Saya Tidak Butuh LPDP
Siapa mahasiswa Indonesia yang tidak kenal LPDP, sebuah
beasiswa lezat dari pemerintah yang diperebutkan mahasiswa se-Indonesia. Saya
juga pernah memperebutkannya, dua kali, gagal semua. Sesuai peraturan, jika
gagal dua kali maka tak bisa mendaftar lagi. Secara jujur, saya pun iri dengan
teman-teman, kakak kelas, atau adik kelas yang mengunggah foto-foto
keberhasilan mereka menembus LPDP, ketika mengikuti PK, dan semacamnya. Tidak
sedikit (bahkan hampir semuanya) teman-teman facebook yang mengunggah hal
tersebut segera saya unfollow akun facebooknya. Karena itu membuat saya hasud,
lalu teringat dan berpikir, apa alasan saya tidak lolos seleksi tersebut? Dalam
hal ini tidak ada transparansi yang jelas dari panitia. Meskipun saya mengakui,
jika kriterianya adalah mahasiswa yang aktif organisasi, berpengalaman riset,
memenangkan kejuaraan, saya kalah telak. Tapi itu bukan tanpa alasan.
Belakangan ada berita keren, kolega saya di pesantren
Krapyak, berhasil menembus Harvard dan mendapatkan beasiswa bebas uang kuliah,
dan sejumlah saku untuk living cost dari Harvard. Namun karena dirasa belum
cukup untuk tinggal di sana, kolega saya ingin mencari sponsor lain, setelah
dia sendiri juga ditolak oleh LPDP. Sebagai sesama santri, berat memang untuk
bisa menjadi seideal mahasiswa berprestasi lainnya. Kami tidak sebebas dan
seluang mahasiswa yang tinggal di rumah atau di kos. Kami tidak bisa seenaknya
pergi dari pondok, setiap pagi dan malam kami harus mengaji, menyiapkan setoran
hafalan, belum lagi yang menjadi pengurus pondok. Dengan itu semua, berat bagi
kami untuk aktif di organisasi, riset-riset produktif, berlatih untuk menjuarai
lomba demi lomba, dan sebagainya. Saya masih ingat dulu ketika S1, hampir tiap
hari saya memiliki agenda rutin. Paginya saya mengaji, lalu berangkat kuliah,
siangnya mengajar les privat, sorenya mengajar diniyah sambil menyiapkan
setoran hafalan, bakda maghrib setoran
Al-Qur’an, bakda Isya mengaji diniyah dan selesai sekitar pukul setengah
sepuluh malam. Entah, aktivitas saya tersebut apakah masuk pada pengalaman organisasi,
riset, atau kejuaraan? Apakah memberi kesan positif pada interviewer LPDP?
Entahlah.
Saya tidak buta organisasi. Selama S1, saya sempat menjadi
koordinator bidang Syiar di LDK Fakultas, bahkan hampir menjadi ketua LDK
Fakultas. Namun ketika musyawarah pemilihan, saya tidak hadir. Saya juga
menjadi panitia ospek 2 tahun, pernah menjadi ketua panitia talkshow tingkat
nasional, direktur tim trainer dan outbond, dan sejumlah kepanitiaan. Tapi
jangan menyamakan saya dengan aktivis BEM yang kritis, kuliah lama, kaki tangan
partai, dan semacamnya. Naif. Saya buta riset, dalam artian riset-riset yang
dipublikasikan, memenangkan karya ilmiah, dan semacamnya. Riset mandiri yang
saya lakukan murni hanya skripsi. Namun beberapa kali saya juga membantu riset
teman-teman yang lolos karya ilmiah. Meskipun nama saya tidak dimasukkan sama
sekali, hei, dan saya juga memang tidak memintanya sih. Saya juga tidak pernah
memenangkan lomba secara mandiri. Lomba kolektif yang pernah saya menangkan
adalah bersama teman-teman Peleton Inti di SMA dari tingkat kota hingga
provinsi. Pernah pula saya mengikuti seleksi lomba MTQ mahasiswa bidang
tahfidz, dua kali tak pernah lolos. Dan saya bersyukur tidak lolos, karena
pondok saya kurang setuju santri-santrinya mengikuti lomba-lomba sedemikian.
Saya juga tidak heran dengan orang-orang yang dengan
mudahnya mengisi pengalaman organisasi, riset, atau kejuaraan seenaknya
sendiri. Saya tidak mengatakan mereka berbohong. Namun saya paham jika panitia
LPDP terpesona pada riset-riset terbaru, jabatan-jabatan organisasi yang
prestisius, dan semacamnya. Pernah saya lihat ada orang menuliskan posisinya
sebagai ketua organisasi xxx nasional. Ternyata itu hanya organisasi buatannya
sendiri, namun kosong kepengurusan dan programnya. Dan berbagai derivasi dari
model tersebut sebagai pembesar identitas mereka. Apalah artinya saya yang
hanya mengurus madrasah diniyah warisan pendahulu, menghidup-hidupinya,
membesarkan hati anak-anak untuk mengaji, menguatkan konsolidasi antar ustadz,
dan sebagainya. Jelas berbeda dengan para jawara, aktivis, atau periset yang
layak mendapat beasiswa. Dan memang saya juga buta popularitas. Mengapa harus
populer, bagaimana untuk populer, lalu mau apa jika sudah populer?
Semangat untuk belajar, untuk kuliah, jangan anggap surut
meski saya tidak mendapatkan suntikan LPDP. Sejak SD, SMP, SMA, dan S1, bahkan
ketika di pondok, saya selalu mendapat beasiswa. Entah full, atau sebagian. Pada
akhirnya, alhamdulillah saya bisa melanjutkan S2 di UGM dengan beasiswa pula.
Selain itu, di pondok saya juga diamanahi menjadi pembimbing asrama, yang
artinya saya tinggal gratis di pondok bahkan mendapat bisyaroh cukup tiap
bulannya, dan katering tiap pagi dan sore. Di luar sana banyak sekali beasiwa
selain LPDP. Saya berani menulis judul di atas, karena saya sudah mendapat
beasiswa lain, dan sudah tidak mungkin mendaftar LPDP lagi. Tapi jika LPDP
memperbolehkan saya mendaftar lagi, saya tidak ragu untuk mendaftar. Saya hanya
tidak mau menuhankan LPDP. Namun saya masih iri dengan salah satu kolega yang
lain, seorang santri di Pesantren Krapyak. Dulu ketika kelas XII, dia memenuhi
syarat untuk lolos beasiswa S1 di UNY. Namun karena kesalahan personal dari
pihak sekolah yang keliru menulis angka pada nilai rapor, kolega saya gagal
mendapatkan beasiswa di UNY. Ia berusaha mengurus ke sana dan kemari namun
nihil. Ia bercerita bahwa sejak saat itu, ia bertekad bulat tidak akan
mengharap bantuan orang lain. Ia menyewa sebuah kios lalu merintis sebuah usaha
kuliner di dekat pondok, dan sekarang sudah memiliki 2-3 karyawan.
Tulisan saya ini tidak ada unsur kritikan sama sekali untuk
LPDP atau pihak yang terkait, tidak pula ada unsur nasehat bagi awardee LPDP,
calon awardee LPDP, atau teman-teman santri. Apalagi motivasi-inspirasi, tidak
ada. Carilah motivasi-inspirasi dari awardee LPDP, merekalah mahasiswa
berprestasi yang dibiayai negara, dibiayai rakyat, mintalah kompensasi dari
sumbangan pajak kalian dan orang tua kalian pada mereka. Mereka bertanggung
jawab untuk “mengembalikan” beasiswa negara. Saya menulis ini hanya karena
teringat saya punya blog dan lama tidak menulis, itu saja. Tak usah lebay
mengkritik tulisan saya atau share ke luar.