Cari Blog Ini

Senin, 16 April 2012

Ritual membaca hadits usai shalat jama'ah

Beberapa waktu yang lalu ada seorang adek kelas bertanya pada saya selepas jum’atan, bahwa di masjidnya akhir-akhir ini sering ada ritual baru, yaitu membacakan hadits selepas sholat dhuhur berjama’ah. Ia masih kebingungan dengan ritual baru tersebut bagaimana sebenarnya maksudnya. 

Saya teringat, beberapa waktu sebelumnya ada sebuah forum diskusi jama’ah masjid tersebut di facebook, di dalamnya ada seorang jama’ah yang bertanya tentang hukum bersalaman sesudah sholat berjama’ah. Saya ikut membaca jawaban-jawaban atau komentar yang ada. Jawabannya kurang lebih adalah tidak boleh. Kalau mungkin mereka sensitif untuk tidak menyebutkannya sebagai bid’ah, mereka menyebutnya sebagai sesuatu yang berpotensi menambah syari’at. Saya sebenarnya tergoda untuk ikut urun jawaban dan komentar disitu, namun haluan berpikir yang berbeda dengan sebagian besar jama’ah disana membuat riskan karena bisa berhujung pada perdebatan. Yasudahlah. Sebenarnya kasus di paragraf pertama dan kedua hampir sama, yaitu melakukan tradisi baik selepas sholat jama’ah. Tapi mengapa bersalaman tidak boleh lalu membaca hadits boleh? Apakah bersalaman itu hal yang mungkar? 

Mari kita coba membahas pertanyaan adek kelas di paragraf pertama di atas terlebih dahulu. 

Akhir-akhir ini di beberapa masjid memang sering saya menemui ritual pembacaan hadits terutama setelah sholat dhuhur. Di mushola fakultas saya merujuk kitab Muntakhab Ahadits Kandahlawi, di masjid kampus saya merujuk kitab Riyadhus-Shalihin Imam Nawawi. Dan di masjidnya adek kelas saya tadi merujuk kitab Riyadhus-Shalihin Imam Nawawi juga. Muntakhab Ahadits mungkin identik dengan suatu gerakan tertentu dalam islam (Jama’ah Tabligh). Tapi Riyadhus-Shalihin adalah kitab yang relatif diterima semua muslim. Tunggu sebentar, kitabnya memang bagus, namun jika cara menyampaikannya salah, ya sama saja. Maksudnya cara yang salah itu bagaimana? 

Pada umumnya, pembacaan hadits selepas dhuhur tersebut hanya sekitar 5 menit saja. Ada yang membaca terjemahannya saja, ada yang bunyi matannya beserta terjemahannya pula. Biasanya tiap hari membaca satu buah hadits. Mari kita coba lihat di hadits pertama kitab Riyadhus-Shalihin. Pada Bab pertama Bab al-ikhlaash wa ihdhaara an-niyat fi jami’i al-a’maal wa al-aqwal al-barizata wal khafiyah atau bab Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar. Hadits pertama membahas tentang niat yang mungkin hampir kita semua mengetahuinya, yaitu innama al-a’maalu binniyat …. ilaa akhirihi, segala perbuatan tergantung pada niat. Biasanya orang yang bertugas hanya membaca satu hadits yang cukup panjang tersebut terutama terjemahannya sambil ditambahi sedikit penjelasan atau penekanan dari petugas tersebut. Saya bertanya-tanya keheranan, membahas perkara niat dalam agama hanya 5 menit saja? 

Dalam kaidah fiqh, ada kaidah berbunyi al-umuuru bi maqaashidiha, alias segala sesuatu tergantung pada maksudnya. Kaidah ini bersumber dari hadits pertama dalam Riyadhus-Shalihin dan sekaligus hadits pertama dalam Arba’in Nawawi. Menurut ulama ahli tahqiq, hadits tersebut isinya sungguh padat sekali. Sehigga seolah-olah sepertiga atau seperempat dari seluruh masalah fiqh telah tercakup dalam hadits tersebut. Mengapa bisa begitu? Sebab perbuatan / amal manusia itu ada tiga macam, yaitu dengan hati, ucapan, dan perbuatan. Dan semua amal yang berhubungan dengan hati tercakup oleh hadits ini. Malahan menurut Imam Syafi’i ada 70 bab yang tercakup dalam hadits ini, seperti: wudhu, mandi, jama’, ma’mum, imam, sujud tilawah, shadaqah tathawwu’, puasa, nadzar, waqaf, dan sebagainya. Dari sini saja saya sudah keheranan bila membacakan hadits tersebut hanya dalam 5 menit, mau dapat ilmu seperti apa? Tidakkah ingat bahwa salah satu syarat menuntut ilmu adalah thuulu zamaani, waktu yang panjang? 

Selain itu, ketika menerangkan niat, seharusnya diikuti beberapa penjelasan seperti apa itu niat, niat itu termasuk rukun atau syarat, tempat niat, waktu niat, syarat sah niat, pembatal niat, perbedaan niat dan azzam, perbedaan makna dari kata niat dalam bahasa Indonesia dan Arab, dan sebagainya. Bukankah begitu banyak sekali ilmu-ilmu yang menyertai hadits tentang niat tersebut? Seperti itu hanya disampaikan 5 menit? Saya teringat pesan dari Imam Sufyan bin Uyanah, salah seorang guru Imam Syafi’i, bahwasanya al-Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para ulama atau fuqaha. 

Kalau kita melihat pesantren-pesantren atau ma’had di Timur Tengah yang fokus mengkaji hadits, seorang guru yang menyampaikan hadits adalah seorang musnid (orang yang memiliki sanad hingga Rasulullah SAW), beliau menyampaikan hadits kepada muridnya lengkap matan dan sanadnya/urutan hadits tersebut hingga Rasulullah. Dan di jaman sekarang ini, kalau tidak salah rantai sanadnya sudah mencapai 40 rantai. Dan di situ, semua rantai itu disebutkan dan dihafalkan. Orang yang tahu begitu mulianya hadits, tidak akan sembarangan menggunakannya. Imam Bukhari, ia begitu memuliakan hadits. Ketika Imam Bukhari menulis Kitab Shahih Bukhari (salah satu kitab tershahih di dunia setelah Al-Qur’an), tiap akan menulis sebuah hadits beliau wudhu dan sholat 2 raka’at terlebih dahulu. 

Jikalau ritual pembacaan hadits usai sholat jama’ah itu bukan termasuk (ehem) bid’ah hasanah, atau sesuatu yang berpotensi menjadi syari’at baru, maka ritual tersebut termasuk salah satu cara menzhalimi ilmu. Menempatkan ilmu tidak pada tempatnya, tidak pada porsinya. 

Jadi intinya boleh atau tidak? Disini saya tidak akan memvonis boleh atau tidak. Tapi, melihat kemiripan ritual bersalaman usai sholat jama’ah dan pembacaan hadits seusai sholat jama’ah, maka hendaknya kita bersikap adil. Jika yang satu diperbolehkan, maka satunya juga diperbolehkan. Dan sebaliknya. 

Keduanya termasuk kategori tradisi yang baik. Orang yang bersalaman pun punya dasar mereka bersalaman. Rasulullah pernah berpesan, tashaafahuu yadzhabi al-ghillu ‘an quluubikum, salin berjabat tanganlah kamu sekalian niscaya akan hilang perasaan dengki/dendam dari hatimu. Hadits itu berlaku umum, bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun termasuk sebelum atau setelah sholat. Kalaupun ada dalil khusus yang mengecualikan, mungkin itu ketika kita bersalaman / berjabat tangan dengan yang bukan mahram. 

Mari bersikap adil terhadap ilmu :D 


3 komentar: