tidur di samping orang yang bukan mahram (orang yang haram dinikahi) anda. Bukan berarti juga tidur dengan pasangan halal anda akan membuat tidur anda nyenyak. Karena dikisahkan bahwa Abu Nawas selalu tidak betah ketika tidur dengan istrinya karena istrinya sangat bau apalagi ketika tidur. Hingga suatu hari Abu Nawas pulang membawa seekor monyet ke rumah. Istrinya bertanya pada Abu Nawas,

“Monyet ini akan tinggal di mana?”

“Di rumah kita”

“Tidurnya di mana?”

“Di kasur kita”

“Bagaimana dengan baunya?”

“Kalau aku saja kuat, monyet ini pasti juga kuat”

2.      Tidur dalam keadaan suci. Nabi menganjurkan untuk berwudhu sebelum tidur, karena malaikat akan mendoakan supaya Tuhan mengampuni kita selama kita masih tidur jika kita sudah berwudhu. Ini penting, jika suatu hari anda bermimpi bertemu bidadari lalu anda terkejut sehingga kaget setengah mati, mana mungkin orang seperti anda pantas mendapat bidadari, dan anda juga tidak merasa telah melakukan bom bunuh diri. Parahnya bidadarinya ada dua, anda pun kaget setengah mati sebanyak dua kali. Maka anda akan meninggal dalam keadaan diampuni dosa-dosanya jika sudah berwudhu.

3.      Menghadap kiblat. Ditinjau dari segi geografis, di Indonesia kita menghadap barat yang agak condong ke utara. Berarti, posisi tidur kita adalah dengan kepala di sebelah utara, dan kaki menjulur ke selatan. Secara lebih spesifik, nabi mencontohkan dengan miring ke kanan dan berbantal tangan kanan. Selain itu, nabi melarang tidur secara tengkurap karena selain tidak disukai Tuhan, tidak baik pula untuk kesehatan. Tidur telentang juga tidak baik untuk kesehatan, karena tang bukanlah sesuatu yang wajar ditelen.

4.      Membaca doa sebelum tidur. Selain doa sebelum tidur, nabi menganjurkan untuk membaca Al-Qur’an. Mengenai surat apa yang sebaiknya dibaca, ada banyak keterangan. Misalnya, membaca Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas (HR. Bukhari & Muslim). Atau membaca Ayat Kursi (HR. Bukhari). Bisa juga membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah (HR. Bukhari & Muslim). Surat Al-Kafirun juga boleh (HR. Abu Dawud). Kalau mau yang agak panjang, bisa baca Surat Al-Mulk dan As-Sajdah (HR. Bukhari). Bahkan Nabi pernah menyuruh supaya jangan tidur sebelum mengkhatamkan Al-Qur’an (30 juz), maksudnya adalah membaca Al-Ikhlas tiga kali, karena satu Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur’an (Durrotun Nashihin). Intinya, sempatkan membaca Al-Qur’an, meskipun dari hafalan surat-surat pendek. Namun jika anda ingin membaca surat yang panjang, itu lebih bagus, barangkali anda adalah seorang penghafal Al-Qur’an.

Namun hati-hatilah ketika memilih surat yang akan dibaca. Karena dalam kitab At-Tibyan dikisahkan bahwa ada seorang ulama bernama Abu Usaid yang mempunyai kebiasaan membaca Surat Al-Baqarah sebelum tidur. Suatu hari ia ketiduran sebelum sempat membaca Surat Al-Baqarah lalu di dalam tidurnya ia bermimpi diseruduk sapi betina (baqarah = sapi betina). Paginya ia terbangun dan sedih bercampur menyesal karena lupa membaca Surat Al-Baqarah sebelum tidur. Padahal seandainya dia sebelum tidur biasa membaca Surat An-Nisaa (nisaa = perempuan ), maka dia akan gembira kalau terlupa membacanya. Karena bukan sapi betina yang akan menyeruduknya.

5.      Tips terakhir dan yang terpenting sebelum tidur adalah memaafkan semua orang, begitu anjuran nabi. Jangan sampai anda tidur membawa marah, dendam, dan segala perasaan negatif lainnya. Maafkanlah diri anda, orang lain, dan terutama maafkanlah saya jika tulisan ini tidak berkenan untuk anda. Terima kasih.

Rabu, 02 November 2016

Saya Berburu Sanad


Di dunia pesantren, banyak sekali santri yang senang berburu ijazah wirid atau amalan kepada para kyai. Saya pun pernah demikian. Namun belakangan, saya lebih suka mencari sanad untuk menyambungkan rantai saya sampai Kanjeng Nabi. Baik itu sanad keilmuan, sanad kitab, hadits, dzikir, dan sebagainya. Misalnya, pada fan ilmu fiqih saya mencoba menarik-narik rantai saya sampai Kanjeng Nabi, alhamdulillah masih bertemu. Hal itu saya sampaikan ketika mengaji qowaid fiqh.



Pengajian kitab qowaidul fiqhiyah dengan menggunakan kitab susunan Al-Maghfurlah KH Humam Bajuri (pendiri Pondok Pesantren Al-Imdad) sepertinya sedang hits di sekitar Krapyak. Setelah Pak Hilmy membuka pengajian dengan kitab tersebut, di tempat pengajian lain juga mengikuti.  Kemarin dari Pondok Bangunjiwo ada yang mencari kitab tersebut di kantor Diniyah Krapyak. Saya pun diminta untuk membacakan kitab tersebut untuk santri kelas 3 madrasah diniyah di komplek NSPI.



Biasanya, pembacaan sanad di baca pada akhir pelajaran. Namun saya menyampaikan di awal agar menjadi motivasi para santri. Awalnya dulu saya mengaji qowaid fiqh dengan Pak Fakhruddin Yusuf.

Pak Fakhruddin Yusuf dulu mondok di Tremas Pacitan, lalu pindah ke Krapyak sembari menyelesaikan  S1 di UIN Sunan Kalijaga dan S2 di UGM.

Di Krapyak, beliau juga berguru kepada Al-Maghfurlah KH Zainal Abidin Munawwir. Mbah Zainal punya guru utama tidak lain adalah Al-Maghfurlah KH Ali Maksum.

Mbah Ali Maksum dulu juga mondok di Tremas Pacitan, beliau juga berguru pada ayah beliau sendiri, Al-Maghfurlah KH Maksum Ahmad Lasem.

Mbah Maksum Lasem berguru kepada ulama besar asal Indonesia di tanah haram, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi.

Syaikh Mahfudz At-Tarmisi punya guru banyak, namun utamanya dalam bidang fiqh adalah Sayyid Abu Bakr Syatho, penyusun kitab I’anatu Thalibin hasyiah Fathul Mu’in.

Sayyid Abu Bakr Syatho sendiri belajar kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, penyusun kitab Syarah Jurumiyah.

Lalu Sayyid Ahmad Zaini Dahlan belajar kepada Syaikh ‘Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi.

Syaikh ‘Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi belajar kepada Syaikh Abdullah bin Hijazy As-Syarqawi.

Syaikh Abdullah bin Hijazy As-Syarqawi belajar kepada Syaikh Muhammad bin Salim Al-Hifni.

Syaikh Muhammad bin Salim Al-Hifni belajar kepada  Syaikh Ahmad al-Khalifi

Syaikh Ahmad Al-Khalifi belajar kepada Syaikh Ahmad Al-Basyisyi

Syaikh Ahmad Al-Basyisyi belajar kepada Syaikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi dan Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi

Syaikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi belajar kepada Syaikh Ali Az-Ziyadi sedangkan Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi belajar kepada Syaikh Muhammad Al-Qushri

Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi dan Syaikh Muhammad Al-Qushri belajar kepada Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli, Syaikh Syamsuddin Ar-Ramli, Syaikh Khatib Asy-Syarbini, dan Syaikh Ahmad bin Hajar (Ibnu Hajar) Al-Haitsami.

Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli, Syaikh Syamsuddin Ar-Ramli, Syaikh Khatib Asy-Syarbini, dan Syaikh Ahmad bin Hajar (Ibnu Hajar) Al-Haitsami belajar kepada Syaikh Zakariya Al-Anshori

Syaikh Zakariya Al-Anshori belajar kepada Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani belajar kepada Imam Sirajuddin Umar Ibnu Al-Mulaqin

Imam Ibnu Al Mulaqin belajar kepada Imam Al-Jamal Abdurrahim bin Al-Hasan Al-Isnawi

Imam Al-Jamal Al-Isnawi belajar kepada Imam Taqiyudin ‘Ali bin Abdul Kafi As-Subky

Imam Taqiyudin As-Subky belajar kepada Imam Ahmad bin Muhammad Ibnu Ar-Rif’ah Al-Mishri

Imam Ibnu Ar-Rif’ah belajar kepada Imam Muhammad bin ‘Ali bin Daqiq Al-‘Ied

Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied belajar kepada Sulthonul Ulama Al-Imam ‘Izzudin bin Abdul Aziz bin Abdissalam

Imam ‘Izzudin bin Abdissalam belajar kepada Al-Hafizh Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Asakir

Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir belajar kepada Imam Ibnu Mas’ud bin Muhammad An-Naisaburi

Imam Ibnu Muhammad An-Naisaburi belajar kepada Imam ‘Umar bin Isma’il Ad-Damighani

Imam Ad-Damighani belajar kepada Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali

Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali belajar kepada Al-Imam Al-Haramain Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini

Al-Imam Al-Haramain Abdul Malik Al-Juwaini bin Abdullah belajar kepada Al-Imam Abdullah Juwaini

Imam Abdullah Juwaini belajar kepada Imam Abdullah bin Ahmad Al-Qaffal Ash-Shaghir

Imam Al-Qaffal Ash-Shaghir belajar kepada Imam Abi Yazid Al-Marwazi

Imam Abi Yazid Al-Marwazi belajar kepada Imam Abi Ishaq Al-Marwazi

Imam Abi Ishaq Al-Marwazi kepada Imam Ahmad bin Suraij Al-Baghdadi

Imam Ahmad bin Suraij Al-Baghdadi belajar kepada Imam ‘Utsman bin Sa’id bin Basyar Al-Anmathi

Imam Al-Anmathi belajar kepada Imam Isma’il bin Yahya Al- Muzani

Imam Muzani belajar kepada Imam Muhammad bin Idriss Asy-Syafi’i

Imam Syafi’I belajar kepada Imam Malik

Imam Malik belajar kepada Imam Nafi’

Imam Nafi’ belajar kepada Sayyidina Ibnu Umar

Sayyidina Ibnu Umar belajar kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam

Lahumul-fatihah



Saya berburu sanad dengan penuh semangat. Setiap ada ulama yang saya pandang pantas saya minta sanadnya, saya akan mendatanginya, meskipun dengan segala keterbatasan saya. Beberapa tahun lalu saya ke Kulon Progo untuk menerima ijazah ‘amah dari Syaikh Ali Ash-Shobuni. Ya, Syaikhh Shobuni yang terkenal sebagai mufassir, yang menulis kitab Rowai’ul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam dan Shofwatut Tafasir. Beruntung sekali saya rasanya. Sekitar sebulan yang lalu saya ke Purworejo yang katanya ada ijazahan dari Syaikh Hisyam Kamil Al-Azhari dari Mesir. Malangnya, karena hujan deras disertai buta arah Purworejo, saya melewatkan ijazah Arba’in Nawawi. Tapi saya cukup beruntung karena masih kebagian mendapatkan ijazah ‘Aqidatul ‘Awwam dan Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib.



Beberapa bulan yang lalu, UGM kedatangan Syaikh Taufiq Al-Buthi, putra dari Asy-Syahid Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi. Selesai acara seminar, saya menunggu Syaikh Taufiq di ruang tunggu. Dan ketika bertemu, saya langsung meminta ijazah kitab-kitab ayahandanya. Beruntung sekali saya karena beliau bersedia memberikannya dan bonus hizib nawawi juga. Dua bulan lalu di Masjid Agung Bantul juga bertemu Syaikh Fadhil Al-Jailani, keturunan dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani qs. Kepada beliau, saya meminta ijazah kitab-kitab datuknya, beruntung sekali saya beliau bersedia memberikannya dan juga mendoakan saya. Saya awalnya ragu, apakah mungkin meminta ijazah dari ahli waris? Karena beliau-beliau berkenan memberikannya maka saya yakin hal itu diperbolehkan.



Saya juga punya beberapa teman di pondok yang menjadi pemburu sanad. Namun mereka pelit-pelit jika saya minta sanadnya. Ada yang pernah mendapat sanad dari Mbah Maimun Zubair, ada yang dari Sayyid Said Agil Al-Munawwar, dan sebagainya. Namun ada juga yang baik, kita berbagi sanad seperti para ulama dulu saling mendengar sanad. Kita juga saling memberikan informasi jika ada ulama-ulama yang bisa didatangi untuk dimintai sanad.



Memiliki sanad tidak berarti justifikasi bahwa ilmu kita sama persis dengan para ulama periwayat. Saya punya sanad kitab Shofwatu Tafasir, bukan berarti jika saya mengajar kitab tersebut akan sama dengan penjelasan Syaikh Ash-Shobuni. Namun kata Imam Nawawi, sanad adalah tradisi Islam yang harus dijaga. Dengannya, kita tahu kepada siapa kita belajar.



Karena guru dari guru kita adalah guru kita juga.

pic: Berburu ke Lasem

Sabtu, 04 Juni 2016

Sufi yang Suka Berkelahi

Rasanya aneh, jika seorang sufi terkenal sebagai orang yang suka berkelahi, memukuli orang lain, dan semacamnya. Atribusi negatif seperti itu sangat tidak pantas dilekatkan kepada seorang sufi, seorang yang mendekatkan diri pada Allah, seorang yang menjauhi dunia. Tidak heran kita sering mendengar atau membaca sufi-sufi atau wali-wali yang berdakwah dengan lemah-lembut, santun, dan tidak melukai orang lain. Alih-alih mengalahkan orang lain, mereka berjuang untuk menaklukan diri sendiri, sebagaimana petuah Kanjeng Nabi:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Orang yang kuat bukanlah orang yang tidak bisa dikalahkan, tapi orang yang bisa menguasai dirinya ketika marah

Muhammad Ali (Allahu yarham), adalah seorang Muslim, Asy’ari, Sufi. Ia memiliki banyak guru sufi di berbagai penjuru dunia seperti Syaikh Ahmad Kuftaro, Syaikh Hisyam Kabbani dan lain-lainnya. Bahkan, ia pernah berbaiat kepada Syaikh Nazim Haqqani qs (Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah / Nazimiyah). Bila kita membaca banyak meme atau quote dari beliau yang marak setelah kewafatannya, kita banyak mendapati hikmah yang elegan dari seorang petinju, juara dunia, tapi sufi. Mana mungkin sufi itu petinju? Yang sukanya memukuli orang lain? Meski tak bersalah sekali pun? Apakah ini anomali?

Nabi Khidir.
Sufi mana yang tidak kenal Nabi Khidir?
Kisah Nabi Musa berguru pada Nabi Khidir adalah cerminan dari pertemuan antara dunia syariat dan hakikat. Nabi Khidir, gurunya para sufi. Konon, semua wali mendapat stempel dari Nabi Khidir. Maka kita tentu ingat bagaimana Nabi Khidir, di hadapan Nabi Musa, tanpa belas kasihan memukul seorang anak tak bersalah, karena ia mengetahui apa yang akan terjadi kelak di masa depan. Nabi Khidir, bukan sekedar sufi, bukan sekedar wali, tega memukul seorang anak kecil tak bersalah hingga mati.

Pada kisah-kisah sufi lainnya dari penjuru dunia, kita tidak memungkiri banyak sufi yang juga ahli perang dan bela diri. Misal, salah seorang wali yang dikenal dengan nama Sayyid Amir Kulal, dari daerah Bucharest. Beliau masyhur sebagai keturunan Kanjeng Nabi yang menguasai ilmu syariat dan hakikat, namun hobi bergulat. Tidak tanggung-tanggung, berbagai aliran martial arts dia kuasai dengan baik. Maqamnya dalam ilmu syariat, hakikat, dan gulat sudah teramat tinggi. Hal ini yang membuat salah seorang pemuda heran, mana mungkin seorang wali tapi suka berkelahi? Hingga akhirnya pemuda itu tertidur dan bermimpi sedang menghadapi kiamat dan berada dalam suatu kesulitan yang pelik. Datanglah Sayyid Amir Kulal memberikan pertolongan (syafaat) dalam mimpinya itu. Ketika pemuda itu terbangun, ia menmdapati Sayyid Amir Kulal sudah berada di sampingnya dan ia pun bertambah yakin pada Sayyid Amir Kulal.

Sebuah kisah lain dari bumi Persia, bercerita tentang Mahmud. Ia adalah seorang wali, namun jawara dalam bergulat. Ia dijuluki Pahlawan Mahmud (Pahlevi Mahmud), superhero dari daerah Khawarizm. Alkisah, Raja India menghelat lomba gulat, India-Open Championship, Ten Ka Ichi Budokkai. Ia mengundang Raja Khawarizm untuk berpartisipasi dalam event tersebut. Raja Khawarizm menyetujui, dan mengutus superheronya, Mahmud. Bukan main senangnya Raja India, ia juga mengirim utusan terbaiknya untuk melawan Mahmud. Sebelum hari pertandingan, Mahmud menginap di sebuah rumah seorang sufi untuk mencari ketenangan spiritual. Mengetahui bahwa tamu yang menginap adalah sufi, bahkan wali yang hendak bertanding esok hari, sang sufi pemilik rumah berdoa, yang doanya didengar oleh Mahmud.

“Tuhan, anakku bekerja untuk Raja India, dan esok hari ia akan menghadapi utusan dari Khawarizm, bahkan ia adalah wali. Jika ia memang benar wali, dia pasti mudah mengalahkan anakku, padahal anakku adalah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini”

Esoknya Mahmud datang ke arena pertandingan, dalam beberapa pukulan Mahmud terjatuh dan kalah. Mahmud lantas menulis syair rubaiyat:
Raja dari ego, dialah orang kuat sebenarnya # Orang yang kuat dengan budak tidaklah sama
Tidak gagah menghajar orang yang lemah # Menyayangi orang malang, itulah orang yang menang


Dari cerita-cerita itu, kita bisa melihat seorang wali sekaligus seorang yang pandai berkelahi. Ini menghapus gambaran kita tentang sufi yang puasa terus menerus hingga badan kurus kering dan lemah, dengan alasan zuhud atau entah apa pun itu. Seorang sufi yang mendalam ilmu syariatnya, tinggi menjulang ilmu hakikatnya, gagah perkasa fisiknya, namun lemah-lembut  dan welas-asih hatinya. Hal ini mengingatkan kita pada sosok Al-Imam Junayd al-Baghdadi qs.
              
Sebagaimana tercatat dalam kitab Tajalliyat al-Jadzb karangan Maulana Hakim Muhammad Akhtar, Imam Junayd pada masa mudanya juga seorang pegulat. Ia jawara tak terkalahkan, invincible. Ia mendapatkan penghidupan dengan profesinya sebagai pegulat. Kehebatan itu membuat Raja berinisiatif untuk mengadakan sayembara, barangsiapa bisa mengalahkan Junayd, akan diberi hadiah besar. Terdengarlah berita itu pada seorang pria kurus yang hendak menantang Junayd.

Sampai di ring pertandingan, pria kurus itu membisiki Junayd:
“Aku adalah keturunan Kanjeng Nabi. Anakku banyak, dan mereka kelaparan. Bagaimana jika sampeyan mengorbankan nama, posisi dan kehormatan sampeyan demi kami? Sampeyan bisa memenuhi kebutuhan kami setahun penuh dengan hadiah itu. Sampeyan juga akan dicintai Kanjeng Nabi dunia akhirat.”

Junayd tanpa pikir panjang, melawan pria kurus itu dengan tanpa kekuatan, hingga akhirnya menjatuhkan diri dan kalah. Hari itu untuk pertama kalinya, di hadapan raja dan penonton se-negara, ia mengalah oleh seorang pria kurus. Malam harinya, Junayd bermimpi, bermimpi bertemu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi berpesan pada Junayd:

“Wahai Junayd, sampeyan sudah mengorbankan kehormatan dan ketenaran. Nama dan posisi yang disanjung di seluruh penjuru Baghdad, ditukar demi ekspresi cintamu untuk anak-anakku yang sedang kelaparan. Mulai detik ini dan seterusnya, namamu tercatat dalam daftar Auliya (wali Allah).”

Congratulation!


Jumat, 15 April 2016

Pesantren, Harvard, dan Alasan Mengapa Kita Tidak Butuh LPDP


Saya Tidak Butuh LPDP



Siapa mahasiswa Indonesia yang tidak kenal LPDP, sebuah beasiswa lezat dari pemerintah yang diperebutkan mahasiswa se-Indonesia. Saya juga pernah memperebutkannya, dua kali, gagal semua. Sesuai peraturan, jika gagal dua kali maka tak bisa mendaftar lagi. Secara jujur, saya pun iri dengan teman-teman, kakak kelas, atau adik kelas yang mengunggah foto-foto keberhasilan mereka menembus LPDP, ketika mengikuti PK, dan semacamnya. Tidak sedikit (bahkan hampir semuanya) teman-teman facebook yang mengunggah hal tersebut segera saya unfollow akun facebooknya. Karena itu membuat saya hasud, lalu teringat dan berpikir, apa alasan saya tidak lolos seleksi tersebut? Dalam hal ini tidak ada transparansi yang jelas dari panitia. Meskipun saya mengakui, jika kriterianya adalah mahasiswa yang aktif organisasi, berpengalaman riset, memenangkan kejuaraan, saya kalah telak. Tapi itu bukan tanpa alasan.



Belakangan ada berita keren, kolega saya di pesantren Krapyak, berhasil menembus Harvard dan mendapatkan beasiswa bebas uang kuliah, dan sejumlah saku untuk living cost dari Harvard. Namun karena dirasa belum cukup untuk tinggal di sana, kolega saya ingin mencari sponsor lain, setelah dia sendiri juga ditolak oleh LPDP. Sebagai sesama santri, berat memang untuk bisa menjadi seideal mahasiswa berprestasi lainnya. Kami tidak sebebas dan seluang mahasiswa yang tinggal di rumah atau di kos. Kami tidak bisa seenaknya pergi dari pondok, setiap pagi dan malam kami harus mengaji, menyiapkan setoran hafalan, belum lagi yang menjadi pengurus pondok. Dengan itu semua, berat bagi kami untuk aktif di organisasi, riset-riset produktif, berlatih untuk menjuarai lomba demi lomba, dan sebagainya. Saya masih ingat dulu ketika S1, hampir tiap hari saya memiliki agenda rutin. Paginya saya mengaji, lalu berangkat kuliah, siangnya mengajar les privat, sorenya mengajar diniyah sambil menyiapkan setoran  hafalan, bakda maghrib setoran Al-Qur’an, bakda Isya mengaji diniyah dan selesai sekitar pukul setengah sepuluh malam. Entah, aktivitas saya tersebut apakah masuk pada pengalaman organisasi, riset, atau kejuaraan? Apakah memberi kesan positif pada interviewer LPDP? Entahlah.



Saya tidak buta organisasi. Selama S1, saya sempat menjadi koordinator bidang Syiar di LDK Fakultas, bahkan hampir menjadi ketua LDK Fakultas. Namun ketika musyawarah pemilihan, saya tidak hadir. Saya juga menjadi panitia ospek 2 tahun, pernah menjadi ketua panitia talkshow tingkat nasional, direktur tim trainer dan outbond, dan sejumlah kepanitiaan. Tapi jangan menyamakan saya dengan aktivis BEM yang kritis, kuliah lama, kaki tangan partai, dan semacamnya. Naif. Saya buta riset, dalam artian riset-riset yang dipublikasikan, memenangkan karya ilmiah, dan semacamnya. Riset mandiri yang saya lakukan murni hanya skripsi. Namun beberapa kali saya juga membantu riset teman-teman yang lolos karya ilmiah. Meskipun nama saya tidak dimasukkan sama sekali, hei, dan saya juga memang tidak memintanya sih. Saya juga tidak pernah memenangkan lomba secara mandiri. Lomba kolektif yang pernah saya menangkan adalah bersama teman-teman Peleton Inti di SMA dari tingkat kota hingga provinsi. Pernah pula saya mengikuti seleksi lomba MTQ mahasiswa bidang tahfidz, dua kali tak pernah lolos. Dan saya bersyukur tidak lolos, karena pondok saya kurang setuju santri-santrinya mengikuti lomba-lomba sedemikian.



Saya juga tidak heran dengan orang-orang yang dengan mudahnya mengisi pengalaman organisasi, riset, atau kejuaraan seenaknya sendiri. Saya tidak mengatakan mereka berbohong. Namun saya paham jika panitia LPDP terpesona pada riset-riset terbaru, jabatan-jabatan organisasi yang prestisius, dan semacamnya. Pernah saya lihat ada orang menuliskan posisinya sebagai ketua organisasi xxx nasional. Ternyata itu hanya organisasi buatannya sendiri, namun kosong kepengurusan dan programnya. Dan berbagai derivasi dari model tersebut sebagai pembesar identitas mereka. Apalah artinya saya yang hanya mengurus madrasah diniyah warisan pendahulu, menghidup-hidupinya, membesarkan hati anak-anak untuk mengaji, menguatkan konsolidasi antar ustadz, dan sebagainya. Jelas berbeda dengan para jawara, aktivis, atau periset yang layak mendapat beasiswa. Dan memang saya juga buta popularitas. Mengapa harus populer, bagaimana untuk populer, lalu mau apa jika sudah populer?



Semangat untuk belajar, untuk kuliah, jangan anggap surut meski saya tidak mendapatkan suntikan LPDP. Sejak SD, SMP, SMA, dan S1, bahkan ketika di pondok, saya selalu mendapat beasiswa. Entah full, atau sebagian. Pada akhirnya, alhamdulillah saya bisa melanjutkan S2 di UGM dengan beasiswa pula. Selain itu, di pondok saya juga diamanahi menjadi pembimbing asrama, yang artinya saya tinggal gratis di pondok bahkan mendapat bisyaroh cukup tiap bulannya, dan katering tiap pagi dan sore. Di luar sana banyak sekali beasiwa selain LPDP. Saya berani menulis judul di atas, karena saya sudah mendapat beasiswa lain, dan sudah tidak mungkin mendaftar LPDP lagi. Tapi jika LPDP memperbolehkan saya mendaftar lagi, saya tidak ragu untuk mendaftar. Saya hanya tidak mau menuhankan LPDP. Namun saya masih iri dengan salah satu kolega yang lain, seorang santri di Pesantren Krapyak. Dulu ketika kelas XII, dia memenuhi syarat untuk lolos beasiswa S1 di UNY. Namun karena kesalahan personal dari pihak sekolah yang keliru menulis angka pada nilai rapor, kolega saya gagal mendapatkan beasiswa di UNY. Ia berusaha mengurus ke sana dan kemari namun nihil. Ia bercerita bahwa sejak saat itu, ia bertekad bulat tidak akan mengharap bantuan orang lain. Ia menyewa sebuah kios lalu merintis sebuah usaha kuliner di dekat pondok, dan sekarang sudah memiliki 2-3 karyawan.





Tulisan saya ini tidak ada unsur kritikan sama sekali untuk LPDP atau pihak yang terkait, tidak pula ada unsur nasehat bagi awardee LPDP, calon awardee LPDP, atau teman-teman santri. Apalagi motivasi-inspirasi, tidak ada. Carilah motivasi-inspirasi dari awardee LPDP, merekalah mahasiswa berprestasi yang dibiayai negara, dibiayai rakyat, mintalah kompensasi dari sumbangan pajak kalian dan orang tua kalian pada mereka. Mereka bertanggung jawab untuk “mengembalikan” beasiswa negara. Saya menulis ini hanya karena teringat saya punya blog dan lama tidak menulis, itu saja. Tak usah lebay mengkritik tulisan saya atau share ke luar.


Sabtu, 10 Januari 2015

Nabi atau Wali?


            “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani”.
            “Kenapa Dan? Tiba-tiba menyebut nama beliau?”

            “Sampeyan tahu Gan? Kalau kita ikut manaqiban, saya selalu terbayang-bayang ketika dikisahkan bagaimana Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menghidupkan orang mati.” Ghani dan Hamdani asyik bercengkerama di pinggir masjid kampus. Asep yang tadi sibuk mengerjakan tugas kuliah tiba-tiba tertarik mendengar pembicaraan Ghani dan Hamdani tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Maklum, Asep adalah orang baru dalam dunia tasawuf, ia selalu tertarik dengan segala pembicaraan tentang tasawuf. Terlebih salah satu tokoh populer dalam dunia tasawuf, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Dalam acara-acara manaqib, Asep iri pada Ghani dan Hamdani yang lebih bisa memahami pembacaan manaqib karena keduanya lebih menguasai bahasa arab dibanding Asep. Kali ini, Asep tak ingin melewatkan kesempatan bisa mendapatkan sesuatu tentang apa yang sebenarnya dibacakan ketika manaqib.
            “Memangnya apa yang sebenarnya kau persoalkan Dan?” tanya Ghani.
            “Apa tidak aneh? Nabi Isa ‘alayhissalam ketika menghidupkan orang mati mengucapkan ‘qum bi idznillah’, tapi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang notabene seorang wali ketika menghidupkan orang mati beliau mengucapkan ‘qum bi idzniy’. Kok seakan-akan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani itu lebih hebat daripada nabi. Bagaimana menurutmu?”.
            “Kalau memang ternyata Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani lebih hebat dari Nabi Isa bagaimana Dan?”
            “Gak mungkin Kang, masak nabi kalah sama wali.” Asep ikut bergabung dengan percakapan seru ini. Hamdani mulai berpikir, apa mungkin seorang wali lebih hebat dari nabi.
            “Menurutmu tingkatan manusia paling tinggi itu siapa Dan?” tanya Ghani.
            “Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam” jawab Hamdani.
            “Lalu?”
            “Para rasul ‘alayhim sholatu wa salam”
            “Lalu?”
            “Para anbiya ‘alayhim sholatu wa salam”
            “Lalu?”
            “Para auliya?”

            “Dalam urut-urutan ini saja, setahuku ada banyak pendapat Dan. Ada versi yang menyebutkan seperti apa yang kau sebutkan, tapi ada juga yang menyebutkan bahwa setelah Kanjeng Nabi adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum baru kemudian para rasul. Tapi poin pentingnya, apakah derajat itu berbanding lurus dengan kehebatannya? Maksudku, apakah para anbiya selalu lebih hebat daripada para auliya? Apakah Nabi Isa lebih hebat dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?”
            “Menurutku seharusnya demikian Gan, seorang nabi harusnya lebih hebat daripada seorang wali.”
            “Tapi wali yang satu ini bukan seorang wali biasa, beliau penghulu para wali, sulthonul auliya, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, bagaimana menurutmu?”
            “Tetap saja, maqom keduanya jelas beda. Nabi menerima wahyu langsung dari Gusti Allah sedangkan para wali tidak.”
            “Betul, betul, kau sendiri ingat bagaimana kisah pertemuan pertama Jalaludin Rumi dengan  Syamsudin Tabrizi?”
            Pertanyaan Ghani kali ini membuat Hamdani terhenyak. Sebagai orang yang menekuni tasawuf, Hamdani cukup kenal betul dengan sufi satu ini, Jalaludin Rumi. Termasuk kisah pertemuan Rumi dengan Tabrizi yang mengubah jalan hidup Rumi dari ulama legal-formal yang berkutat dalam hukum-hukum positif menjadi seorang melankolis yang jauh dair hingar bingar kehidupan dunia. Atau menurut Hamdani, dari orang yang mencintai Tuhan menjadi orang yang dicintai Tuhan. Hamdani merenungi kembali kisah pertemuan Rumi dengan Tabrizi. Rumi, seorang ulama yang juga seorang hakim masyhur di kotanya suatu hari ditemui Tabrizi, seorang darwis yang terbiasa hidup terasing dalam pengembaraan. Dalam pertemuan pertama antara keduanya, Tabrizi melontarkan pertanyaan pada Rumi.

            “Hai ulama yang agung, siapa yang lebih hebat antara Abu Yazid Al-Busthomi dan Nabi Muhammad?”
            “Tentu saja, Nabi Muhammad yang lebih hebat daripada Abu Yazid Al-Busthomi!” jawab Rumi tegas dengan pembawaan layaknya seorang hakim memutuskan suatu perkara.
            “Nabi Muhammad pernah bersabda ‘Ya Allah, aku belum mampu mengenali-Mu dengan pengetahuan sebagaimana Engkau mengenali diri-Mu’ sedangkan Abu Yazid Al-Busthomi pernah mengatakan ‘Betapa Agung muara-Ku, kemuliaan datang kepada-Ku ketika Aku diangkat, Akulah yang derajatnya ditinggikan’. Bagaimana menurutmu?
            “Tentu saja, itu karena Abu Yazid sudah terpuaskan dalam setetes pengetahuan karena wadah yang ia miliki kecil. Sedangkan Nabi Muhammad memiliki wadah yang besar sehingga setiap mendapat tetesan dari Allah beliau selalu merasa kehausan dan kekurangan” jawaban Rumi ini membuka selubung-selubung antara keduanya. Baru kali itu Tabrizi mendapatkan jawaban yang memuasakan setelah sekian lama ia mengembara dan menanyakan hal tersebut kepada para ulama namun tidak ada satupun yang memberikan jawaban yang memuaskan. Rumi sendiri baru kali itu mendapat pertanyaan yang unik dari orang yang asing yang membuat Rumi sangat menyukai Tabrizi dan menjadi sahabat sejatinya.

            “Bagaimana Dan?” Ghani memecah renungan Hamdani seolah Ghani mampu mengikuti renungan Hamdani sampai selesai.
            “Kupikir, bagaimanapun, para nabi tetap diatas para wali.”
            “Lalu bagaimana kau merasionalisasi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang mengucapkan ‘qum bi idzniy’ ketika menghidupkan orang mati?”
            “Kedewasaan Gan, kedewasaan. Para wali mungkin ibarat anak kecil yang senang dengan mainannya, barangkali itulah yang membuat para wali sering memamerkan kemampuan spiritualnya. Sedangkan para nabi sudah cukup dewasa, cukup arif, dan bijaksana melampaui sifat kekanak-kanakan orang yang senang dengan mainannya.”
            “Betul Dan, aku jadi berpikir, kalau ada wali namun tidak menunjukkan kewaliannya, tidak menunjukkan kemampuan spiritualnya, berarti tinggi betul kedudukan wali tersebut ya?”
            “Iya, Ghan. Daripada sampeyan yang kayaknya lebih tahu ilmu tasawuf, aku lebih yakin Asep ini lebih wali daripada dirimu.”
            Asep sendiri masih memandang kosong kedua sahabatnya tadi. Ia masih meraba-raba apa makna qum bi idznillah dan qum bi idzni, lalu kisah pertemuan Jalaludin Rumi dan Syamsudin Tabrizi. Hamdani dan Ghani tertawa melihat seorang wali di depan mereka.



Kamis, 30 Januari 2014

Segelas Air Sufi


            Angkringan Pak Slamet masih ramai seperti biasanya, di tengah hiruk-pikuk pusat kota yang gersang dan mendahaga. Ghani, Hamdani, dan Asep siang itu bertemu di angkringan yang menyejukkan itu. Siang yang terik membuat mereka bertiga memesan minuman pelepas dahaga. Hamdani menanyakan pada Ghani dan Asep minuman yang dipesan.
            “Ghan, mau minum apa?”
            “Air putih aja Dan”
            “Kok air putih?”
            “Ya gak papa to?”
            “Asep mau minum apa?”
            “Air putih juga kang, sama kayak Kang Ghani.”
            “Lho air putih? Gak es teh atau es jeruk aja? Aku yang bayar, santai saja. Oke Ghan?”
            “Ndak usah Dan, makasih. Lagi pengen air putih.”
            “Gak kasihan sama Pak Slamet? Air putih kan biasanya tidak bayar?”
            “Gak papa mas, air putih masih ada kok. Saya bikinkan ya, njenengan sendiri mau pesan minum apa?” Pak Slamet menimpali.
            “Eee, ya sudah pak, saya ikut saja, air putih juga.”
            Hamdani melihat sekelilingnya, siang ini semua pengunjung angkringan Pak Slamet termasuk Ghani dan Asep yang membuatnya juga ikut memesan air putih juga. Tentu saja hal ini membuat Hamdani tidak enak hati dengan Pak Slamet karena selama ini Pak Slamet selalu menggratiskan air putih.
            “Pak, tumben hari ini banyak yang pesan air putih ya” celoteh Hamdani.
            “Iya mas, air putih itu kan minuman sufi, ya seperti njenengan-njenengan ini.”
            “Hah? Minuman sufi? Kok bisa gitu pak?”
            “Tanya saja sama orang-orang yang pesan air putih ini.” Jawab Pak Slamet sambil menyajikan tiga gelas air putih untuk Hamdani, Ghani, dan Asep. Hamdani melihat di sebelah kirinya ada bapak-bapak berpakaian rapi dan parlente juga meminum segelas air putih.
            “Pesan air putih juga ya pak?” tanya Hamdani.
            “Iya mas, ini minuman yang sufistik.”
            “Kok bisa gitu pak?”
            “Iya, suatu hari ada seorang raja pergi melewati padang pasir ditemani seorang sufi. Di tengah perjalanan, raja kehausan dan hampir-hampir pingsan karena dehidrasi. Sang raja pun menepi mencari tempat berteduh. Raja ingin minum namun persediaan air sudah habis. Melihat raja yang kehausan, sang sufi bertanya kepada raja.
            ‘Wahai raja, seandainya aku memiliki segelas air, maukah engkau menukarkan segelas air putih milikku dengan setengah kerajaanmu?’ tanya sang sufi.
            ‘Tentu saja, akan kuberikan padamu asal aku tidak mati kehausan disini.’ Jawab raja. Sang sufi pun memberikan segelas air putih yang diinginkan raja. Selesai menenggak habis segelas air putih, sang sufi bertanya lagi kepada raja.
            ‘’Wahai raja, seandainya sebab engkau minum segelas air putih barusan engkau terkena penyakit parah dan saya bisa memberi obat penawarnya untukmu, maukah engkau menukarkan setengah kerajaanmu untukku?’
            ‘Tentu saja, aku tidak mau mati konyol di gurun seperti ini’ jawab raja.
            ‘Ternyata harga kerajaan yang anda miliki tidak lebih dari harga segelas air putih’ jawab sang sufi. Mendengar nasehat dari sufi, sang raja pun menangis. Minuman ini sangat sufistik sekali mas. Setiap meminum segelas air putih ini yang gratis ini, saya selalu teringat bahwa dunia dan seisinya ini sesungguhnya tidak ada nilainya sama sekali.” Mendengar jawaban bapak-bapak tadi, Hamdani tersentak. Hamdani melihat sekeliling lagi, kali ini ada seorang anak SMA juga memesan air putih. Hamdani bertanya kepada anak SMA tersebut.
            “Sampeyan kenapa minum air putih dek?”
            “Iya mas, minuman ini sufistik sekali soalnya.”
            “Oh ya? Memangnya kenapa bisa seperti itu?”
            “Begini mas, suatu hari ada seorang murid yang sangat ingin bertemu Rasulullah dalam mimpi. Ia sudah melakukan tirakat dalam waktu yang lama namun tidak kunjung bertemu dengan Rasulullah. Akhirnya sang murid bertanya kepada seorang guru sufi.
            ‘Guru, sudah lama saya ingin bertemu Rasulullah dalam mimpi, tapi entah kenapa saya tidak kunjung bertemu dengannya?’ tanya sang murid.
            ‘Kau ingin bertemu Rasulullah? Datanglah ke rumahku nanti malam’ jawab guru sufi.’ Sang murid patuh dan malamnya ia menuju rumah Sang Guru Sufi.
            ‘Bagaimana guru? Kita jadi bertemu dengan Rasulullah kan?’ tanya murid.
            ‘Sebentar, kau baru datang dan pasti lelah, ini makan dulu.’ Sang murid patuh dan segera menyantap hidangan nasi dan ikan yang sudah tersedia. Ketika sudah selesai makan, sang murid hendak mengambil segelas air putih yang juga sudah tersedia.
            ‘Tunggu, aku hanya menyuruhmu makan, tidak minum. Sekarang tidurlah’ kata guru sufi. Sang murid pun menaati, ia tidur dalam keadaan sangat kehausan. Ketika bangun tidur, ia bertanya kepada guru sufi.
            ‘Guru, saya sudah menaati semua perintahmu, tapi kenapa semalam saya tidak bertemu Rasulullah di mimpi?’
            ‘Memangnya semalam kau mimpi apa?’ tanya guru sufi.
            ‘Semalam saya hanya bermimpi minum segelas air, saya sangat kehausan’ jawab sang murid.
            ‘Itu berarti rindumu kepada Rasulullah belum serindu dirimu pada segelas air. Kalau kau benar-benar rindu kepada Rasulullah seperi rindumu kepada air ketika kehausan, engkau akan bertemu dengan Rasulullah’ jawab guru sufi. Benar-benar minuman sufistik ya mas? Setiap melihat segelas air, saya selalu ingat bahwa jangan-jangan selama ini saya lebih mendambakan segelas air daripada mendambakan Rasulullah” Hamdani senyum  kosong, ia mulai menyadari ternyata air putih ini sufistik sekali. Selama ini ia pikir minuman para sufi adalah kopi karena bisa menjadi teman untuk bertirakat tidak tidur di malam hari. Hamdani menoleh ke sebelah kiri. Ada seorang tukang becak sedang meminum segelas air putih. Hamdani bertanya makna minuman air putih kepadanya.
            “Pak, seger sekali sepertinya pak. Njenengan juga pesan air putih?”
            “Oh, iya mas. Habis ini minumannya sufistik sekali.” Jawab tukang becak.
            “Sufistik bagaimana pak?” tanya Hamdani.
            “Begini mas, suatu hari ada seorang syaikh bertamu kepada seorang raja. Raja ini meskipun singgasananya mewah, istrinya cantik, hartanya banyak, kebunnya luas, hewannya banyak, namun ia adalah seorang sufi. Syaikh tadi ingin komplain kepada sang raja.
            ‘Hai raja, bagaimana mungkin engkau mengaku sebagai sufi sementara kau hidup dengan penuh kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat rumahmu, istrimu, hartamu, dan semuanya. Ternyata kau masih tergoda pada dunia.’ Mendengar hal tersebut, sang raja tersenyum dan mengajak syaikh masuk ke dalam rumah dan memberikan padanya segelas air putih.
            ‘Wahai Syaikh, silahkan anda berkeliling rumah saya, lihat dan nikmatilah semuanya seharian ini. Anda boleh menaikki hewan-hewan saya, memetik buah-buah saya, dan bermain-main sepuasnya. Tapi ada syaratnya, anda harus membawa segelas air putih ini dan jangan sampai tumpah’
            ‘Memangnya kalau tumpah bagaimana?’
            ‘Anda akan pulang tanpa kepala’ syaikh tadi bergidik. Ia berkeliling ditemani pengawal raja. Setelah seharian berkeliling, raja menemui syaikh.
            ‘Bagaimana syaikh? Sudah puas berkeliling?’ tanya raja.
            ‘Bagaimana aku akan menikmati semuanya sementara kalau air dalam gelas ini tumpah aku bisa pulang tanpa kepala’ jawab syaikh.
            ‘Seperti itulah gambarannya syaikh. Semua kesenangan dunia ini tidak mampu menumpahkan sedikit pun cintaku kepada Allah.’ Benar-benar sufistik sekali mas pokoknya air putih ini. Setiap melihat segelas air putih, saya selalu termenung membayangkan berapa kali saya menumpahkan air cinta dari gelasnya namun Allah tidak segera memenggal kepala saya.” Tukang becak tadi mengakhiri ceritanya dan membuat Hamdani menatap kosong pada air putih di depannya. Di sampingnya, Asep sudah hampir menghabiskan air putihnya. Hamdani bertanya kepada Asep, jangan-jangan Asep juga punya makna tersendiri tentang minuman air putih yang sufistik ini.
            “Asep, sampeyan pasti punya makna sufistik juga untuk air putih ini. Ayo cerita”
            “Hahaha, tahu saja kang. Ini minuman memang sufistik. Suatu hari ada seorang murid menemui guru sufi. Murid tadi sedang sedih karena ditimpa musibah yang menurutnya sangat menyedihkan. Ia ingin meminta petunjuk dari guru sufi tentang kesedihannya. Guru sufi memberikan murid tadi segelas air putih dan sesendok gula. Guru sufi menyuruh murid itu untuk mengaduk gula dalam segelas air putih dan menyuruhnya untuk meminumnya.
            ‘Bagaimana rasanya nak?’
            ‘Manis guru, apa artinya?’
            ‘Kenapa air itu rasanya manis?’
            ‘Karena ada gula yang tercampur di dalamnya guru’
            ‘Sekarang kalau kau mencampurkan gula tadi di laut, apakah laut akan menjadi manis?’
            ‘Tentu tidak guru, laut itu sangat luas dan dalam’
            ‘Begitulah hatimu nak. Jika hatimu hanya sedalam air di gelas ini, sedikit gula akan merubah rasamu. Tapi jika hatimu seluas lautan, rasamu tetap tidak akan berubah meski ditambah gula maupun garam.’ Nah, itu kang. Minuman ini sufistik sekali ya? Setiap meminum segelas air putih seperti ini, saya selalu berpikir jangankan seluas lautan, sepertinya hati saya bahkan tidak lebih luas dari gelas ini. Semoga dengan minum segelas demi segelas kesabaran maka saya menjadi lautan.” Hamdani kaget, ternyata Asep juga menyadari makna sufistik dari segelas air ini. Hamdani belum puas, pasti Ghani juga punya makna tersendiri.
            “Sampeyan gimana Ghan? Apa makna sufistik dari segelas air putih ini?” tanya Hamdani. Ghani tersenyum mendengar Hamdani. Hamdani mengernyitkan mata. Ghani berdiri, ia merapikan baju lalu berdeklamasi.
            “Kutelan setenggak demi setenggak. Darinya sumsumku tegak. Kuresapi sejuknya dalam kebeningan. Ini tidak lain dari hujan. Kulihat langit kupinta hujan. Tuhan menutupinya awan. Kusibak awan mencari Tuhan. Tuhan mengirimiku hujan. Kesadaranku oleh sebab Lafadz-Nya. Aku ingin sampai pada Sang Maha Semua. Kemabukanku atas tatapan-Nya. Membuatku aku semakin dahaga. Aku mabuk pada setiap gelas. Dalam bening yang bebas. Jika langit mulai gelap tak bersinar. Apakah bedanya mabuk dan sadar. Kutenggak lagi minuman kami. Darinya kami merdu bernyanyi. Aku heran dengan orang yang tak berdahaga. Sementara air ini nikmat penuh cinta. Kemurnian-Nya dalam kebeningannya. Kesegarannya seperti cinta dari-Nya. Aku minum cinta segelas demi segelas. Tetap saja dahagaku tak kunjung puas.” Ghani duduk kembali, ia meminum seteguk air putih lalu tersenyum kepada Hamdani. Ada getaran tersendiri ketika Hamdani mendengar kata-kata Ghani. Hamdani menyelam pada lautan hatinya mencari kedalaman makna air putih dalam gelas yang ada di depannya. Pak Slamet jangan-jangan juga mempunyai nilai sufistik ketika memandang air putih ini.
            “Kalau saya cuma ingin seperti air putih mas” tiba Pak Slamet berkata kepada Hamdani. Hamdani kaget, belum juga ia sempat bertanya, Pak Slamet sudah menjawab lebih dahulu.
            “Maksudnya bagaimana pak?”
            “Air putih adalah air yang ada di mana-mana. Ia bisa diminum orang kaya maupun miskin. Ia bisa berada di langit tertinggi maupun lautan terdalam. Ia bisa membeku maupun menguap. Tapi tetap, ia adalah air putih. Tidak punya warna, tidak punya rasa, tidak punya bau. Ia suci dan mensucikan. Ia bukan zam-zam yang terlampau mulia. Bukan pula air comberan yang hina. Air putih adalah air netral. Lambang kemurnian, kesucian, keikhlasan. Air putih adalah sufi mas.”
            Hamdani tertegun. Ia mengambil gelas di depannya dan meminum perlahan. Pikirannya berkecamuk. Di sekelilingnya ternyata penuh orang-orang sufi. Tidak hanya itu, ia baru saja meminum minuman sufi yang disebut air putih. Atau mungkin, meminum air putih yang disebut minuman sufi.