Perkenalkan,
saya adalah peranakan Aceh yang tinggal di Jogja.
Sebagaimana
diaspora Aceh lainnya, saya sering ditanya oleh orang-orang tentang dua hal: ganja
dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
“Punya
ladang ganja?”
“Kamu
mengkonsumsi ganja?”
“Rasanya
ganja itu gimana?”
Saya pun
menjelaskan bahwa saya biasa makan ganja sebagai lalapan di Takengon, Aceh
Tengah. Jika orang jawa menggunakan daun singkong sebagai lalapan, kami
menggunakan ganja. Kalau Anda tahu, rasanya seperti daun marijuana. Apa bedanya
ganja dan marijuana? Marijuana itu tokoh wanita dalam film Spiderman, sedangkan
ganja adalah tokoh pria dalam film Crows Zero.
Tapi waktu
kecil saya memang pernah lihat teman main saya yang sudah agak dewasa, mereka
menggunakan ganja sebagai suplemen rokok. Caranya, mereka mengambil sebagian
tembakau dalam rokok, lalu memasukkan ganja kering, dan ditutup kembali dengan
tembakau. Kemudian mereka merokok di tempat tersembunyi. Saya pun
bertanya-tanya. Kalau ganja sudah disembunyikan di dalam rokok, buat apa mereka
sembunyi lagi?
Biasanya
orang-orang memakai ganja untuk menambah percaya diri ketika tampil di depan
layar kaca atau di atas panggung. Selain itu, kadang ganja dikonsumsi untuk
melarikan diri dari masalah besar. Untuk ukuran teman-teman saya saat itu, yang
jelas tidak mungkin mereka mengkonsumsi ganja untuk meningkatkan self esteem
mereka di atas panggung atau layar kaca. Kalau pun memiliki masalah, masalah
terbesar kami saat itu adalah ketinggalan melihat serial Dragon Ball Z di
Minggu pagi. Maklum, saat itu rumah yang memiliki televisi hanya ada beberapa
di kampung, kami harus menuruni bukit selama satu jam.
Sedangkan
tentang GAM, saya tidak ragu mengatakan bahwa saya memiliki keluarga dengan
latar belakang GAM yang kuat. Salah satu hal yang menjadi alasan kuat adalah,
saya lahir di tanggal dan bulan yang sama dengan GAM, 4 Desember. Entah
bagaimana caranya, ayah saya bisa menghitung dengan tepat. Meskipun demikian,
keluarga saya sama sekali tidak pernah memberikan edukasi tentang falsafah dan
ideologi GAM kepada saya. Hanya saja ayah pernah bilang, kalau saya mau menjadi
bupati Aceh Tengah, jalannya mudah.
Tidak mudah
menjadi anggota keluarga yang berafiliasi pada gerakan yang dituduh makar.
Karena itu pula ada anekdot terkenal di Aceh.
Ada seorang
anggota GAM ditahan di Nusa Kambangan. Suatu hari, ayahnya mengirim surat dan
menyampaikan bahwa ayahnya ingin menanam jagung namun tidak ada yang bisa
mencangkul lahannya.
“Ayah
jangan mencangkul lahannya, disitu saya mengubur banyak senjata dan bahan
peledak”
Surat
balasan dari anaknya ternyata terbaca oleh petugas. Lalu dikirimlah satu
peleton untuk mencari-cari keberadaan senjata tersebut. Hingga akhirnya ayahnya
mengirim surat lagi.
“Tempo hari
ada tentara menggali lahan kita, apa yang harus kulakukan?”
“Sekarang
ayah bisa menanam jagung di sana.”
Tentu saja
cerita itu tidak benar-benar terjadi. Dugaan saya cerita itu saduran dari kisah
serupa dari Abu Nawas.
Kakek saya
jauh lebih GAM daripada ayah saya. Kakek saya merupakan salah satu pejuang
kemerdekaan Indonesia namun tidak puas dengan pemerintahan yang ada saat itu.
Karenanya, beliau berjuang kembali lewat GAM. Hal itu membuat dirinya menjadi
target operasi pemerintah. Untuk menyiasatinya, kakek saya ternyata memiliki
tiga nama yang berbeda. Nama beliau di KTP adalah Rizal, di akte namanya Harun
Munthe, sedangkan panggilan sehari-hari adalah Abdul Ghani. Bahkan kakek saya
rela menghapus nama Teungku yang sudah diwariskan turun-temurun.
Jadi,
ketika ada operasi dari pemerintah, kakek saya selalu berhasil menghindar.
“Apakah
Anda yang bernama Abdul Ghani?”
“Maaf, nama
saya adalah Rizal”
“Mana
buktinya?”
“Ini KTP
saya.”
Lalu jika
di lain waktu ada lagi yang bertanya
“Apakah
Anda yang bernama Rizal?”
“Maaf, nama
saya adalah Harun Munthe”
“Mana
buktinya?”
“Ini akte
saya.”
4 Desember
2016 kemarin, GAM berulang tahun ke 40.
Sedangkan hari
ini, adalah 40 hari meninggalnya kakek saya.