“Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani”.
“Kenapa Dan? Tiba-tiba menyebut nama
beliau?”
“Sampeyan tahu Gan? Kalau kita ikut
manaqiban, saya selalu terbayang-bayang ketika dikisahkan bagaimana Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani menghidupkan orang mati.” Ghani dan Hamdani asyik
bercengkerama di pinggir masjid kampus. Asep yang tadi sibuk mengerjakan tugas
kuliah tiba-tiba tertarik mendengar pembicaraan Ghani dan Hamdani tentang
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Maklum, Asep adalah orang baru dalam dunia
tasawuf, ia selalu tertarik dengan segala pembicaraan tentang tasawuf. Terlebih
salah satu tokoh populer dalam dunia tasawuf, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Dalam acara-acara manaqib, Asep iri pada Ghani dan Hamdani yang lebih bisa
memahami pembacaan manaqib karena keduanya lebih menguasai bahasa arab
dibanding Asep. Kali ini, Asep tak ingin melewatkan kesempatan bisa mendapatkan
sesuatu tentang apa yang sebenarnya dibacakan ketika manaqib.
“Memangnya apa yang sebenarnya kau persoalkan
Dan?” tanya Ghani.
“Apa tidak aneh? Nabi Isa
‘alayhissalam ketika menghidupkan orang mati mengucapkan ‘qum bi idznillah’,
tapi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang notabene seorang wali ketika
menghidupkan orang mati beliau mengucapkan ‘qum bi idzniy’. Kok
seakan-akan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani itu lebih hebat daripada nabi.
Bagaimana menurutmu?”.
“Kalau memang ternyata Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani lebih hebat dari Nabi Isa bagaimana Dan?”
“Gak mungkin Kang, masak nabi kalah
sama wali.” Asep ikut bergabung dengan percakapan seru ini. Hamdani mulai
berpikir, apa mungkin seorang wali lebih hebat dari nabi.
“Menurutmu tingkatan manusia paling
tinggi itu siapa Dan?” tanya Ghani.
“Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu
‘alayhi wa sallam” jawab Hamdani.
“Lalu?”
“Para rasul ‘alayhim sholatu wa
salam”
“Lalu?”
“Para anbiya ‘alayhim sholatu wa
salam”
“Lalu?”
“Para auliya?”
“Dalam urut-urutan ini saja,
setahuku ada banyak pendapat Dan. Ada versi yang menyebutkan seperti apa yang
kau sebutkan, tapi ada juga yang menyebutkan bahwa setelah Kanjeng Nabi adalah
para sahabat radhiyallahu ‘anhum baru kemudian para rasul. Tapi poin
pentingnya, apakah derajat itu berbanding lurus dengan kehebatannya? Maksudku,
apakah para anbiya selalu lebih hebat daripada para auliya? Apakah Nabi Isa
lebih hebat dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?”
“Menurutku seharusnya demikian Gan,
seorang nabi harusnya lebih hebat daripada seorang wali.”
“Tapi wali yang satu ini bukan
seorang wali biasa, beliau penghulu para wali, sulthonul auliya, Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani, bagaimana menurutmu?”
“Tetap saja, maqom keduanya
jelas beda. Nabi menerima wahyu langsung dari Gusti Allah sedangkan para wali
tidak.”
“Betul, betul, kau sendiri ingat
bagaimana kisah pertemuan pertama Jalaludin Rumi dengan Syamsudin Tabrizi?”
Pertanyaan Ghani kali ini membuat
Hamdani terhenyak. Sebagai orang yang menekuni tasawuf, Hamdani cukup kenal
betul dengan sufi satu ini, Jalaludin Rumi. Termasuk kisah pertemuan Rumi
dengan Tabrizi yang mengubah jalan hidup Rumi dari ulama legal-formal yang
berkutat dalam hukum-hukum positif menjadi seorang melankolis yang jauh dair
hingar bingar kehidupan dunia. Atau menurut Hamdani, dari orang yang mencintai
Tuhan menjadi orang yang dicintai Tuhan. Hamdani merenungi kembali kisah
pertemuan Rumi dengan Tabrizi. Rumi, seorang ulama yang juga seorang hakim
masyhur di kotanya suatu hari ditemui Tabrizi, seorang darwis yang terbiasa
hidup terasing dalam pengembaraan. Dalam pertemuan pertama antara keduanya,
Tabrizi melontarkan pertanyaan pada Rumi.
“Hai ulama yang agung, siapa yang
lebih hebat antara Abu Yazid Al-Busthomi dan Nabi Muhammad?”
“Tentu saja, Nabi Muhammad yang
lebih hebat daripada Abu Yazid Al-Busthomi!” jawab Rumi tegas dengan pembawaan
layaknya seorang hakim memutuskan suatu perkara.
“Nabi Muhammad pernah bersabda ‘Ya Allah, aku belum mampu mengenali-Mu
dengan pengetahuan sebagaimana Engkau mengenali diri-Mu’ sedangkan Abu Yazid Al-Busthomi pernah
mengatakan ‘Betapa Agung muara-Ku, kemuliaan datang kepada-Ku ketika Aku
diangkat, Akulah yang derajatnya ditinggikan’. Bagaimana menurutmu?”
“Tentu saja, itu karena Abu Yazid
sudah terpuaskan dalam setetes pengetahuan karena wadah yang ia miliki kecil.
Sedangkan Nabi Muhammad memiliki wadah yang besar sehingga setiap mendapat
tetesan dari Allah beliau selalu merasa kehausan dan kekurangan” jawaban Rumi
ini membuka selubung-selubung antara keduanya. Baru kali itu Tabrizi
mendapatkan jawaban yang memuasakan setelah sekian lama ia mengembara dan
menanyakan hal tersebut kepada para ulama namun tidak ada satupun yang
memberikan jawaban yang memuaskan. Rumi sendiri baru kali itu mendapat
pertanyaan yang unik dari orang yang asing yang membuat Rumi sangat menyukai
Tabrizi dan menjadi sahabat sejatinya.
“Bagaimana Dan?” Ghani memecah
renungan Hamdani seolah Ghani mampu mengikuti renungan Hamdani sampai selesai.
“Kupikir, bagaimanapun, para nabi
tetap diatas para wali.”
“Lalu bagaimana kau merasionalisasi
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang mengucapkan ‘qum bi idzniy’ ketika
menghidupkan orang mati?”
“Kedewasaan Gan, kedewasaan. Para
wali mungkin ibarat anak kecil yang senang dengan mainannya, barangkali itulah
yang membuat para wali sering memamerkan kemampuan spiritualnya. Sedangkan para
nabi sudah cukup dewasa, cukup arif, dan bijaksana melampaui sifat
kekanak-kanakan orang yang senang dengan mainannya.”
“Betul Dan, aku jadi berpikir, kalau
ada wali namun tidak menunjukkan kewaliannya, tidak menunjukkan kemampuan
spiritualnya, berarti tinggi betul kedudukan wali tersebut ya?”
“Iya, Ghan. Daripada sampeyan yang
kayaknya lebih tahu ilmu tasawuf, aku lebih yakin Asep ini lebih wali daripada
dirimu.”
Asep sendiri masih memandang kosong
kedua sahabatnya tadi. Ia masih meraba-raba apa makna qum bi idznillah dan
qum bi idzni, lalu kisah pertemuan Jalaludin Rumi dan Syamsudin Tabrizi.
Hamdani dan Ghani tertawa melihat seorang wali di depan mereka.