[cerpen]
Berjumpa dengan Rasulullah SAW sudah
bisa dipastikan menjadi keinginan semua umat islam yang beriman pada beliau. Jangankan
umat islam, umat lain pun juga banyak yang penasaran seperti apa sih wujudnya
Rasulullah, seberapa santun tutur katanya, seberapa indah wajahnya, seberapa
lembut lakunya, yang oleh salah seorang di barat ditempatkan sebagai orang
paling berpengaruh di dunia. Ingin sekali rasanya Ghani juga diberi kesempatan
seperti itu, bisa bertemu Rasulullah, sekedar mencium tangan saja rasanya sudah
seperti surga pastinya. Atau sekedar memandang wajahnya dari kejauhan pun tak
apa, yang penting terkena cipratan nur beliau yang pancarannya menyemesta alam.
Dan hingga pada akhirnya saat-saat
yang ditunggu itu memang benar-benar tiba. Ghani mencari-cari waktu dan
kesempatan dimana Rasulullah SAW sedang benar-benar sendiri. Tak mudah memang,
orang-orang saling menunggu untuk sowan kepada beliau. Akhirnya Ghani menemukan
momen itu. Diintipnya dari balik pintu, lalu Ghani memunculkan wajahnya dengan
menunduk ke tanah.
“Ash-shalaatu
wa salaamu ‘alayka yaa Sayyidi yaa Rasulallah” ucap Ghani penuh ta’zhim
seperti ketika beliau sowan kepada para kyai.
“Wa’alaykumussalam
warahmatullah wabarakatuh”, beliau SAW menjawab dengan jelas. Akhirnya
Ghani bisa mendengar langsung suara merdu yang keluar dari lisan beliau SAW.
Beliau diam sebentar, Ghani merasa sepertinya beliau sedang memperhatikan
dirinya. Wajah Ghani tetap tertunduk ke tanah. “Ta’al yaa ghulam, kemarilah cah bagus”. Dengan membungkuk, Ghani
memberanikan diri memasuki ruangan. Hingga jarak sekitar 3 meter, Ghani
langsung meluncur, menyungkurkan diri, dan memeluk kedua paha Rasulullah SAW
yang sedang bersimpuh dan Ghani membenamkan mukanya sendiri ke sarung
Rasulullah SAW, Ghani menangis sejadi-jadinya.
“Halaktu
yaa Rasulallah, halaktu yaa Rasulallah. Duh Kanjeng Rasul, betapa saya
telah rusak, hancur, dan binasa.” Masih dengan sembap dan sesenggukan Ghani
menyuarakannya dengan bahasa arab yang difasih-fasihkan. Beliau SAW yang belum
mengangkat kepala Ghani lantas mengusap rambut Ghani dengan kopyah Ghani yang
sudah acak-acakan dengan tangan kanan beliau SAW penuh kasih sayang, sementara
tangan kiri beliau SAW mengusap punggung Ghani.
“Min
aina ji’ta, cah bagus datangnya dari mana?”
Dibuatlah bingung Ghani oleh
pertanyaan beliau. Harus ia jawab dari Jogja kah? Dari Aceh kah? Dari Indonesia
kah? Dari NU? Dari Muhammadiyah? Atau darimana?
“Ji’tu
min azh-zhulumati Yaa Rasul, saya datang dari kegelapan lagi penuh
kezaliman, wahai Rasul.” Tiba-tiba Ghani mengeluarkan jawaban itu yang dia
sendiri tidak sadar mengucapkannya. Seakan-akan mulutnya lebih jujur dari apa
yang ada di pikirannya.
“Ana
nuur, wa anta fi nuuriy, aku adalah cahaya dan cah bagus ada dalam
cahayaku.” Kata-kata beliau mengalir lembut, seketika dari kedua tangan beliau
terjadi emanasi kehangatan, merasuk ke tulang belulang Ghani dan pembuluh
darahnya.
“Ijlis
hunaak yaa ghulam, duduklan disini cah bagus, di sampingku” kata beliau SAW
sambil mengangkat kepala dan tubuh Ghani. Tetap saja meskipun tubuh Ghani telah
bangkit namun wajah tetap dia tundukkan. Mana berani Ghani memandang wajah
beliau SAW jika dengan memandang wajah beliau SAW akan segera selesai semua
urusan Ghani. Sebagaimana potongan bait shalawat yang Ghani hafalkan waku kecil
dahulu.
“Tanhalu bihi al-‘uqadu # wa tanfariju bihi al-kurabu”
Terurailah
dengannya segala ikatan # dilenyapkan dengannya segala kesusahan.
“wa tuqdha bihi al-hawaa-iju # wa tunaalu bihi ar-raghaa-ibu”
Ditunaikan
dengannya segala hajat # diperoleh dengannya segala harapan.
“wa husnu al-khawaatimi # wa yustasqa al-ghamaamu”
Dicapailah
akhir yang indah # dan diberinya air minum dari awan.
“bi wajhihi al-kariim”
Dengan
wajahnya yang begitu mulia.
Ghani tetap tidak berani memandang wajah
beliau SAW. Ya, karena ia masih belum ingin masalahnya selesai begitu saja
lantaran memandang wajah beliau SAW. Laitahu
khashshani bi ru-yaati wajhin, zaala ‘an kulli man ra-aahu asy-syaqaa-u. Ghani masih ingin berlama-lama menggelayut di
samping beliau SAW. Jika saat ini Ghani beranikan memandang wajah beliau SAW
sekedipan mata saja, niscaya cahaya wajah beliau SAW yang tabassum akan masuk ke rongga mata Ghani dan menerangi kegelapan
dalam diri dan sudut-sudutnya, meruntuhkan kecongkakan dan egoisitas,
merobohkan segala sandaran-sandaran yang tidak semestinya, melupakan segala
kepalsuan dari kesenangan dunia.
Laa
yaraa wajhiy tsalatsatun. Ada tiga golongan yang tidak bisa melihat
wajahku. Aqqu al-walidayn, orang yang
durhaka kepada orang tuanya. Wa taariku
sunnati, orang yang meninggalkan dan tidak mencontoh perilaku hidupku. Wa
man dzukirtu ‘indahu fa lam yushalli ‘alayya, dan orang yang apabila disebut
namaku padanya ia tidak bershalawat kepadaku. Ghani ingat hadits tersebut
ketika mengaji di pondok beberapa tahun lalu di bulan Ramadhan.
“Astaghfirullah”,
Ghani menggemuruhkan lafadz istighfar dalam dada. Betapa selama ini dia
ternyata belum berhak untuk sekedar memandang wajah Rasulullah SAW. Apalagi
meminta beliau mendampingi dirinya ketika melintasi jembatan shiraath al-mustaqim, lebih-lebih
merajuk agar bersedia masuk surga bersama-sama. Abu Lahab, Abu Jahal, mereka
saja diberi nikmat dapat memandang wajah Rasulullah SAW, bagaimana dengan
dirinya yang selama ini mengaku menjadi umatnya!
“Astaghfirullah”,
beberapa tetes air mata meluncur melintasi wajah Ghani yang sudah melembap.
Teringat bahwa selama ini baktinya kepada orang tua masih jauh dari apa yang
diharapkan Rasulullah SAW. Bahkan mungkin masih belum bisa disebut berbakti.
Sungguh banyak kerepotan-kerepotan yang ia timbulkan untuk mengusik kehidupan
kedua orang tua. Yang sayangnya, ia selalu menganggap bahwa orang tuanya akan
mengampuninya karena ia anak kandung mereka. Ridho Allah adalah ridho orang
tua, apa jadinya di akhirat kelak jika ridho orang tua menjadi barang mahal
yang tak terbeli. Menginjakkan kaki di halaman surga saja rasanya mustahil
jadinya.
“Astaghfirullah”,
Ghani sedikit mengangkat kepadala ke atas lagi. Rasulullah SAW masih menunggu
Ghani memandang wajah beliau. Apa mau dikata, Ghani selama ini masih jauh dari
perilaku hidup Rasulullah SAW. Beliau yang hanya makan jika lapar, dan berhenti
sebelum kenyang. Beliau yang senyum dan tutur katanya dinanti-nanti baik orang
muslim maupun bukan. Beliau yang lebih dekat dari saudara meski tanpa hubungan
darah. Beliau yang sedikit tidur dan sedikit-sedikit beribadah. Berbeda dengan
dirinya yang sedikit-sedikit tidur dan sedikit beribadah.
“Astaghfirullah”,
Ghani kini mengangkat kepala dan duduk dengan posisi sempurna. Tapi matanya
masih melihat ke bawah. Syarat terakhir melihat wajah beliau, bershalawat
ketika nama beliau disebut. Secara lisan maupun tulisan, Ghani merasa sudah
mengamalkannya. Tapi bagaimana dengan nama beliau yang disebut secara sirr, secara tersirat, secara isyarat?
Jika alam semesta ini memang benar emanasi dari cahaya beliau, harusnya
shalawat selalu ia lestarikan dimanapun dan kapanpun. Jika pada senyum setiap
orang, otak kita menangkap sinyal itu adalah sinyal namanya yang bassam, harusnya ia bershalawat. Jika
dalam lantunan ayat-ayat Al-Qur’an tertangkap suara beliau yang secara
mutawatir bersambung, jika dalam kesenduan melihat anak yatim piatu menggelandang
di perempatan jalan mengingatkan kita pada beliau SAW yang juga yatim piatu
sejak kecil, jika dalam menyaksikan seseorang dizhalimi mengingatkan kita pada
beliau SAW yang dizhalimi kaum kafir dimanapun berada, dimana lagi tempat ia
tidak berhak untuk shalawat padanya!
“Astaghfirullah.
Allahumma bi haqqi Muhammadin arinii wajha Muhammadin haalan wa maalan. Ya
Allah, dengan haq beliau, tunjukanlah wajah beliau kepadaku saat ini secara
nyata”. Ghani memejamkan mata, lalu mengusap air mata yang membasahi sekitar
matanya. Perlahan ia membuka mata dan ia masih tidak percaya. Yang ada di
hadapannya sekarang adalah Rasulullah SAW. Seketika tubuh Ghani menjadi
tergetar hangat. Sesuatu menerobos matanya, turun ke hatinya, lalu menyebar ke
seluruh tubuhnya secara konduktif.
“Laa
tahinuu wa laa tahzanuu wa antum a’launa in kuntum mu’miniin, jangan merasa
hina dan sedih, cah bagus masih tetap unggul jika cah bagus memang benar-benar
orang mukmin”. Beliau SAW berkata lembut. Jika Ghani boleh untuk tidak sopan,
ia sudah memeluk dan mencium wajah Rasulullah SAW. Ingin sekali membawa kamera
untuk mengabadikannya. Tapi mata Ghani sudah cukup menjadi lensa untuk
menyimpan wajah beliau di memori sanubari. Tiba-tiba telapak tangan Rasulullah
SAW mengusap wajah Ghani. Ghani memegangi punggung tangan beliau. Harum. Wangi.
Hangat. Sejuk. Halus. Cerah. Entahlah, susah bagi Ghani mendeksripsikannya. Dan
ketika telapak tangan itu terbuka, mata Ghani ikut terbuka. Tiba-tiba gelap.
Ghani terbangun, ia melihat
sekeliling dan mencari Rasulullah SAW. Di sampingnya hanya ada mushaf Al-Qur’an
di atas meja dalam posisi terbuka. Ghani sadar ia baru saja tertidur di mushola
pondok. Beberapa santri yang lain sudah ada yang bangun dan membaca Al-Qur’an
maupun bertahajud. Ghani segera bangkit mengambil wudhu dan kembali ke mushola
untuk menunaikan tahajud. Selesai itu ia ambil mushaf yang telah terbuka pada
surat Muhammad.
“Shalallahu
‘alayhi wa salam”, ucap Ghani ketika membaca nama surat tersebut. Masih ada
waktu sekitar 20 menit sebelum adzan shubuh. Cukup bagi Ghani menyelesaikan 3-4
halaman. Ia cium mushaf Al-Qur’an wana biru tua miliknya, harum. Tapi bukan,
bukan mushafnya yang harum. Namun telapak tangan Ghani yang harum. Harum yang
sama dengan telapak tangan Rasulullah SAW.