Angkringan Pak Slamet masih ramai
seperti biasanya, di tengah hiruk-pikuk pusat kota yang gersang dan mendahaga.
Ghani, Hamdani, dan Asep siang itu bertemu di angkringan yang menyejukkan itu.
Siang yang terik membuat mereka bertiga memesan minuman pelepas dahaga. Hamdani
menanyakan pada Ghani dan Asep minuman yang dipesan.
“Ghan, mau minum apa?”
“Air putih aja Dan”
“Kok air putih?”
“Ya gak papa to?”
“Asep mau minum apa?”
“Air putih juga kang, sama kayak
Kang Ghani.”
“Lho air putih? Gak es teh atau es
jeruk aja? Aku yang bayar, santai saja. Oke Ghan?”
“Ndak usah Dan, makasih. Lagi pengen
air putih.”
“Gak kasihan sama Pak Slamet? Air
putih kan biasanya tidak bayar?”
“Gak papa mas, air putih masih ada
kok. Saya bikinkan ya, njenengan sendiri mau pesan minum apa?” Pak Slamet
menimpali.
“Eee, ya sudah pak, saya ikut saja,
air putih juga.”
Hamdani melihat sekelilingnya, siang
ini semua pengunjung angkringan Pak Slamet termasuk Ghani dan Asep yang
membuatnya juga ikut memesan air putih juga. Tentu saja hal ini membuat Hamdani
tidak enak hati dengan Pak Slamet karena selama ini Pak Slamet selalu
menggratiskan air putih.
“Pak, tumben hari ini banyak yang
pesan air putih ya” celoteh Hamdani.
“Iya mas, air putih itu kan minuman
sufi, ya seperti njenengan-njenengan ini.”
“Hah? Minuman sufi? Kok bisa gitu
pak?”
“Tanya saja sama orang-orang yang
pesan air putih ini.” Jawab Pak Slamet sambil menyajikan tiga gelas air putih
untuk Hamdani, Ghani, dan Asep. Hamdani melihat di sebelah kirinya ada
bapak-bapak berpakaian rapi dan parlente juga meminum segelas air putih.
“Pesan air putih juga ya pak?” tanya
Hamdani.
“Iya mas, ini minuman yang
sufistik.”
“Kok bisa gitu pak?”
“Iya, suatu hari ada seorang raja
pergi melewati padang pasir ditemani seorang sufi. Di tengah perjalanan, raja
kehausan dan hampir-hampir pingsan karena dehidrasi. Sang raja pun menepi
mencari tempat berteduh. Raja ingin minum namun persediaan air sudah habis.
Melihat raja yang kehausan, sang sufi bertanya kepada raja.
‘Wahai raja, seandainya aku memiliki
segelas air, maukah engkau menukarkan segelas air putih milikku dengan setengah
kerajaanmu?’ tanya sang sufi.
‘Tentu saja, akan kuberikan padamu
asal aku tidak mati kehausan disini.’ Jawab raja. Sang sufi pun memberikan
segelas air putih yang diinginkan raja. Selesai menenggak habis segelas air
putih, sang sufi bertanya lagi kepada raja.
‘’Wahai raja, seandainya sebab engkau
minum segelas air putih barusan engkau terkena penyakit parah dan saya bisa
memberi obat penawarnya untukmu, maukah engkau menukarkan setengah kerajaanmu
untukku?’
‘Tentu saja, aku tidak mau mati
konyol di gurun seperti ini’ jawab raja.
‘Ternyata harga kerajaan yang anda
miliki tidak lebih dari harga segelas air putih’ jawab sang sufi. Mendengar
nasehat dari sufi, sang raja pun menangis. Minuman ini sangat sufistik sekali
mas. Setiap meminum segelas air putih ini yang gratis ini, saya selalu teringat
bahwa dunia dan seisinya ini sesungguhnya tidak ada nilainya sama sekali.”
Mendengar jawaban bapak-bapak tadi, Hamdani tersentak. Hamdani melihat
sekeliling lagi, kali ini ada seorang anak SMA juga memesan air putih. Hamdani
bertanya kepada anak SMA tersebut.
“Sampeyan kenapa minum air putih dek?”
“Iya mas, minuman ini sufistik
sekali soalnya.”
“Oh ya? Memangnya kenapa bisa
seperti itu?”
“Begini mas, suatu hari ada seorang
murid yang sangat ingin bertemu Rasulullah dalam mimpi. Ia sudah melakukan
tirakat dalam waktu yang lama namun tidak kunjung bertemu dengan Rasulullah.
Akhirnya sang murid bertanya kepada seorang guru sufi.
‘Guru, sudah lama saya ingin bertemu
Rasulullah dalam mimpi, tapi entah kenapa saya tidak kunjung bertemu
dengannya?’ tanya sang murid.
‘Kau ingin bertemu Rasulullah?
Datanglah ke rumahku nanti malam’ jawab guru sufi.’ Sang murid patuh dan
malamnya ia menuju rumah Sang Guru Sufi.
‘Bagaimana guru? Kita jadi bertemu
dengan Rasulullah kan?’ tanya murid.
‘Sebentar, kau baru datang dan pasti
lelah, ini makan dulu.’ Sang murid patuh dan segera menyantap hidangan nasi dan
ikan yang sudah tersedia. Ketika sudah selesai makan, sang murid hendak
mengambil segelas air putih yang juga sudah tersedia.
‘Tunggu, aku hanya menyuruhmu makan,
tidak minum. Sekarang tidurlah’ kata guru sufi. Sang murid pun menaati, ia
tidur dalam keadaan sangat kehausan. Ketika bangun tidur, ia bertanya kepada
guru sufi.
‘Guru, saya sudah menaati semua
perintahmu, tapi kenapa semalam saya tidak bertemu Rasulullah di mimpi?’
‘Memangnya semalam kau mimpi apa?’
tanya guru sufi.
‘Semalam saya hanya bermimpi minum
segelas air, saya sangat kehausan’ jawab sang murid.
‘Itu berarti rindumu kepada
Rasulullah belum serindu dirimu pada segelas air. Kalau kau benar-benar rindu
kepada Rasulullah seperi rindumu kepada air ketika kehausan, engkau akan
bertemu dengan Rasulullah’ jawab guru sufi. Benar-benar minuman sufistik ya
mas? Setiap melihat segelas air, saya selalu ingat bahwa jangan-jangan selama
ini saya lebih mendambakan segelas air daripada mendambakan Rasulullah” Hamdani
senyum kosong, ia mulai menyadari
ternyata air putih ini sufistik sekali. Selama ini ia pikir minuman para sufi
adalah kopi karena bisa menjadi teman untuk bertirakat tidak tidur di malam
hari. Hamdani menoleh ke sebelah kiri. Ada seorang tukang becak sedang meminum
segelas air putih. Hamdani bertanya makna minuman air putih kepadanya.
“Pak, seger sekali sepertinya pak.
Njenengan juga pesan air putih?”
“Oh, iya mas. Habis ini minumannya
sufistik sekali.” Jawab tukang becak.
“Sufistik bagaimana pak?” tanya
Hamdani.
“Begini mas, suatu hari ada seorang
syaikh bertamu kepada seorang raja. Raja ini meskipun singgasananya mewah,
istrinya cantik, hartanya banyak, kebunnya luas, hewannya banyak, namun ia
adalah seorang sufi. Syaikh tadi ingin komplain kepada sang raja.
‘Hai raja, bagaimana mungkin engkau
mengaku sebagai sufi sementara kau hidup dengan penuh kemewahan dan kemegahan
dunia. Lihat rumahmu, istrimu, hartamu, dan semuanya. Ternyata kau masih
tergoda pada dunia.’ Mendengar hal tersebut, sang raja tersenyum dan mengajak
syaikh masuk ke dalam rumah dan memberikan padanya segelas air putih.
‘Wahai Syaikh, silahkan anda
berkeliling rumah saya, lihat dan nikmatilah semuanya seharian ini. Anda boleh
menaikki hewan-hewan saya, memetik buah-buah saya, dan bermain-main sepuasnya.
Tapi ada syaratnya, anda harus membawa segelas air putih ini dan jangan sampai
tumpah’
‘Memangnya kalau tumpah bagaimana?’
‘Anda akan pulang tanpa kepala’
syaikh tadi bergidik. Ia berkeliling ditemani pengawal raja. Setelah seharian
berkeliling, raja menemui syaikh.
‘Bagaimana syaikh? Sudah puas
berkeliling?’ tanya raja.
‘Bagaimana aku akan menikmati
semuanya sementara kalau air dalam gelas ini tumpah aku bisa pulang tanpa
kepala’ jawab syaikh.
‘Seperti itulah gambarannya syaikh.
Semua kesenangan dunia ini tidak mampu menumpahkan sedikit pun cintaku kepada
Allah.’ Benar-benar sufistik sekali mas pokoknya air putih ini. Setiap melihat
segelas air putih, saya selalu termenung membayangkan berapa kali saya
menumpahkan air cinta dari gelasnya namun Allah tidak segera memenggal kepala
saya.” Tukang becak tadi mengakhiri ceritanya dan membuat Hamdani menatap
kosong pada air putih di depannya. Di sampingnya, Asep sudah hampir
menghabiskan air putihnya. Hamdani bertanya kepada Asep, jangan-jangan Asep
juga punya makna tersendiri tentang minuman air putih yang sufistik ini.
“Asep, sampeyan pasti punya makna
sufistik juga untuk air putih ini. Ayo cerita”
“Hahaha, tahu saja kang. Ini minuman
memang sufistik. Suatu hari ada seorang murid menemui guru sufi. Murid tadi
sedang sedih karena ditimpa musibah yang menurutnya sangat menyedihkan. Ia
ingin meminta petunjuk dari guru sufi tentang kesedihannya. Guru sufi
memberikan murid tadi segelas air putih dan sesendok gula. Guru sufi menyuruh
murid itu untuk mengaduk gula dalam segelas air putih dan menyuruhnya untuk
meminumnya.
‘Bagaimana rasanya nak?’
‘Manis guru, apa artinya?’
‘Kenapa air itu rasanya manis?’
‘Karena ada gula yang tercampur di
dalamnya guru’
‘Sekarang kalau kau mencampurkan
gula tadi di laut, apakah laut akan menjadi manis?’
‘Tentu tidak guru, laut itu sangat
luas dan dalam’
‘Begitulah hatimu nak. Jika hatimu
hanya sedalam air di gelas ini, sedikit gula akan merubah rasamu. Tapi jika
hatimu seluas lautan, rasamu tetap tidak akan berubah meski ditambah gula
maupun garam.’ Nah, itu kang. Minuman ini sufistik sekali ya? Setiap meminum
segelas air putih seperti ini, saya selalu berpikir jangankan seluas lautan,
sepertinya hati saya bahkan tidak lebih luas dari gelas ini. Semoga dengan
minum segelas demi segelas kesabaran maka saya menjadi lautan.” Hamdani kaget,
ternyata Asep juga menyadari makna sufistik dari segelas air ini. Hamdani belum
puas, pasti Ghani juga punya makna tersendiri.
“Sampeyan gimana Ghan? Apa makna
sufistik dari segelas air putih ini?” tanya Hamdani. Ghani tersenyum mendengar
Hamdani. Hamdani mengernyitkan mata. Ghani berdiri, ia merapikan baju lalu
berdeklamasi.
“Kutelan setenggak demi setenggak.
Darinya sumsumku tegak. Kuresapi sejuknya dalam kebeningan. Ini tidak lain dari
hujan. Kulihat langit kupinta hujan. Tuhan menutupinya awan. Kusibak awan
mencari Tuhan. Tuhan mengirimiku hujan. Kesadaranku oleh sebab Lafadz-Nya. Aku
ingin sampai pada Sang Maha Semua. Kemabukanku atas tatapan-Nya. Membuatku aku
semakin dahaga. Aku mabuk pada setiap gelas. Dalam bening yang bebas. Jika
langit mulai gelap tak bersinar. Apakah bedanya mabuk dan sadar. Kutenggak lagi
minuman kami. Darinya kami merdu bernyanyi. Aku heran dengan orang yang tak
berdahaga. Sementara air ini nikmat penuh cinta. Kemurnian-Nya dalam
kebeningannya. Kesegarannya seperti cinta dari-Nya. Aku minum cinta segelas
demi segelas. Tetap saja dahagaku tak kunjung puas.” Ghani duduk kembali, ia
meminum seteguk air putih lalu tersenyum kepada Hamdani. Ada getaran tersendiri
ketika Hamdani mendengar kata-kata Ghani. Hamdani menyelam pada lautan hatinya
mencari kedalaman makna air putih dalam gelas yang ada di depannya. Pak Slamet
jangan-jangan juga mempunyai nilai sufistik ketika memandang air putih ini.
“Kalau saya cuma ingin seperti air putih
mas” tiba Pak Slamet berkata kepada Hamdani. Hamdani kaget, belum juga ia
sempat bertanya, Pak Slamet sudah menjawab lebih dahulu.
“Maksudnya bagaimana pak?”
“Air putih adalah air yang ada di
mana-mana. Ia bisa diminum orang kaya maupun miskin. Ia bisa berada di langit
tertinggi maupun lautan terdalam. Ia bisa membeku maupun menguap. Tapi tetap,
ia adalah air putih. Tidak punya warna, tidak punya rasa, tidak punya bau. Ia
suci dan mensucikan. Ia bukan zam-zam yang terlampau mulia. Bukan pula air comberan
yang hina. Air putih adalah air netral. Lambang kemurnian, kesucian,
keikhlasan. Air putih adalah sufi mas.”
Hamdani tertegun. Ia mengambil gelas
di depannya dan meminum perlahan. Pikirannya berkecamuk. Di sekelilingnya
ternyata penuh orang-orang sufi. Tidak hanya itu, ia baru saja meminum minuman
sufi yang disebut air putih. Atau mungkin, meminum air putih yang disebut
minuman sufi.
Bagus2 kang... salam kenal
BalasHapushttp://www. alhida.com