Di dunia
pesantren, banyak sekali santri yang senang berburu ijazah wirid atau amalan
kepada para kyai. Saya pun pernah demikian. Namun belakangan, saya lebih suka
mencari sanad untuk menyambungkan rantai saya sampai Kanjeng Nabi. Baik itu
sanad keilmuan, sanad kitab, hadits, dzikir, dan sebagainya. Misalnya, pada fan
ilmu fiqih saya mencoba menarik-narik rantai saya sampai Kanjeng Nabi,
alhamdulillah masih bertemu. Hal itu saya sampaikan ketika mengaji qowaid fiqh.
Pengajian kitab
qowaidul fiqhiyah dengan menggunakan kitab susunan Al-Maghfurlah KH Humam Bajuri
(pendiri Pondok Pesantren Al-Imdad) sepertinya sedang hits di sekitar Krapyak.
Setelah Pak Hilmy membuka pengajian dengan kitab tersebut, di tempat pengajian
lain juga mengikuti. Kemarin dari Pondok
Bangunjiwo ada yang mencari kitab tersebut di kantor Diniyah Krapyak. Saya pun
diminta untuk membacakan kitab tersebut untuk santri kelas 3 madrasah diniyah
di komplek NSPI.
Biasanya,
pembacaan sanad di baca pada akhir pelajaran. Namun saya menyampaikan
di awal agar menjadi motivasi para santri. Awalnya dulu saya mengaji qowaid fiqh
dengan Pak Fakhruddin Yusuf.
Pak
Fakhruddin Yusuf dulu mondok di Tremas Pacitan, lalu pindah ke Krapyak sembari menyelesaikan
S1 di UIN Sunan Kalijaga dan S2 di UGM.
Di Krapyak,
beliau juga berguru kepada Al-Maghfurlah KH Zainal Abidin Munawwir. Mbah Zainal
punya guru utama tidak lain adalah Al-Maghfurlah KH Ali Maksum.
Mbah Ali
Maksum dulu juga mondok di Tremas Pacitan, beliau juga berguru pada ayah beliau
sendiri, Al-Maghfurlah KH Maksum Ahmad Lasem.
Mbah Maksum
Lasem berguru kepada ulama besar asal Indonesia di tanah haram, Syaikh Mahfudz
At-Tarmasi.
Syaikh Mahfudz
At-Tarmisi punya guru banyak, namun utamanya dalam bidang fiqh adalah Sayyid
Abu Bakr Syatho, penyusun kitab I’anatu Thalibin hasyiah Fathul Mu’in.
Sayyid Abu
Bakr Syatho sendiri belajar kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, penyusun kitab Syarah
Jurumiyah.
Lalu Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan belajar kepada Syaikh ‘Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi.
Syaikh
‘Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi belajar kepada Syaikh Abdullah bin Hijazy As-Syarqawi.
Syaikh Abdullah
bin Hijazy As-Syarqawi belajar kepada Syaikh Muhammad bin Salim Al-Hifni.
Syaikh
Muhammad bin Salim Al-Hifni belajar kepada
Syaikh Ahmad al-Khalifi
Syaikh Ahmad Al-Khalifi belajar kepada Syaikh Ahmad Al-Basyisyi
Syaikh Ahmad Al-Basyisyi belajar kepada Syaikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi
dan Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi
Syaikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi belajar kepada Syaikh Ali Az-Ziyadi sedangkan
Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi belajar kepada Syaikh Muhammad Al-Qushri
Syaikh Sulthon bin Ahmad Al-Muzahi dan Syaikh Muhammad Al-Qushri belajar
kepada Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli, Syaikh Syamsuddin Ar-Ramli, Syaikh Khatib
Asy-Syarbini, dan Syaikh Ahmad bin Hajar (Ibnu Hajar) Al-Haitsami.
Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli, Syaikh Syamsuddin Ar-Ramli, Syaikh Khatib
Asy-Syarbini, dan Syaikh Ahmad bin Hajar (Ibnu Hajar) Al-Haitsami belajar
kepada Syaikh Zakariya Al-Anshori
Syaikh Zakariya Al-Anshori belajar kepada Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani belajar kepada Imam Sirajuddin Umar Ibnu
Al-Mulaqin
Imam Ibnu Al Mulaqin belajar kepada Imam Al-Jamal Abdurrahim bin
Al-Hasan Al-Isnawi
Imam Al-Jamal Al-Isnawi belajar kepada Imam Taqiyudin ‘Ali bin Abdul
Kafi As-Subky
Imam Taqiyudin As-Subky belajar kepada Imam Ahmad bin Muhammad Ibnu Ar-Rif’ah
Al-Mishri
Imam Ibnu Ar-Rif’ah belajar kepada Imam Muhammad bin ‘Ali bin Daqiq Al-‘Ied
Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied belajar kepada Sulthonul Ulama Al-Imam ‘Izzudin
bin Abdul Aziz bin Abdissalam
Imam ‘Izzudin bin Abdissalam belajar kepada Al-Hafizh Abdurrahman bin
Muhammad bin ‘Asakir
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir belajar kepada Imam Ibnu Mas’ud bin Muhammad
An-Naisaburi
Imam Ibnu Muhammad An-Naisaburi belajar kepada Imam ‘Umar bin Isma’il
Ad-Damighani
Imam Ad-Damighani belajar kepada Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali belajar kepada Al-Imam Al-Haramain Abdul
Malik bin Abdullah Al-Juwaini
Al-Imam Al-Haramain Abdul Malik Al-Juwaini bin Abdullah belajar kepada
Al-Imam Abdullah Juwaini
Imam Abdullah Juwaini belajar kepada Imam Abdullah bin Ahmad Al-Qaffal
Ash-Shaghir
Imam Al-Qaffal Ash-Shaghir belajar kepada Imam Abi Yazid Al-Marwazi
Imam Abi Yazid Al-Marwazi belajar kepada Imam Abi Ishaq Al-Marwazi
Imam Abi Ishaq Al-Marwazi kepada Imam Ahmad bin Suraij Al-Baghdadi
Imam Ahmad bin Suraij Al-Baghdadi belajar kepada Imam ‘Utsman bin Sa’id
bin Basyar Al-Anmathi
Imam Al-Anmathi belajar kepada Imam Isma’il bin Yahya Al- Muzani
Imam Muzani belajar kepada Imam Muhammad bin Idriss Asy-Syafi’i
Imam Syafi’I belajar kepada Imam Malik
Imam Malik belajar kepada Imam Nafi’
Imam Nafi’ belajar kepada Sayyidina Ibnu Umar
Sayyidina Ibnu Umar belajar kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi
wa sallam
Lahumul-fatihah
Saya berburu sanad dengan penuh semangat. Setiap ada ulama yang saya
pandang pantas saya minta sanadnya, saya akan mendatanginya, meskipun dengan
segala keterbatasan saya. Beberapa tahun lalu saya ke Kulon Progo untuk
menerima ijazah ‘amah dari Syaikh Ali Ash-Shobuni. Ya, Syaikhh Shobuni yang
terkenal sebagai mufassir, yang menulis kitab Rowai’ul Bayan fi Tafsiri Ayatil
Ahkam dan Shofwatut Tafasir. Beruntung sekali saya rasanya. Sekitar sebulan
yang lalu saya ke Purworejo yang katanya ada ijazahan dari Syaikh Hisyam Kamil
Al-Azhari dari Mesir. Malangnya, karena hujan deras disertai buta arah
Purworejo, saya melewatkan ijazah Arba’in Nawawi. Tapi saya cukup beruntung
karena masih kebagian mendapatkan ijazah ‘Aqidatul ‘Awwam dan Matn Al-Ghayah wa
At-Taqrib.
Beberapa bulan yang lalu, UGM kedatangan Syaikh Taufiq Al-Buthi, putra
dari Asy-Syahid Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi. Selesai acara seminar, saya
menunggu Syaikh Taufiq di ruang tunggu. Dan ketika bertemu, saya langsung meminta
ijazah kitab-kitab ayahandanya. Beruntung sekali saya karena beliau bersedia
memberikannya dan bonus hizib nawawi juga. Dua bulan lalu di Masjid Agung
Bantul juga bertemu Syaikh Fadhil Al-Jailani, keturunan dari Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani qs. Kepada beliau, saya meminta ijazah kitab-kitab datuknya,
beruntung sekali saya beliau bersedia memberikannya dan juga mendoakan saya.
Saya awalnya ragu, apakah mungkin meminta ijazah dari ahli waris? Karena
beliau-beliau berkenan memberikannya maka saya yakin hal itu diperbolehkan.
Saya juga punya beberapa teman di pondok yang menjadi pemburu sanad.
Namun mereka pelit-pelit jika saya minta sanadnya. Ada yang pernah mendapat
sanad dari Mbah Maimun Zubair, ada yang dari Sayyid Said Agil Al-Munawwar, dan
sebagainya. Namun ada juga yang baik, kita berbagi sanad seperti para ulama
dulu saling mendengar sanad. Kita juga saling memberikan informasi jika ada
ulama-ulama yang bisa didatangi untuk dimintai sanad.
Memiliki sanad tidak berarti justifikasi bahwa ilmu kita sama persis
dengan para ulama periwayat. Saya punya sanad kitab Shofwatu Tafasir, bukan
berarti jika saya mengajar kitab tersebut akan sama dengan penjelasan Syaikh
Ash-Shobuni. Namun kata Imam Nawawi, sanad adalah tradisi Islam yang harus
dijaga. Dengannya, kita tahu kepada siapa kita belajar.
Karena guru dari guru kita adalah guru kita juga.
pic: Berburu ke Lasem