Rasanya aneh, jika seorang sufi
terkenal sebagai orang yang suka berkelahi, memukuli orang lain, dan
semacamnya. Atribusi negatif seperti itu sangat tidak pantas dilekatkan kepada
seorang sufi, seorang yang mendekatkan diri pada Allah, seorang yang menjauhi
dunia. Tidak heran kita sering mendengar atau membaca sufi-sufi atau wali-wali
yang berdakwah dengan lemah-lembut, santun, dan tidak melukai orang lain.
Alih-alih mengalahkan orang lain, mereka berjuang untuk menaklukan diri
sendiri, sebagaimana petuah Kanjeng Nabi:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ
نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Orang yang kuat bukanlah orang yang
tidak bisa dikalahkan, tapi orang yang bisa menguasai dirinya ketika marah
Muhammad Ali (Allahu yarham), adalah
seorang Muslim, Asy’ari, Sufi. Ia memiliki banyak guru sufi di berbagai penjuru
dunia seperti Syaikh Ahmad Kuftaro, Syaikh Hisyam Kabbani dan lain-lainnya.
Bahkan, ia pernah berbaiat kepada Syaikh Nazim Haqqani qs (Tarekat
Naqsyabandiyah Haqqaniyah / Nazimiyah). Bila kita membaca banyak meme atau
quote dari beliau yang marak setelah kewafatannya, kita banyak mendapati hikmah
yang elegan dari seorang petinju, juara dunia, tapi sufi. Mana mungkin sufi itu
petinju? Yang sukanya memukuli orang lain? Meski tak bersalah sekali pun?
Apakah ini anomali?
Nabi Khidir.
Sufi mana yang tidak kenal Nabi
Khidir?
Kisah Nabi Musa berguru pada Nabi
Khidir adalah cerminan dari pertemuan antara dunia syariat dan hakikat. Nabi
Khidir, gurunya para sufi. Konon, semua wali mendapat stempel dari Nabi Khidir.
Maka kita tentu ingat bagaimana Nabi Khidir, di hadapan Nabi Musa, tanpa belas
kasihan memukul seorang anak tak bersalah, karena ia mengetahui apa yang akan
terjadi kelak di masa depan. Nabi Khidir, bukan sekedar sufi, bukan sekedar
wali, tega memukul seorang anak kecil tak bersalah hingga mati.
Pada kisah-kisah sufi lainnya dari
penjuru dunia, kita tidak memungkiri banyak sufi yang juga ahli perang dan bela
diri. Misal, salah seorang wali yang dikenal dengan nama Sayyid Amir Kulal,
dari daerah Bucharest. Beliau masyhur sebagai keturunan Kanjeng Nabi yang menguasai
ilmu syariat dan hakikat, namun hobi bergulat. Tidak tanggung-tanggung,
berbagai aliran martial arts dia kuasai dengan baik. Maqamnya dalam ilmu syariat,
hakikat, dan gulat sudah teramat tinggi. Hal ini yang membuat salah seorang
pemuda heran, mana mungkin seorang wali tapi suka berkelahi? Hingga akhirnya
pemuda itu tertidur dan bermimpi sedang menghadapi kiamat dan berada dalam
suatu kesulitan yang pelik. Datanglah Sayyid Amir Kulal memberikan pertolongan
(syafaat) dalam mimpinya itu. Ketika pemuda itu terbangun, ia menmdapati Sayyid
Amir Kulal sudah berada di sampingnya dan ia pun bertambah yakin pada Sayyid
Amir Kulal.
Sebuah kisah lain dari bumi Persia,
bercerita tentang Mahmud. Ia adalah seorang wali, namun jawara dalam bergulat. Ia
dijuluki Pahlawan Mahmud (Pahlevi Mahmud), superhero dari daerah Khawarizm.
Alkisah, Raja India menghelat lomba gulat, India-Open Championship, Ten Ka Ichi
Budokkai. Ia mengundang Raja Khawarizm untuk berpartisipasi dalam event
tersebut. Raja Khawarizm menyetujui, dan mengutus superheronya, Mahmud. Bukan
main senangnya Raja India, ia juga mengirim utusan terbaiknya untuk melawan
Mahmud. Sebelum hari pertandingan, Mahmud menginap di sebuah rumah seorang sufi
untuk mencari ketenangan spiritual. Mengetahui bahwa tamu yang menginap adalah
sufi, bahkan wali yang hendak bertanding esok hari, sang sufi pemilik rumah
berdoa, yang doanya didengar oleh Mahmud.
“Tuhan, anakku bekerja untuk Raja
India, dan esok hari ia akan menghadapi utusan dari Khawarizm, bahkan ia adalah
wali. Jika ia memang benar wali, dia pasti mudah mengalahkan anakku, padahal
anakku adalah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini”
Esoknya Mahmud datang ke arena
pertandingan, dalam beberapa pukulan Mahmud terjatuh dan kalah. Mahmud lantas
menulis syair rubaiyat:
Raja dari ego, dialah orang kuat
sebenarnya # Orang yang kuat dengan budak tidaklah sama
Tidak gagah menghajar orang yang
lemah # Menyayangi orang malang, itulah orang yang menang
Dari cerita-cerita itu, kita bisa
melihat seorang wali sekaligus seorang yang pandai berkelahi. Ini menghapus
gambaran kita tentang sufi yang puasa terus menerus hingga badan kurus kering
dan lemah, dengan alasan zuhud atau entah apa pun itu. Seorang sufi yang
mendalam ilmu syariatnya, tinggi menjulang ilmu hakikatnya, gagah perkasa fisiknya,
namun lemah-lembut dan welas-asih hatinya.
Hal ini mengingatkan kita pada sosok Al-Imam Junayd al-Baghdadi qs.
Sebagaimana tercatat dalam kitab
Tajalliyat al-Jadzb karangan Maulana Hakim Muhammad Akhtar, Imam Junayd pada
masa mudanya juga seorang pegulat. Ia jawara tak terkalahkan, invincible. Ia
mendapatkan penghidupan dengan profesinya sebagai pegulat. Kehebatan itu
membuat Raja berinisiatif untuk mengadakan sayembara, barangsiapa bisa
mengalahkan Junayd, akan diberi hadiah besar. Terdengarlah berita itu pada
seorang pria kurus yang hendak menantang Junayd.
Sampai di ring
pertandingan, pria kurus itu membisiki Junayd:
“Aku adalah keturunan Kanjeng
Nabi. Anakku banyak, dan mereka kelaparan. Bagaimana jika sampeyan mengorbankan
nama, posisi dan kehormatan sampeyan demi kami? Sampeyan bisa memenuhi
kebutuhan kami setahun penuh dengan hadiah itu. Sampeyan juga akan dicintai Kanjeng
Nabi dunia akhirat.”
Junayd tanpa pikir
panjang, melawan pria kurus itu dengan tanpa kekuatan, hingga akhirnya
menjatuhkan diri dan kalah. Hari itu untuk pertama kalinya, di hadapan raja dan
penonton se-negara, ia mengalah oleh seorang pria kurus. Malam harinya, Junayd
bermimpi, bermimpi bertemu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi berpesan pada Junayd:
“Wahai Junayd, sampeyan
sudah mengorbankan kehormatan dan ketenaran. Nama dan posisi yang disanjung di
seluruh penjuru Baghdad, ditukar demi ekspresi cintamu untuk anak-anakku yang sedang
kelaparan. Mulai detik ini dan seterusnya, namamu tercatat dalam daftar Auliya
(wali Allah).”
Congratulation!