Seperti
biasanya, setelah menunaikan sholat zhuhur di masjid kampus, Ghani langsung
menuju tempat favoritnya di selasar pojok selatan masjid bersandar di salah
satu tiang menghadap selatan. Dibukanya mushaf Al-Qur’an warna biru yang setia
menemaninya. Cuaca cerah dengan angin sepoi dari sisi selatan benar-benar mesra
sekali menyapu kerumunan manusia selepas zhuhur siang itu. Mulailah ia membaca
dan muraja’ah hafalannya. Ada yang lain pada siang yang cerah ini. Di salah
satu tempat di halaman masjid tampak semacam pertemuan suatu kelompok membahas
sesuatu hal yang sepertinya seru sekali. Ghani mulai mendaras dua-tiga lembar,
tapi perhatiannya terusik, apalagi kalau bukan karena suara berisik kelompok
tadi. Didengar-dengar, ternyata banyak suara takbir. Dilihat lagi oleh Ghani
dengan seksama. Ghani menutup mushhaf-nya, ia sangat butuh konsentrasi dan
kekhusyukan ketika ingin berkomunikasi dengan Allah. Dan siang ini, kebisingan
tadi benar-benar mengusiknya. Dari belakang, Asep yang baru saja selesai sholat
datang menghampiri Ghani.
“Lihat
apa sih Kang?”
“Sampeyan
tahu itu acara apa Sep?”
“Mana?”
“Itu
pojokan yang rame-rame, dari tadi sepertinya seru sekali sampai tidak tahu
kalau seru yang seperti itu saru
dilakukan di kawasan masjid.”
“Oh,
itu konsolidasi kang. Kan sebentar lagi pemilihan presiden BEM kampus. Sampeyan
mau pilih siapa?”
“Oh
iya to. Aku kira ada pengajian atau apa sep. Pakaianya rapi-rapi, yang putri
pakai jubah, yang putra jenggotan, duduknya dipisah pula. Yang bicara di depan
pakai peci juga.”
“Ya
begitulah kang, mereka kan aktivis dakwah.”
“Dakwah
apa politik sih Sep? kok sempat-sempatnya ngurusi hal begituan?”
“Lho,
mereka kan mulia Kang, menjalankan politik secara islami dengan niat dakwah.”
Dari
utara Hamdani datang menghampiri Asep dan Ghani.
“Assalamu’alaykum”
“Wa’alaykumussalam,
sini Dan.” Ghani dan Asep menjabat tangan Hamdani, ia segera ikut duduk di
samping mereka.
“Kayaknya
ada obrolan seru nih, ngobrol apa kang?”
“Kebetulan
Kang, sampeyan kan orang aktivis juga. Kang Ghani kayaknya masih buta politik
kampus.”
“Oh,
pasti lihat ikhwan-akhwat aktivis di pojokan itu ya?”
“Iya
Dan, kok kayaknya mereka ini keren-keren ya.”
“Jangan
percaya penampilan mereka Ghan, itu cuma kedok.”
“Maksudmu
Dan?” Ghani mulai mengalihkan perhatian kepada Hamdani.
“Mereka
gayanya berdakwah, tapi itu bohong-bohongan Ghan. Aslinya mereka ini hanya
mempermanis penampilan supaya dapat masa dari orang-orang lantaran penampilan
mereka yang sekilas terlihat suci. Tapi aslinya mereka ini juga sama saja
dengan politikus-politikus yang mencari suara dan kekuasaan.”
“Sampeyan
yakin dengan ucapan itu Dan?”
“Tapi
Kang, itu kan jawaban sampeyan yang memang berseberangan politik dengan
mereka?”
“Kalau
aku beda Sep, aku memang mengidentifikasikan diriku sebagai orang pergerakan,
tidak membawa embel-embel agama dengan simbol-simbol maupun penampilan yang
sifatnya cuma penutup luar saja. Artinya, aku tidak bohong. Tapi coba kalian
lihat orang-orang itu, orang-orang awam jadi bingung membedakan mana dakwah
mana politik. Banyak masyarakat yang tertipu kebohongan mereka, dan itu artinya
strategi mereka berhasil.”
“Jadi
menurut sampeyan, mereka itu bohong-bohongan Dan?”
“Iya
Ghan, jangan mudah percaya.”
“Kalau
begitu aku kasihan denganmu.”
“Hah?
Maksudnya apaan?” Hamdani cukup kaget dengan kata-kata Ghani yang terakhir.
“Kalau
mereka bohong, terus apa masalahnya?” Ghani bertanya pada Hamdani.
“Bohong
itu gak boleh kan? Dosa. Kupikir kita semua sepakat tentang hal itu.”
“Ya,
bohong itu gak boleh kalau untuk melayani nafsu.”
“Wah,
apa lagi ini, kayaknya seru ini.”
“Bisa
dijelaskan Ghan?”
“Justru
kita ini harus melatih diri untuk berbohong. Tapi ingat, bukan bohong lantaran
nafsu.”
“Bohongku,
bohongmu, bohong kita, haruslah bohong yang membawa kita kepada cinta Allah.
Karena Allah sangat mudah dibohongi. Contoh mudahnya, ada hadits tentang
membaca Al-Qur’an. Utluu Al-Qur’aana
wa-bkuu, fa in lam tabkuu fatabaakuu. Bacalah Al-Qur’an dan menangislah.
Jika sampeyan tidak bisa menangis, maka pura-puralah menangis. Itu kan artinya
kita ini pura-pura sama Allah, kita membohongi Allah. Aslinya tidak nangis kok
dinangis-nangiskan. Tapi kok ya Allah mau-maunya dibohongi, itu lah yang harus
kita latih bagaimana bohong yang dicintai Allah.”
“Wah,
dalem ini. Memang bohong yang mendatangkan cinta Allah itu yang seperti apa
Kang?”
“Yang
tidak pakai nafsu Sep. Tapi untuk bohong yang mengharap cinta, tentu bohongnya
pun harus dengan cinta. Kalau orang sudah saling cinta, lalu jujur terus
menerus malah tidak seru Sep. Justru dengan sedikit kebohongan-kebohongan yang
mesra bisa menambah cinta.”
“Betul
juga Ghan, mungkin seperti rayuan-rayuan gombal gitu ya?”
“Ya,
seperti itu bisa Dan. Rayuan-rayuan gombal itu kan aslinya omong kosong semua.
Tapi kok ya banyak orang-orang jadi tambah mesra dan cinta lantaran rayuan
gombal yang bohong-bohongan itu. Masak dunia cuma milik berdua, masak jantung
dan hati bisa dibelah-belah, dan lain sebagainya, sampeyan lebih jagolah untuk
urusan itu.”
“Hahaha,
tahu saja sampeyan ini.”
“Kita
setiap hari juga sudah rajin membohongi Allah kok. Ketika sholat misalnya, kita
berniat sholat lillaahi ta’ala, hanya
untuk Allah. Tapi nyatanya sholat kita untuk masuk surga, menghindari neraka,
untuk dapat predikat sholih, dan sebagainya.”
“Wah,
tersindir aku Kang, gue banget.”
“Dalam
kitab Ushfuriyah, ada sebuah kisah menarik tentang orang yang membohongi Allah.
Jaman dahulu kala, ada seseorang yang sangat cerdik. Nama panggilannya pun
menggambarkan kecerdikannya. Menurut orang-orang yang mengenalnya, dia ini
memang orang yang cerdas. Nah, pada suatu hari orang itu masuk pasar. Di pasar,
dia menipu orang-orang di dalamnya dan berhasil mengambil seorang laki-laki
dari suatu kaum. Dia mengajaknya dan menjabat tangannya, lalu dengan sok kenal dan
sok akrab berkata padanya. ‘ Tahu nggak?
Sampeyan ini temannya bapakku. Aku mau silaturahim ke tempat sampeyan hari ini
boleh ya’. Lalu jawab laki-laki tadi ‘ Hah?
Tapi aku ndak kenal sama sampeyan dan bapak sampeyan’. Lalu si orang cerdik
tadi bilang. ‘Sampeyan dulu temannya
bapakku kok. Barangkali sampeyan sudah lupa karena sudah lama. Tapi aku masih
ingat kok.’ Laki-laki tadi diam kemudian si cerdik berkata lagi. ‘Ayolah, lagipula cuma bertamu kok. Ini
karena Allah semata mas’. Akhirnya si orang cerdik bersama laki-laki tadi
mampir ke sebuah warung yang jual kepala hewan. Dia membeli kepala hewan itu,
roti, dan makanan. Di daerah itu ada sebuah kebiasaan bahwa pembeli membayar
makanan sesudah memakannya. Setelah laki-laki tadi makan dan tinggal tersisa
sekitar dua suapan, si orang cerdik keluar dari warung dengan alasan mau buang
air kecil. Nah, ketika laki-laki tadi selesai makan dan mau keluar warung,
penjual menagih uang untuk membayar makanan tadi. Tentu si laki-laki kelabakan,
‘Aku cuma tamu pak, diajak sama orang
yang tadi itu lho’. Penjual itu menjawab, ‘Wah, lha ya saya tidak peduli mas siapa yang jadi tuan rumah siapa yang
jadi tamu. Sampeyan makan ya berarti harus bayar.’ Begitulah kehidupan si
cerdik yang suka ndobosi orang lain.”
“Wah,
konyol sekali. Jaman dulu ternyata sudah ada orang seperti itu ya Kang, parah.”
Asep menyandarkan diri di tiang masjid di sebelah Ghani.
“Bahkan
sampai mati pun orang itu masih suka licik, tapi licik di akhir hayatnya ini
licik karena mengharap rahmat dan cinta Allah. Ketika si cerdik ini sakit
kronis, dia membayar dua orang laki-laki dan berkata kepada mereka, ‘Nanti kalau aku mati, tolong sampeyan berdua
bilang di belakang jenazahku bahwa aku ini
orang yang sholeh dan suka berbuat baik ya, dan sampeyan juga jangan
ninggalin aku sampai aku selesai dikubur’. Lalu ketika si cerdik tadi mati,
dua orang laki-laki tadi melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diinginkan si
cerdik tadi lalu pulang setelah selesai penguburan. Kemudian ada dua malaikat
masuk ke dalam kubur orang cerdik tadi dan mau memberi si cerdik tadi petanyaan
kubur. Tiba-tiba dua malaikat tadi mendengar suara Allah, ‘Tinggalkanlah hamba-Ku ini. Sesungguhnya dia hidup penuh dengan tipu
daya dan mati juga tipu daya’. Dua malaikat tadi kemudian tidak jadi
menanyai si cerdik, karena Allah sudah mengampuni si cerdik lantaran ada dua
orang yang bersaksi, bahkan meski dua orang saksi itu tadi dibayar. Si cerdik
tadi pun sukses membohongi malaikat, dan juga membohongi Allah.”
Ketiga
orang itu terdiam ketika sekelompok aktivis di pojokan bertakbir tiga kali.
Beberapa menit kemudian acara di pojokan taman masjid sudah selesai. Rombongan
mahasiswa-mahasiswi dengan atribut islam mulai berpisah. Sebagian masih tersisa
di tempat untuk membereskan peralatan dan menyapu lantai. Asep tak sadar
tertidur bersandar di tiang masjid mendengar Ghani membaca Al-Qur’an. Hamdani
yang dari tadi membolak-balik buku Das
Kapital tulisan Karl Marx, tiba-tiba menepuk bahu Ghani.
“Apa
Dan?”
“Lalu
yang aku bingungkan dari tadi Ghan, mereka itu termasuk membohongi Allah atau
membohongi orang lain?”
“Entahlah
Dan, dua-duanya bisa benar. Atau bisa jadi mereka membohongi diri mereka
sendiri. Menipu diri sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar