“Ayo
ikut simbah cah bagus”
“Kemana
mbah?”
“Ketemu
teman-teman simbah”. Ghani menurut saja, ada yang aneh dengan kakek satu ini.
Di sebuah perempatan yang terletak di bagian selatan kampus, sepulang kuliah
Ghani bertemu dengannya. Ketika berpapasan, mata sang kakek melihat mata Ghani
secara mendalam seperti menerawang isi jasadnya. Ghani mengucap salam padanya,
lalu sang kakek menjawabnya serta memegang tangan Ghani dan meminta Ghani
mengikutinya. Ghani penasaran dengan kakek ini, Ghani pun mengikutinya.
Ghani
tiba di sebuah tempat yang gelap, masih dengan segenap keheranannya. Sepi,
hanya Ghani dan kakek tua yang membersamainya di tempat tersebut, mereka terus
berjalan dan memasuki sebuah ruangan yang besar, penuh cahaya. Di dalamnya
sudah berkumpul banyak orang, di belakang Ghani juga masih menyusul sejumlah
orang yang memasuki ruangan tersebut. Ada yang datang dengan menggunakan
permadani, ada yang tiba-tiba muncul begitu saja, ada yang keluar dari dasar
lantai, ada yang menggunakan kuda, ada yang menembus dinding, dan sebagainya.
“Siapa
mereka mbah?’
“Kekasih
Allah, cah bagus”
Wali?
Ghani berada di antara para wali. Sedang apa mereka disini? Kenapa Ghani juga
berada disini? Ini tempat apa? Berbagai pertanyaan mengganjal di benak Ghani.
Disaat Ghani merasa takjub dengan sejumlah keanehan para wali, Ghani juga
bingung karena semuanya menunjukkan gerak-gerik yang kurang bergairah. Semacam
sedih, cemas, khawatir, atau apapun itu. Ghani melihat ada yang sedang
menangis, ada yang sedang berdebat, ada yang berusaha melerai, ada yang memberi
komando kepada sebuah rombongan, dan sebagainya.
“Assalamu’alaykum
warrahmatullahi wabarakatuh”. Sebuah suara terdengar. Serentak semua yang hadir
menempati tempat duduknya masing-masing. Seseorang berdiri di mimbar dengan
wajah datar, melihat luas ke arah orang-orang yang hadir. Ghani duduk di
samping kakek tua yang membersamainya.
“Terima
kasih atas kedatangan anda sekalian. Sebagaimana yang kita ketahui, dunia
perwalian sedang menghadapi konflik. Kita harus segera memutuskan suatu hal
yang kita sepakati bersama disini demi kemaslahatan umat manusia. Untuk
mengawalinya, saya mohon Wali Ghauts untuk menyampaikan fenomena yang sedang
kita hadapi”. Salah seorang pria
berjubah naik ke mimbar di sebelah kanan mimbar utama.
“Saudara-saudaraku,
hari ini saya nyatakan bahwa dunia kita sedang kritis. Kita sudah tidak
dipercaya lagi oleh para umat manusia. Mengapa saya berkata demikian? Lihat
saja fakta bahwa umat manusia mulai menjauhi ajakan kita kepada jalan baginda
kita Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam. Mereka juga tidak mempercayai
kita lagi dan menjauhi kita. Banyak thoriqoh membubarkan diri karena tidak
memiliki jama’ah dan penerus, para mursyid juga kesulitan mencari badal.
Madrasah-madrasah maupun zawiyah juga sepi. Orang-orang tidak percaya pada guru
tapi lebih percaya pada buku dan internet. Manusia mempermainkan kedudukan kita
sebagai lelucon. Semua laku prihatin kita yang mengakomodir mereka sebagai
tanggungan kita dilecehkan seenaknya. Banyak orang mengaku wali, bahkan para
wali mastur juga tergoda untuk menunjukkan karomahnya di hadapan umum demi
popularitas. Pada puncaknya beberapa hari lalu salah seorang dari dewan Wali Abdal
dicopot pangkat kewaliannya oleh Allah SWT karena gagal berdakwah pada kaum di
wilayahnya. Sebelum acara pertemuan ini diselenggarakan, pihak perwakilan dari
dewan Wali Abdal mengusulkan supaya kita mogok massal dari aktivitas kewalian
kita. Sementara dari dewan Wali Abdal mengusulkan supaya kita berdemo kepada
Allah SWT dan meminta-Nya untuk mengembalikan pangkat kewalian saudara kita
dari Wali Abdal. Sementara dua dewan wali tadi masih sebatas usul, dewan Wali Akhyar
melaporkan bahwa sebagian anggotanya telah meninggalkan wilayah kerjanya dan
mengasingkan diri. Dari dewan Wali Autad mengusulkan supaya kita melakukan
konsolidasi bersama Sulthonul Auliya Sayyidina Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Bahkan jika perlu, kita semua datang ke hadhirat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi
wa salam. Mohon kepada Wali Quthb untuk memberi kebijaksanaannya tentang apa
yang harus kita lakukan sebelum satu persatu para wali mengikuti arus untuk
meninggalkan wilayahnya dan berakibat para umat manusia tidak ada lagi yang
menanggung mereka. Demikian laporan dari saya, terima kasih.” Pihak dewan Wali
Ghauts pun turun dari mimbar.
“Terima
kasih atas laporan anda. Berikutnya saya ingin mendengar penuturan dari saudara
kita dari dewan Wali Abdal supaya menceritakan kronologis kasus yang menimpa
mantan anggotanya serta mendengar langkah berikutnya dari dewan Wali Abdal
selaku rekan sejawat.” Salah seorang pria berjenggot putih lebat naik ke mimbar
sebelah kiri.
“Mogok!
Kita harus bekerja sama!”. Hadirin menjadi riuh ramai. Sekelompok orang
menyatakan kesetujuannya, sebagian lain menolaknya.
“Tenang
saudaraku, ceritakan baik-baik” Wali Quthb mencoba menenangkan.
“Ada
beberapa poin yang membuat kami mengusulkan untuk pemogokan masal tuanku.
Pertama, tentang kasus saudara kami. Ia diamanahi menjaga wilayahnya yaitu
sebuah kepulauan di daerah timur raya, namun ia sering diabaikan. Baiklah, kita
para wali memang biasa diabaikan, tapi sudah puluhan tahun ia menjaga
wilayahnya dan manusia di sekitarnya justru semakin tambah menjauh dari ajaran
baginda Rasulullah SAW. Kinerjanya menjaga wilayahnya dievaluasi dan akhirnya
diputuskan bahwa Allah mencabut kewaliannya. Saya pikir banyak di antara kita
juga mengalami hal tanggapa yang sama di antara masyarakat, dan jika demikian
terus menerus, satu persatu di antara kita kelak akan dicabut kewaliannya.
Kedua, mereka menghancurkan makam-makam wali pendahulu kita. Kita memang tidak
butuh dibangunkan makam, namun keberadaanya adalah bukti adanya jejak kita.
Selain itu banyak masyarakat yang mencari nafkah di dekat makam pendahulu kita
sebagai pedagang atau semacamnya. Jika satu persatu makam dihancurkan, selain
kita merugikan para umat manusia yang mencari nafkah, orang-orang akan
melupakan kita akhirnya terhentilah doa-doa dari mereka lewat kita yang justru
mereka butuhkan untuk diri mereka. Ketiga, kita perlu memberi peringatan kepada
umat manusia tentang apa yang terjadi jika para wali tidak ada, jika wilayahnya
dibiarkan untuk diurus umat manusia sendiri, kekacauan apa yang akan terjadi.
Untuk itu, kami dewan Wali Abdal mengajukan petisi untuk menyelenggarakan mogok
bersama hingga Allah mengembalikan pangkat kewalian saudara kita. Terima kasih
Tuanku.” Pria tersebut turun disambut sambutan meriah
“Setujuuu..!”
“Mogok,
mogok, mogok!”
“Kembalikan
saudara kami!” Berbagai suara menyeruak di antara forum tersebut. Hingga
akhirnya Wali Quthb meminta untuk diam.
“Baiklah,
saya butuh 1 bukti lagi yang menguatkan bahwa apa yang disampaikan dewan Wali
Abdal dan dewan Wali Ghauts tadi benar adanya.”
“Saya
Tuanku, saya membawa bukti tersebut kesini” kata seseorang yang berdiri sambil
mengacungkan tangan. Ia maju ke mimbar sebelah kiri sambil membawa seorang
laki-laki bertampang serius.
“Silahkan
Wali Akhyar”
“Terima
kasih Tuanku, saya kesini membawa salah seorang dari sekelompok manusia yang
menentang kita. Mohon izin supaya ia berbicara menyuarakan pendapatnya tentang
kita.”
“Tentu,
silahkan”
“Hei
kalian orang-orang yang mengaku wali Allah! Berhentilah mengaku-ngaku sebagai
wali. Kalian pikir aku mudah dibohongi? Kalian mengatakan membawa ajaran
Rasulullah tapi nyatanya banyak ajaran yang kalian inovasikan dan berbeda
dengan Qur’an dan Hadits! Amal-amal ibadah kalian yang tidak ada dalilnya,
pengikut kalian yang hanya taqlid buta, memuja kalian melebihi pujaan kepada
Allah, gaya hidup kalian yang katanya zuhud namun berpakaian mewah, rumah
megah, kalaupun tidak demikian maka kalian banyak yang hidup menyendiri di
hutan atau gunung dan tidak mau bermuamalah dan bercampur dengan masyarakat.
Dan semua itu membuat kalian justru merasa semakin tinggi derajat kalian dan
dekat dengan Allah, terlebih mengaku sebagai wali Allah. Tidak! Sesungguhnya
kamilah yang lebih layak disebut wali Allah. Kami menjalankan perintah Allah
sesuai Qur’an dan Hadits, kami berislam secara kaffah, kami memerangi orang
kafir, kami memperjuangkan syari’at Islam, kami memberantas penodaan terhadap
Islam, kami memberangus semua pemujaan kepada selain Allah. Kami yang lebih
layak menjadi wali Allah dan masuk surga dibanding kalian. Bubarlah dari forum
ini, bertaubatlah, lalu ikutilah jalan kami.” Sontak forum menjadi ricuh,
sejumlah hadirin sempat maju untuk menghampiri mimbar sebelah kiri. Sedangkan lelaki
yang barusan bicara tidak takut dengan apa yang telah ia katakan.
“Baiklah
hadirin, apakah semua sepakat untuk mogok?” Wali Quthb menanyakan kepada hadirin.
Lebih dari 90% menyatakan setuju, sedangkan sisanya memilih diam. Sebagian
diantara 10% itu menangis tersedu-sedu. Kakek tua yang membersamai Ghani
melihat Ghani ikut berkaca-kaca matanya.
“Ada
apa cah bagus?”
“Mbah,
apa ini benar?”
“Memangnya
kenapa?”
“Tidak
mungkin para wali mogok, ini bercanda kan?’
“Para
wali tidak pernah bercanda cah bagus.”
“Tapi
aku tidak setuju mbah.” Kakek tua tersebut berdiri dan mengacungkan tangan.
“Tunggu
sebentar, ada yang mau menyampaikan sesuatu. Silahkan wahai wali hawariyyin.”
“Wali?
Hawariyyin? Engkau juga seorang wali mbah?” Ghani memandang sang kakek.
“Ayo,
majulah cah bagus. Sampaikan ketidak-setujuanmu, siapa tahu engkau bisa
memberikan pengaruh.”
“Tapi
apa yang harus saya katakan mbah?” Ghani masih kebingungan bercampur panik.
“Tuanku,
sebelum anda memberi keputusan, ijinkan saya juga membawa salah seorang umat
manusia untuk memberi keterangan tambahan yang barangkali bisa menjadi
pertimbangan kita semua disini.” Kakek tua tadi menarik tangan Ghani dan
membawa Ghani ke mimbar sebelah kanan. Ghani masih panik, namun kakek tua
mengusap punggung Ghani dan Ghani merasakan sesuatu di dalam dadanya. Ghani
siap untuk bicara.
“Salam
kepada para junjunganku, kekasih-kekasih Allah yang dimuliakan langit dan bumi,
maafkan kelancangan saya berbicara disini. Jujur, saya panik berada di antara
anda semua. Terlebih, mendengar bahwa anda semua merencanakan untuk mogok. Saya
mohon dengan sangat untuk tidak merealisasikannya. Hal itu dapat mengacaukan
keseimbangan alam. Anda semua adalah tiangnya langit, sekaligus jangkar bumi. Dalam wirid dan doa
anda semua tak lupa terselip kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Dalam
ketaatan anda semualah kami merasakan semburat cinta Ilahi dan pancaran kasih
sayang nabi. Kalaupun ada di antara kami yang tidak sesuai dengan yang anda
semua harapkan, percayalah bahwa itu hanya sedikit dari umat manusia yang belum
mengenal anda semua. Apa jadinya jika anda semua mogok sementara jika tidak
mogok saja kekacauan masih banyak terjadi. Saya tidak bisa membayangkan bumi
yang jauh dari zuhud, tawadhu’ wara, qana’ah, dan berbagai akhlak indah yang
telah menjadi budi pekerti anda semua. Jikalau ada orang seperti tadi yang
menyeru untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadits dan mengajak untuk meninggalkan
anda semua, maka lihatlah orang tersebut. Betapa mereka mengajak untuk tidak
memuja selain Allah namun mereka memuja diri mereka sendiri, merasa dirinya
yang terbaik. Namun berbeda dengan anda semua, sekalipun ilmu anda semua dalam,
anda semua tak pernah merasa lebih baik dan tidak terbelenggu egoisme. Anda
semua warisan para Nabi, jika hilang warisan, apalagi yang kami punya? Mohon
pertimbangan untuk tidak merealisasikan pemogokan ini, demi kebaikan bersama.”
Hadirin kembali ramai, ada yang mendukung Ghani, ada yang menyanggahnya. Wali Quthb
kembali mengambil alih forum.
“Saudaraku
yang kumuliakan, persoalan ini sungguh pelik. Lauhul Mahfudz menutup pintunya,
pihak Malaikat juga berlepas diri, baru saja aku meminta isyarah kepada Nabi
Khidhir ‘alayhissalam, dan aku mendapat isyarah bahwa beliau menyerahkan
keputusan kepadaku. Seandainya aku meminta isyarah kepada Sayyidina Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani dan Rasulullah SAW sekalipun, aku yakin jawabannya tetap
sama. Ini adalah ujian kolektif dari Allah bagi kita semua. Aku mengusulkan
untuk uji coba pemogokan selama 3 hari. Kita akan lihat bisakah manusia menjaga
wilayahnya sendiri. Dan di antara hal-hal yang akan kita lakukan selama kita
mogok adalah; menyembunyikan diri dari hadapan manusia, berhenti menjadi
wasilah doa manusia, menghentikan aliran doa-doa kita kepada manusia,
menyembunyikan makam para wali pendahulu kita, dan terakhir, membuka pintu
langit sehingga lalu-lintas adzab dan siksa Allah dapat turun dengan lancar.
Bagaimana dewan Wali Ghauts, Abdal, Autad, dan lainnya?” Hampir semuanya
menyatakan persetujuan. Ghani memandang tidak percaya. Kakek tua mengelus
kepala Ghani dan tersenyum. Forum akhirnya memutuskan mulai saat itu para wali
mogok, dan seketika semua keluar dari tempat tersebut. Ghani masih bergejolak
hatinya. Ghani diantar pulang kakek ke tempat semula ketika bertemu sang kakek.
“Hati-hati
ya cah bagus”
“Mbah,
apa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mencegah mogok?”
“Sampeyan
punya Gusti Allah cah bagus, sampeyan milik-Nya, bukan milik para wali.”
“Tapi
mbah, saya harus bagaimana?”
“Pulanglah
cah bagus,” kata sang kakek. Ghani masih kosong pandangannya tanpa sadar sang
kakek mulai pergi menjauh. Ghani pulang ke pondoknya, sementara ini semua masih
baik-baik saja.
Seperti
biasa, setelah sholat maghrib Ghani mengirimkan bacaan Al-Fatihah kepada para
wali. Saat itulah Ghani mulai merasa aneh, ia tidak bisa sama sekali mengingat
nama-nama wali yang ia hafal. Ghani masuk ke kamar untuk membuka kitab-kitab
karya para wali, namun entah kenapa Ghani mendadak tidak bisa membacanya. Ghani
menanyakan ke teman-temannya, ternyata mereka juga mengalami hal yang sama.
Seketika orang-orang sepondok heboh mengalami keanehan serupa, ada yang tidak
beres dalam benak mereka. Keesokan paginya, matahari tidak secerah biasanya.
Gunung merapi di ujung utara dikabarkan aktif secara tiba-tiba. Hal serupa
terjadi di sejumlah gunung di tempat lain. Angin kencang mulai sering bertiup
menyapu daerah-daerah yang mengakibatkan putting beliung, hingga badai topan.
Beberapa negara ada yang sudah mengalami gempa dan tsunami dahsyat. Selama
sepekan, sejumlah peristiwa besar terjadi, bencana alam merebak, kriminalitas
meningkat tajam, masjid-masjid dan pesantren menjadi tempat pelarian
orang-orang yang ingin menyelamatkan diri namun disana mereka tidak mendapati
siapa-siapa. Ketika segalanya menyadari bahwa hal tersebut adalah tanda-tanda
kiamat yang sangat dekat, Ghani ingat bahwa ini sudah lebih dari sepekan dari 3
hari rencana pemogokan para wali. Ghani menuju ke tempat ketika bertemu sang
kakek, di sana ia mengucapkan salam dengan lirih, “assalaamu ‘alaykum yaa
Waliyallah, assalaamu ‘alaykum yaa Waliyallah, assalaamu ‘alaykum yaa
Waliyallah”. Seketika dari belakang Ghani merasa tangannya ditarik oleh
seseorang yang ternyata adalah kakek yang dulu ia temui.
“Aku
tahu cah bagus akan kembali lagi, tapi ketahuilah, tidak ada wali yang menjawab
salammu. Bahkan, tidak ada lagi yang bernama wali.”
“Apa
maksud simbah tidak ada wali?”
“Semua
wali yang kau temui kemarin sama-sama mencopot pangkat kewalian demi
solidaritas saudara mereka yang dicopot kewaliannya lebih awal.”
“Termasuk
simbah juga kah? Bagaimana dengan para pemimpin wali?”
“Mereka
juga sama-sama melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama. Namun
meski demikian, kami tetap bisa berkomunikasi satu sama lain untuk saling berbagi
kabar wilayah masing-masing. Dan hari ini sudah kuundang para wali untuk
menyelenggarakan sidang darurat. Ayo, ikut simbah lagi.”
“Eh,
iya mbah.” Dan seketika Ghani kembali ke tempat pertemuan para wali. Kali ini
semua datang dengan jalan kaki, dengan ekspresi yang datar, tidak sedih dan
tidak senang. Sang kakek yang membersamai Ghani memimpin sendiri. Ghani menemaninya
di samping.
“Saudaraku
yang kumuliakan, sudah sepuluh hari semenjak kita mogok, alangkah baiknya kita
mengevaluasi keputusan kita ini. Sebagaimana kita ketahui di wilayah kita
masing-masing, berbagai ketidakseimbangan menjadi ketakutan bagi umat manusia
yang tidak memiliki penuntun. Matahari tak memancarkan sinar, tumbuhan tak mau
tumbuh, sungai tak mau mengalir, hujan tak mau turun, hewan tak mau keluar dari
sarang, cepat atau lambat hari yang dijanjikan tiba tanpa ada yang mengawal
manusia. Karenanya, saya mohon suara dari saudara-saudara apakah pemogokan ini
tetap dilanjutkan, atau kita kembali dengan tugas kita membimbing umat manusia
dalam riyadhoh-riyadhoh fisik dan batin sebagaimana sebelumnya?”
“Tetap
mogok, kami nyaman seperti ini, kami capek mengurusi umat manusia” kata salah
seorang hadirin.
“Buat
apa mengurusi manusia yang suka membangkang?” yang lain menambahi
“Jika
saudara kita sudah dikembalikan pangkat kewaliannya, baru kita kembali dengan
tugas kita,” dan berbagai tambahan-tambahan lain membuat forum menjadi sangat
ramai. Hampir semuanya enggan untuk berhenti mogok. Sang kakek memandang Ghani
sambil tersenyum. Ghani memberanikan diri naik ke mimbar sebelah kanan.
“Wahai
junjunganku, kekasih-kekasih Allah yang aku muliakan. Anda semua sering
menyebut-nyebut saudara anda yang telah dicopot kewaliannya, namun saya belum
tahu kondisi beliau saat ini. Alangkah baiknya kita mendengar kesaksian beliau.”
Hadirin menyetujui usulan Ghani, sang kakek turun dari mimbar menuju balik
panggung dan membawa seseorang dengan pakaian rapi dan wajah cerah dihiasi
senyum. Sang kakek mengantar orang tersebut ke mimbar sebelah kiri dan memberi
kesempatan padanya untuk bicara.
“Saudara-saudaraku
para mantan kekasih Allah…..” serentak hadirin menjadi gaduh, merasa heran
dengan kata-kata pembukanya.
“30
tahun aku menjaga wilayahku, namun tidak
ada satupun yang mengikutiku, dan aku senang. Aku mendoakan kebaikan kepada
manusia di wilayahku, bukan kebaikan yang bertambah, namun justru semakin
memburuk, dan aku tidak peduli. Aku sampaikan amanat Rasul mulia, namun mereka
semakin menjauhiku, aku tak ada masalah. Aku tetap menjalankan tugasku
sebagaimana mestinya. Aku menikmatinya meski tidak mendapat hasilnya. Hingga
akhirnya Allah menaikkan derajatku dengan mencopot kewalianku.” Hadirin terdiam
dan menerka-nerka maksud kata-kata terakhir yang diucapkan.
“Barangkali
anda bingung, derajat apa yang saya capai saat ini. Allah mencabut pangkat
kewalian saya, dan itu adalah salah satu hal yang saya harapkan sejak 30 tahun
yang lalu. Allah mengabulkan doa saya, dan saya kini menjadi manusia biasa
namun dengan tugas yang sama seperti layaknya wali. Saya menjaga wilayah saya,
membimbing manusia, mendoakan mereka, tanpa ada tendensi bahwa saya adalah
wali, bahwa saya melakukan ini hanya untuk menyelamatkan pangkat kewalian saya,
sama sekali tidak. Saya hanya senantiasa menikmati proses lelaku tanpa melihat
ke depan, namun ke atas. Saya merasa nyaman dengan hal ini, hati saya merasa
lebih ringan tanpa beban, dan wajah saya selalu terasa sejuk. Saya merasa lebih
nikmat daripada ketika menjadi wali.” Semuanya terdiam. Banyak di antara
hadirin menangis, beristighfar, dan meneriakkan asma Allah yang menggema.
“Saran
saya, kembalilah menjalani tugas anda semua dan nikmatilah. Tak usah
mempedulikan saya, saya nyaman seperti ini. Terima kasih.” Orang tersebut turun
dari mimbar menuju belakang panggung. Dari sisi yang lain, muncullah Wali
Quthb, pimpinan para wali menuju mimbar tengah. Wali Quthb meminta suara
tentang pemogokan para wali apakah dilanjutkan atau dihentikan. Semuanya
sepakat menghentikan mogok dan kembali menjalankan tugasnya. Wali Quthb
memutuskan untuk kembali bersama-sama menjalankan tugas kewalian. Ghani dan
sang kakek berpandangan sambil tersenyum. Sebelum hadirin kembali pulang, Wali
Quthb memberi pesan penutup.
“Pada
akhirnya, apa yang kita lakukan bukan karena tuntutan, dan bukan karena tujuan.
Semuanya dibingkai dalam cinta Allah. Maka ketika tidak ada tuntutan, kita
masih menikmati tugas kita karena cinta. Ketika tidak mendapatkan tujuan, kita
masih asik dengan tugas kita karena cinta.”